Friday, August 29, 2008

Mengukur Kredibilitas Indeks Batu Bara

Selasa, 26 Agustus 2008 | 17:36 WIB

Lubang-lubang seluas lapangan sepak bola bekas penambangan batu bara ilegal di Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, menjadi bukti parahnya kerusakan lingkungan akibat tak terkendalinya penambangan batu bara tanpa izin di daerah ini.Setelah didesak berbagai pihak untuk mempertegas kewajiban memasok ke dalam negeri, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan baru soal batu bara. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral akan mengeluarkan keputusan soal kewajiban memasok kebutuhan batu bara di dalam negeri dan penetapan harga. Kewajiban memasok ke dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebenarnya sudah disebutkan di dalam kontrak karya pertambangan batu bara.

Kontrak dengan perusahaan tambang batu bara generasi I, misalnya, berbunyi bahwa, dalam kondisi tertentu, pemerintah bisa meminta kontraktor untuk menjual seluruh produksi batu bara di dalam negeri dengan harga mengikuti harga terendah dari kontrak yang ada atau rata-rata harga batu bara Australia.

Kontrak generasi II menyatakan bahwa kontraktor wajib mengutamakan pasokan batu bara untuk dalam negeri, dengan harga tidak lebih dari harga batu bara internasional. Adapun kontrak generasi III mengatakan bahwa pemerintah dapat melarang ekspor batu bara dari kontraktor dengan alasan untuk kepentingan nasional.

Namun, kewajiban itu tidak pernah direalisasikan ke dalam aturan teknis. Pemakaian batu bara untuk keperluan pembangkit listrik dan industri-industri strategis di dalam negeri dibiarkan berjalan dalam mekanisme bisnis biasa. Pemerintah juga memilih menerima masukan dalam bentuk tunai hasil penjualan ketimbang mengambil produksi batu bara yang menjadi bagiannya dalam bentuk barang.

Rancangan keputusan menteri tentang penetapan harga batu bara antara lain menyebutkan bahwa perusahaan pertambangan batu bara harus menjual batu bara yang dihasilkan dengan harga yang wajar, sesuai dengan harga yang berlaku umum di pasar internasional.

Perusahaan bisa kena sanksi

Perusahaan harus menyampaikan pemberitahuan dan meminta persetujuan Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi dalam menetapkan harga jual batu bara baik dalam penjualan spot maupun kontrak jangka panjang. Perusahaan batu bara yang menjual di bawah harga yang wajar wajib membayar kekurangannya. Perusahaan bisa dikenai sanksi pembekuan apabila melakukan kesalahan yang sama sampai tiga kali.

Sebagai patokan harga batu bara, pemerintah menyatakan akan mengacu pada publikasi mengenai harga batu bara yang telah diakui secara internasional, termasuk Indonesian Coal Index (ICI). ICI merupakan publikasi mengenai perkiraan harga batu bara yang dikeluarkan PT Coalindo Energy bekerja sama dengan PT Argus Media Limited. Dibandingkan dengan indeks yang sudah diakui dunia, seperti Barlow Jonker, Platts, ataupun indeks batu bara di Jepang, ICI masih tergolong baru. ICI mulai diluncurkan tahun 2007.

ICI dibentuk dari harga rata-rata yang ditentukan oleh panel dan harga rata-rata yang dirilis oleh Argus Singapura. Pembobotannya masing-masing 50 persen. Pembentukan harga panel sendiri didapat dari harga rata-rata yang disampaikan 25 panelis. Mereka terdiri atas perusahaan tambang sebagai produsen, konsumen, dan perusahaan yang mendukung, seperti jasa angkutan.

Tahun 2008, tercatat ada 10 anggota yang berasal dari produsen, 10 konsumen, dan lima perusahaan jasa pendukung.

Sejak dirilis pada tahun 2007, Coalindo telah mengeluarkan empat kategori indeks yang disebut ICI I-IV yang masing-masing menunjukkan ekspektasi harga untuk batu bara kalori 6.500, 5.800, 5.000, dan 4.200.

Batu bara kalori 5.800-6.500 tergolong dalam kalori tinggi, kalori 5.000 termasuk sedang, kalori 4.200 termasuk rendah.

Saat dipaparkan dalam Indomining Conference, pertengahan Agustus 2008, mekanisme pembentukan harga tersebut banyak mendapat pertanyaan. Pertanyaan terutama ditujukan pada kredibilitas data ICI. Dari terbitan indeks ICI terlihat sebagian besar panelis memasukkan prediksi harga yang persis sama sampai ke titik koma dalam tiga minggu berturut-turut. Sementara, apabila mengacu pada harga internasional, seharusnya panelis mengetahui kondisi pasar secara aktual.

Selain itu, estimasi harga yang diajukan produsen dan konsumen rentangnya sangat jauh. Sebagai contoh, untuk prediksi harga di minggu kedua Agustus, untuk batu bara kalori 4.200, konsumen mengajukan perkiraan harga terendah 35 dollar AS, sementara produsen mengajukan harga 70 dollar AS.

Konsumen besar seperti PLN dan industri semen meragukan data tersebut. Wakil Direktur PT Perusahaan Listrik Negara Rudiantara mengatakan, pihaknya tidak akan menggunakan ICI sebagai patokan. Alasannya, ICI hanya merepresentasikan ekspektasi produsen dan konsumen atas harga. "Sama sekali tidak mencerminkan kondisi pasar, apalagi untuk batu bara kalori rendah yang pasarnya belum terbentuk," ujar Rudiantara.

Patokan harga yang kredibel untuk batu bara kalori rendah sangat penting bagi PLN dan industri semen. Dengan beroperasinya pembangkit-pembangkit listrik yang masuk dalam program percepatan kelistrikan, konsumsi batu bara untuk pembangkit PLN akan naik empat kali lipat dibandingkan dengan saat ini, menjadi sekitar 80 juta ton di tahun 2010.

Baru bara untuk efisiensi

Asosiasi Semen Indonesia memperkirakan penggunaan batu bara akan naik 1,5 kali lipat menjadi 10,9 juta ton pada 2011. Sama halnya dengan pembangkit, industri semen juga mengincar batu bara kalori rendah untuk menekan biaya energi. Di luar kekurangan yang harus dibenahi, keluarnya peraturan tentang DMO tetap harus diapresiasi.

Pengamat kebijakan energi dari Institut Teknologi Bandung, Oetomo Tri Winarno, dalam kajian naskah akademiknya menyebutkan, konsekuensi dari kebijakan ini adalah adanya aturan penetapan harga yang membuat seluruh penjualan batu bara sesuai kualitasnya akan relatif seragam.

Pemerintah tidak perlu lagi menetapkan harga terendah ekspor untuk batu bara yang dipasok ke dalam negeri sehingga memasok ke dalam negeri akan sama menariknya dengan ekspor. Kebijakan memurahkan harga batu bara domestik dibandingkan dengan ekspor berlawanan dengan kebijakan optimalisasi pendapatan negara.

Apabila konsumen domestik, khususnya PLN, merasa harga tersebut terlalu mahal, maka yang disubsidi adalah PLN, bukan dengan cara memurahkan harga batu bara domestik. Sanksi berupa larangan melakukan kegiatan produksi akan dikenakan kepada perusahaan apabila rencana kerja anggaran dan biaya tidak memenuhi persentase minimal penjualan batu bara dalam negeri.

Selain itu, perusahaan yang tidak dapat memenuhi persentase minimal penjualan batu bara dalam negeri akan didenda sebesar kekurangan volume penjualan untuk memenuhi persentase minimal dikalikan harga patokan batu bara yang berlaku.

Persentase minimal penjualan batu bara dalam negeri akan ditetapkan melalui Surat Keputusan Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi, dikeluarkan sekali setahun, setiap bulan Juni. Penetapan persentase itu dengan masukan dari Departemen Perindustrian, asosiasi industri pemakai batu bara, asosiasi produsen, dan asosiasi trader.

Sanksi bagi perusahaan yang menjual batu bara di bawah harga yang wajar atau di bawah harga patokan adalah membayar kekurangan kewajiban pembayaran kepada pemerintah, baik dalam bentuk penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak. (Doty Damayanti/Kompas)

Sunday, August 24, 2008

Soal Batubara, Kalsel Sering Buntung

Rabu, 13 Agustus 2008 | 17:36 WIB

BANJARMASIN, RABU - Provinsi Kalsel yang memiliki kekayaan bahan tambang batu bara justru selama ini tidak mendapatkan keuntungan memadai dan lebih banyak buntung. Prof H Abdul Djebar Hapip, Guru besar FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin pada apresiasi buku tokoh pers Kalsel "Djok Sang Penakluk Dari Sungai Mentaya", Rabu secara khusus menyoroti multi dampak eksploitasi besar-besaran tambang batu bara di Kalsel.
"Hal perlu perlu diaktulisasi dari cita-cita seorang Djok Mentaya bagaimana generasi penerus di daerah ini mampu memperjuangkan kebijakan pembangunan yang berpihak dan untuk kesejahteraan masyarakat," ucapnya.
Disebutkan dalam dekade terakhir pertambangan batu bara ramai di Kalsel dan hasil tambangnya banyak diangkut keluar, untuk Kalsel sendiri hampir tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan jumlah tambang yang dieksploitasi cukup besas.
Menurut mantan aktivis eksponen Angkatan 66 dari Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) itu, suasana serta situasi dan kondisi di Kalsel sekarang kelihatannya hampir tak beda dengan masa 1966.
"Kalau pada masa 66, beras Dolog dikumpulkan, kemudian dibawa dan dijual ke Jawa, sehingga penduduk Kalsel yang terdiri dari 10 Kabupaten/Kotamadya ketika itu jadi kekurangan beras," katanya.
Tapi sekarang potensi tambang batu bara Kalsel yang cukup besar dikeruk dan dibawa keluar daerah, sementara bagi provinsi ini hanya melihat bekas-bekas galian yang menganga lebar dan dalam, serta kerusakan alam yang terjadi.
Menurut mantan aktivis HMI yang juga  penyusun Kamus Bahasa Daerah Banjar, Kalsel itu meminta kepedulian semua pihak terutama yang berkompeten dan terkait usaha pertambangan batu bara agar peduli terhadap lingkungan serta perekonomian daerah dan penduduk setempat.
"Tanpa kepedulian, pada akhiranya masyarakat bisa makin menderita dan lingkungan kian tambah rusak, sehingga apa lagi yang diharapkan bagi generasi mendatang," demikian Abd. Djebar Hapip.

PT Pama Cari Simpatik

22 August, 2008 09:12:00

MARTAPURA - Banyak perusahaan tambang yang mencoba mencari simpatik masyarakat. Itu juga dilakukan PT Pama, perusahaan tambang yang beraktivitas di Kabupaten Banjar.

Dikemukakan Haris Patriawan, Head HRGA PT Pama, pihaknya selain melakukan mengeksploitasi batu bara juga melakukan berbagai kegiatan yang pada intinya untuk melakukan peningkatan SDM masyarakat sekitar tambang khususnya.

Menurut Haris untuk bidang pendidikan baru-baru tadi melaksanakan kegiatan yang diberi nama Pama Goes To School, dengan tujuan merangsang murid sekolah dasar bersemangat dalam belajar.

"Kegiatan Pama Goes To School ini merupakan salah program CD (Community Development) internal PT Pama untuk sekolah dasar sekitar tambang," ucap Haris.

Murid SD yang dapat bantuan ada pada 6 sekolah, di Sungai Pinang, Rantau Nangka, Rantau Bakula, Pakutik, Belimbing Baru dan Belimbing Lama.

"Tiap murid kita beri masing-masing buku pelajaran, baju olahraga, baju seragam dan lainnya. Ini untuk merangsang mereka bersemangat belajar di sekolah," cetusnya.

Tetapi, tambah Haris, pemberian tersebut tidak terbatas pada enam sekolah yang terdapat di enam desa, namun juga akan diberikan kepada sekolah sekolah dasar yang ada di desa yang dilewati Jalan tambang PT Pama.

Program untuk pendidikan yang di salurkan oleh PT Pama ungkap Haris juga sampai pada pemberian beasiswa untuk para murid berprestasi yang langsung akan dijadikan sebagai anak asuh PT Pama, sehingga murid tersebut akan di ongkosi sekolahnya sampai tingkat tinggi (Universitas).

" Kami juga berusaha meningkatkan kompetensi guru guru sekolah yang ada di sekitar tambang khususnya dan Kabupaten Banjar pada umumnya melalui pelatihan pelatihan maupun seminar seminar pendidikan. Jadi paling tidak selain muridnya bersemangat belajar gurunya juga mempunyai tingkat SDM yang mumpuni," pungkas Haris.ina/elo

Saturday, August 23, 2008

Rp1 Juta Per Tongkang Batubara

Sabtu, 23 Agustus 2008
KOTABARU – Setiap kali melintas di kawasan selat laut perairan Desa Pantai, Kecamatan Kelumpang Selatan, Kotabaru, tongkang batubara yang melintas dikenai pungutan sebesar Rp1 juta. Tongkang-tongkang tersebut lewat setelah loading batubara pada beberapa pelabuhan khusus di kawasan teluk Kelumpang dan Serongga.

Pungutan tersebut disepakati oleh para pemilik tambang karena dianggap sebagai kompensasi kepada nelayan yang merasa terganggu aktivitasnya.

Menurut Nanang, seorang nelayan setempat, sebesar 40% dari dana itu diberikan kepada 228 nelayan setempat, 40 persen untuk desa, dan 20 persen sisanya untuk pengurus. "Dari 40 persen yang diberikan kepada nelayan setiap bulan paling banyak mendapat Rp150 ribu. Padahal perusahaan itu mau membayar sebagai ganti nelayan tidak bisa melaut di perairan itu. Jadi seharusnya nelayan mendapat bagian 60 persen," katanya.

Selain pengurus mendapat 20 persen, 40 persen diberikan untuk desa sudah termasuk jatah unsur terkait yang ada di Kecamatan Pamukan Selatan tersebut. Ditambahkannya, awal Agustus tadi perusahaan membayar sebesar Rp93 juta kepada desa. Dari 93 buah tongkat bermuatan batubara yang melintas di perairan itu, nelayan hanya mendapatkan Rp230 ribu setiap orang. Nanang mengaku pungutan bulan ini adalah pungutan paling banyak dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Sementara Camat Kelumpang Selatan, Rahadian, ketika dikonfirmasi membantah dirinya mendapat bagian dari perusahaan yang membayar untuk setiap tongkangnya yang melintas di daerah perairannya. (ins)

Juli 2009, Batas Toleransi Truk Batubara Melewati Jalan Negara

Jumat, 22 Agustus 2008
Martapura – Warga Kabupaten Banjar sepertinya masih harus lebih lama lagi menghirup udara kotor dari debu batubara, paling tidak untuk waktu satu tahun lagi. Pasalnya, pemerintah provinsi baru bisa membebaskan jalan negara yang selama ini dipergunakan angkutan batubara di tahun 2009 mendatang.

Kepastian tersebut, disampaikan langsung Gubernur Rudy Arifin dihadapan seluruh warga masyarakat dan pejabat saat peringatan Hari Jadi Kabupaten Banjar ke-58, di Taman CBS, siang kemarin (20/8).

Menurutnya, pemerintah provinsi sudah mempunyai Perda khusus pelarangan angkutan batubara melintas di jalan negara. Angkutan batubara nantinya, dipastikan akan mempunyai jalan tambang tersendiri untuk mengangkut emas hitam, dari wilayah Kalsel ini. Terutama yang ada di Kabupaten Banjar, Tapin, dan HSS yang selama ini mengirimkan batubaranya melewati jalan negara sepanjang tiga wilayah kabupaten bertetangga ini.

“23 Juli 2009 adalah batas waktu terakhir angkutan batu bara melintasi jalan negara,” ujar Gubernur Kalsel ini menjanjikan.

Jadi ujarnya, warga di Kabupaten Banjar yang selama ini dilintasi angkutan batubara, diharap cukup bersabar menantikan batas waktu yang dijanjikan pemerintah provinsi sebagai pengambil kebijakan tersebut.

Ditambahkan mantan Bupati Banjar ini, pihak pengusaha batubara yang tidak mematuhi ketentuan ini nantinya bakalan mendapat sanksi tegas, sesuai dengan Perda yang mengaturnya. “Ada sanksi denda 50 juta atau kurungan 6 bulan penjara bagi mereka yang melanggar ketentuan ini nantinya,” tegas Rudy Arifin.

“Insya Allah 23 Juli 2009 tahun depan, warga Kabupaten Banjar tidak lagi merasa terganggu dengan angkutan batubara yang selama ini melintas di jalan negara, kami bertekad mewujudkan hal itu,” tukasnya dihadapan seluruh orang yang hadir saat Hari Jadi kemarin.

Masih menurutnya, dalam kurun waktu cepat pihak pemerintah provinsi juga akan melakukan penutupan Jembatan Martapura I dan II, karena pembongkaran badan jembatan yang dinilai tak layak pakai lagi segera dikerjakan. “Pembongkaran jembatan Martapura I dan II secepatnya dilakukan,” ujar Rudy Arifin.

Nah, terakit pembongkaran tersebut, sebutnya, pemerintah provinsi dalam hal ini berkerjasama dengan Pemkab Banjar sudah menyiapkan jalur alternatif sebagai penghubung utama ke Banua Enam dan Provinsi Kalteng dan Kaltim. “Jalur alternatif akan menggunakan Jembatan Pakauman yang sudah siap dilintasi pengganti jalur utama jembatan Martapura I dan II, mudah-mudahan saja pengalihan arus lalu lintas ke jembatan Pakauman ini tidak ada hambatan,” tandasnya. (bie)

Korupsi Batu Bara Kalsel ke KPK

Sabtu, 23-08-2008 | 01:15:50

• Dilaporkan Wakil Ketua Komisi III DPR
BANJARMASIN, BPOST - Wakil Ketua Komisi III DPR Soeripto mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun ke Kalimantan Selatan menyelidiki dugaan pemberian izin kuasa pertambangan (KP) sebagai penyebab kerusakan lingkungan.

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, Jumat (22/8) secara khusus mendatangi KPK melaporkan pemberian izin KP dan illegal logging di Kalsel dan Kaltim.
“Saya sengaja datang ke KPK melaporkan dua hal tersebut yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Karena kebetulan dulu saya mengetahui banyak, terkait dua hal itu,” kata Soeripto.
Menurut dia, hutan di Kalsel hancur akibat pertambangan tanpa disertai reklamasi. Imbasnya, Kalsel menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang luar biasa.
“Adanya pemberian izin batu bara itu telah merusak lingkungan secara luar biasa di Kalsel. Itu bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup,” kata Soeripto kepada BPost.
Dia pun menegaskan laporannya itu merupakan hasil pantauan langsung di lapangan. “Saya melihat sendiri aktivitas tambang batu bara di Kalsel sudah merusak lingkungan. Kalau itu dibiarkan, dipastikan bencana akan melanda daerah itu,” katanya.
Di daerah mana saja lokasi-lokasi tambang itu? Soeripto mengungkapkan berada di Tanah Bumbu dan Kotabaru. “Dua daerah itu yang memang saya teliti dan laporkan ke KPK,” ungkapnya.
Menurut mantan pejabat di Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut, di dua daerah itu tidak hanya kondisi hutan yang rusak, tapi juga sarana jalan atau infrastruktur. Banyak perusahaan batu bara mengeksplorasi dan mengeksploitasi hutan yang seharusnya dilindungi.
Namun, Soeripto menolak menyebut perusahaan yang diduga telah melakukan pelanggaran itu. “Saya sudah komitmen dengan KPK untuk tidak menyebut dulu nama ke publik. Nanti kalau ada perkembangan lebih lanjut dengan KPK, saya janji sebutkan,” ujarnya.
Tidak Tahu
Menanggapi laporan Soeripto ke KPK itu, Kadinas Kehutanan Kalsel Suhardi mengakui adanya kerusakan itu.
“Karena hutan yang kita jaga begitu luas, jadi masih sangat mungkin kita kecolongan,” ujarnya.
Terkait dugaan korupsi yang membuat praktik pembalakan hutan Kalsel tetap berlangsung, Suhardi mengaku tidak tahu-menahu.
Soal izin hak pengelolaan hutan (HPH) di Kalsel, dia mengatakan saat ini pemiliknya tersisa satu yang aktif yakni PT Ayayang.
Mengenai izin pinjam pakai kawasan hutan bagi para pemilik kuasa pertambangan (KP), Suhardi mengatakan hal itu merupakan domain pemerintah pusat. Tapi prosedur pengajuan izin melalui dinas kehutanan setempat.
“Izin pinjam pakai kawasan hutan diajukan ke menteri harus disertai rekomendasi dari gubernur. Sebelum mengeluarkan rekomendasi, gubernur meminta pertimbangan teknis dari dinas kehutanan,” ujarnya.
Dari beberapa KP yang mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan, baru 15 KP yang memperoleh izin prinsip.
“Tapi, dari 15 KP itu belum seluruhnya telah memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan,” katanya.
Kenaikan Izin
Sedangkan Kadistamben Kalsel Ali Muzanie mengungkapkan, dalam tiga tahun terakhir ada kenaikan perizinan KP batu bara yang dikeluarkan kepala daerah.
Namun, soal jumlahnya Muzanie mengaku tak ingat. “Umumnya KP-KPK itu keluar dari daerah kaya tambang batu bara seperti Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu dan Banjar,” ungkapnya.
Hingga 2008, jumlah KP batu bara di Kalsel jumlahnya mencapai 342 buah. Perusahaan-perusahaan itu memang tersebar di Tanah Bumbu, Tapin, Banjar, Tanah Laut dan Kotabaru.
Muzanie mengaku tidak mengetahui adanya kawasan pertambangan yang memasuki areal hutan lindung. “Soal itu hanya bupati yang tahu karena yang mengeluarkan izinnya,” ucapnya.
Faktanya, perut bumi Kalsel sudah penuh dikapling-kapling perusahaan pertambangan.
Ironisnya, kontribusi yang diperoleh provinsi ini hanya Rp 69,8 miliar per tahun. Padahal, selama 2007, para pengusaha mengeruk 78.198.645 ton batu bara.
Dari jumlah itu sebanyak 52,123 juta ton dikirim ke luar negeri. Nilai ekspor pada 2007 lebih besar dibanding tahun sebelumnya, yakni 48,472 juta ton.
Meski jumlah batu bara yang dikirim ke luar cukup besar, namun persentase royalti yang diterima Pemprov Kalsel juga sangat kecil. (rai/kps/ais/niz)

DMO Batubara Terbit September

20 August, 2008 07:26:00

JAKARTA - Pemerintah menargetkan aturan mengenai kewajiban memasok batubara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) akan keluar September. Begitu aturan keluar, maka seluruh perusahaan batubara wajib mematuhinya.

Demikian dijelaskan Direktur Pembinaan Usaha Batubara dan Mineral Bambang Gatot di sela-sela seminar mengenai verifikasi tembang di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu.

"Diharapkan September sudah selesai. Begitu keluar ya harus dipatuhi," ujarnya.

Gatot menambahkan, saat ini pemerintah masih mengkaji apakah kewajiban memasok dalam negeri ini harus dicerminkan dalam presentase tertentu atau cukup dalam angka sesuai total kebutuhan dalam negeri.

Rencananya Kamis besok Departemen ESDM akan memanggil konsumen-konsumen batubara dalam negeri untuk mengklarifikasi kualitas dan kuantitas kebutuhan batubara dalam negeri.

"Karena tidak semua batubara yang diproduksi sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Seperti yang dari Kalimantan Tengah itu kualitas tinggi, tidak sesuai dengan kebutuhan PLN," katanya.

Aturan kewajiban memasok dalam negeri ini akan digabung dengan aturan mengenai harga ekspor batubara. Menurut Gatot, pemerintah akan menghentikan semua ekspor batubara yang harganya di bawah ICI Argus (Indonesia Coal Index).

"Karena harganya terlalu rendah, di bawah ICI Argus, kita minta mereka merenegosiasi sampai harganya bagus," katanya.

Kedua aturan ini akan dievaluasi setiap tahun untuk disesuaikan dengan kondisi terbaru. lih/mb

Thursday, August 21, 2008

Banjar Bebas Truk Bara

20 August, 2008 07:30:00

MARTAPURA - Ada kabar gembira untuk warga Kalsel khususnya, dan Kabupaten Banjar pada umumnya. Sebab terhitung 3 Juli 2009 truk angkutan batu bara dilarang melintas jalan negara pada kawasan Kabupaten Banjar.

Itu dikemukakan gubernur yang didampingi Rosehan NB, Wakil Gubernur Kalsel ketika menghadiri hari jadi Kabupaten Banjar ke-58, Rabu (20/8) kemarin.

"Kita sudah buat aturannya dalam bentuk perda Provinsi Kalsel 2008 kalau pada 3 Juli 2009 truk angkutan batu bara tidak diperbolehkan lagi melewati Kabupaten Banjar. Angkutan besar itu diberi masa tenggang sampai 23 Juli 2009," cetusnya.

Karena sudah bertekad dan termaktub dalam aturan yang telah dibuat, maka tegas Rudy, apabila ada yang melanggar tentunya kena sanksi yang lumayan berat. Bisa berupa denda Rp50 juta, atau kurungan 6 bulan.

Tentunya hal ini disambut hangat masyarakat, termasuk Bupati Banjar HG Khairul Selah. Berarti sebentar lagi kawasan Banjar akan longgar, tidak seperti saat ini macet apabila iring-iringan angkutan bara melintas.

Dalam kesempatan itu, Khairul Saleh lebih memfokuskan pembicaraan terkait pembentukan BUMDes yang permodalan serta tata cara kerja dan manajemen keuangan yang sepenuhnya diatur masyarakat desa.

Tentunya ini akan dapat membantu membangkitkan kembali gairah para petani dan pelaku ekonomi pedesaan untuk maju dan berkembang guna mendukung peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Jenis usaha BUMDes, menurut Khairul, antara lain pelayanan pinjaman kredit sarana produksi berupa pupuk, pestisida, asam semut juga obat-obatan.

Untuk pelayanan jasa serta penyaluran bantuan lainnya, diantaranya produksi pertanian dalam pengolahan bibit padi, karet, ikan dan ternak, penggemukan sapi, dan usaha produksi lainnya.

"Dampak keberadaan BUMDes di 4 kecamatan 2007 sudah dapat dilihat hasilnya, antara lain dapat mengangkat harga jual karet dalam bentuk lump ditingkat petani dari yang semula Rp4.000/kg menjadi Rp7.000 hingga Rp7.500/kg.

Dalam hal ini terlihat peran BUMDes yang dapat memutus mata rantai distribusi dari para tengkulak kemudian dapat menguatkan pemberdayaan ekonomi kerakyatan dalam satu wadah BUMDes BARAKAT BERSAMA pada seluruh kecamatan se-Kabupaten Banjar.

Pada bidang pendidikan, ucap Khairul, walaupun sebenarnya di pemerintah pusat saja anggaran untuk pendidikan belum mencapai 20 persen seperti yang diamanatkan Undang Undang Undang, namun di Kabupaten Banjar anggaran ini sudah 37,5 persen.

Menurutnya, besarnya anggaran pendidikan tersebut bukan hanya diarahkan kepada para pelaku pendidikan saja seperti para guru dan anak didik, namun setiap tahunnya juga dianggarkan dana untuk biaya pendidikan para pambakal dan setiap kecamatan mendapatkan jatah dua orang pambakal sesuai jenjangnya masing-masing.

Lebih jauh ia menjelaskan, untuk pambakal yang sudah memiliki ijazah SMA maka berhak mengikuti seleksi untuk mendapatkan jatah biaya pendidikan guna melanjutkan pendidikan S1. Dan bagi mereka yang tidak lulus SMA akan mendapatkan jatah biaya pendidikan SMA atau paket C.

Pada hari jadi ini Pemkab Banjar juga memberikan bantuan kepada beberapa Mesjid dan Langgar, dan hadiah kepada para pemenang lomba yang dilaksanakan dalam rangka hari jadi kabupaten. Termasuk juga penandatanganan prasasti pembangunan RS Razha dan Jembatan Awang Bangkal.ina/elo

Tuesday, August 19, 2008

Ekspor Antang Dan Baramarta Distop

12 August, 2008 06:05:00

JAKARTA - Pemerintah menghentikan kegiatan ekspor 6 perusahaan batubara. Dua diantaranya beroperasi di Kalimantan Selatan. Antang Gunung Meratus beroperasi di Kabupaten Tapin serta PD Baramarta, perusahan daerah milik Kabupaten Banjar yang mengeksploitasi tambang batubara di di wilayah Kabupaten Tapin dan Banjar.

Direktur Pengusahaan Batubara dan Mineral Departemen ESDM Bambang Gatot mengatakan penghentian ekspor itu dilakukan karena mereka menjual batubara dengan harga yang dinilai terlalu rendah. Penghentian ekspor dilakukan mulai Juli 2008.

Selain Antang Gunung Meratus (dengan kapasitas 1,5 juta ton), dan PD Baramarta (4 juta ton), empat perusahaan lainnya adalah

Tanjung Alam Jaya (1,6 juta ton), Sumber Kurnia Buana (1,5 juta ton), PT Kadya Caraka Mulia (0,5 juta ton) dan PT Bangun Buana Persada (0,4 juta ton).

Penghentian ini dilakukan sampai perusahaan tersebut memperbaiki harga ekspor batubaranya. Saat ini baru 3 perusahaan yang sudah menyatakan mau mengubah harga ekspornya. Namun Bambang tidak menyebutkan nama perusahaan yang mau mengubah harga.

"Kemarin yang kita stop 6 perusahaan karena harganya terlalu kecil, tapi yang 3 sudah menyatakan mau mengubah harganya," ujarnya di sela-sela Indo Mining and Energy di Hotel Shangri-La, Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa.

Sebelumnya pemerintah menyatakan akan mengevaluasi ulang seluruh kontrak ekspor batubara, terutama yang harganya masih rendah. Setelah itu pemerintah akan menetapkan patokan harga batubara yang akan dieskpor.

Bambang menjelaskan patokan harga yang akan digunakan pemerintah akan mengacu kepada Indonesia Coal Index (ICI). Namun untuk kepastian hukumnya dalam waktu dekat, pemerintah akan mengeluarkan aturan mengenai patokan harganya. ddn/mb07

Pemerintah Teliti Kontrak Batubara

15 August, 2008 06:18:00

JAKARTA - Pemerintah akan meneliti semua kontrak batubara untuk mencari penyelesaian kisruh royalti dan pajak perusahaan tambang batubara. Penyelesaian difokuskan pada kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

"Pokoknya kita sedang fokus menyelesaikan yang di PKP2B kalau mereka minta kepastian hukum, ya kita kembalikan ke kontrak, di kontrak itu disebutkan apa yang kita ikuti. Kalau dia suatu kontrak yang sifatnya nail down (sistem pajak tetap selama kontrak) artinya mereka harus hormati sampai selesai. Kita akan melihat keseluruhan inti yang ada dalam kontrak itu," kata Menkeu Sri Mulyani.

Hal itu diungkapkan Menkeu yang juga merangkap sebagai Menko Perekonomian usai acara penyampaian RAPBN 2009 dan nota keuangan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di DPR, gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat.

"Kalau ada perubahan itu berarti peraturan perundang-undangan tidak apply atau tidak, akan kita lakukan untuk kontrak tersebut. Namun tetap kontrak itu sendiri punya konsekuensi karena rezim pajaknya berbeda dengan rezim pajak yang sekarang," lanjut Menkeu.

Yang jelas, lanjut Menkeu, pemerintah berharap ada pembayaran dari kewajiban perusahaan itu.

Pemerintah saat ini sedang mencari mekanisme agar para pengusaha batubara mendapat perlakuan khusus dari PP No 144 tahun 2000. Sengketa ini diharapkan dapat selesai dalam minggu ini.

Pemerintah sepakat akan membuat formula reimbursement terkait PP No 144 tahun 2000 agar PP ini tidak dikenakan ke pengusaha batubara yang menandatangi kontrak PKP2B generasi pertama.

Pemerintah sendiri telah melakukan pencekalan terhadap sejumlah perusahaan besar batubara karena masih menunggak pembayaran pajak dan royaltinya.

Bahkan ditjen imigrasi telah mengeluarkan daftar cekal untuk direksi di perusahaan batubara yang bermasalah seperti PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro, dan PT Berau Coal selama enam bulan mulai Agustus 2008 sampai Januari 2009. ir/mb07

Monday, August 18, 2008

Perusahaan Batubara Lakukan Koreksi Harga

 

13 August, 2008 07:05:00

BANJARMASIN - Sejumlah perusahaan di Kalimantan Selatan yang terkena 'cekal' dalam ekspor batubara telah menyelesaikan koreksi harga jual 'emas hitam' ini

Penghentian ekspor batubara oleh pemerintah Juli lalu tidak sampai berpengaruh terhadap jalannya operasional pertambangan.

Perusahaan pertambangan di Kalimantan Selatan yang telah melakukan penyesuaian harga jual batubara (konversi) per 1 Agustus 2008 adalah PT Antang Gunung Meratus (PT AGM) dan PT Sumber Kurnia Buana (PT SKB).

PT Tanjung Alam Jaya di Kabupaten Banjar juga sudah melakukan koreksi harga, sedangkan yang dalam proses adalah PT Bangun Banua Persada Kalimantan. Sementara yang belum melakukan koreksi harga adalah PD Baramarta dan PT Kadya Caraka yang berada di Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tapin.

"Yang belum melakukan koreksi harga, tidak akan kami layani pengurusan SAKBnya," ujar sumber Mata Banua di Dinas Pertambangan Kalsel, kemarin.

Public Relations PT Baramulti Group Ir M Fatchoel Hadi menyatakan sejak awal Agustus ini dua anak perusahaan Baramulti yakni PT AGM (beroperasi di Kabupaten Tapin dan Kabupaten HSS), dan PT SKB (di Kabupaten Tapin) telah mengantongi kembali persetujuan penjualan batubara dari Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi (Minerbapabum) Bambang Setiawan.

"Jadi kami tidak ada masalah dengan surat penghentian penjualan dari Dirjen bertanggal 11 Juli 2008 itu. Tidak ada masalah dengan ekspor kami, karena semuanya sudah beres," katanya kepada Mata Banua, tadi malam.

Fatchoel Hadi menjelaskan harga penjualan batubara PT SKB yang semula US$ 34/MT, sekarang sudah dikoreksi menjadi US$ 72/MT. Harga ini berlaku di pelabuhan pemuatan atau FOB tongkang.

"Jadi dalam hal ini, baik PT AGM maupun PT SKB, sudah mendapat persetujuan dari Departemen ESDM Pusat, terhadap koreksi harga jual ekspor batubara di pelabuhan dengan harga baru US$ 77/MT per 1 Agustus 2008," jelas Fatchoel Hadi.

Ia mengatakan dengan surat persetujuan dari Departemen ESDM ini, PT AGM dan PT SKB tidak ada permasalahan dalam melakukan ekspor batubara dengan tujuan Asia Pacific. "Silakan cek ke Dinas Pertambangan Kalimantan Selatan," ujar Fatchoel Hadi.

Ini bisa dibuktikan, ketika baik PT AGM maupun PT SKB Buana meminta Surat Keterangan Asal Barang (SKAB) kepada Dinas Pertambangan Kalsel, selalu diberikan dan ini membuktikan tidak ada masalah pada penjualan batubara ekspor, tandas Fatchoel Hadi.

Dalam salinan fax tentang Persetujuan Penjualan Batubara kepada PT AGM yang diterima Mata Banua, surat Dirjen Minerbapabum No 1578/30/DJB/2008 tanggal 11 Juli 2008 dan No 1579/30/DJB/2008 tanggal 11 Juli 2008 perihal penghentian penjualan batubara dinyatakan tidak berlaku lagi.

PT AGM dan PT SKB diperkenankan untuk menjual batubaranya kembali setelah menandatangani surat pernyataan uang menyebutkan bahwa PT AGM dan PT SKB bersedia membayar kekurangan DHPB atas hasil penjualan batubara periode 1 Agustus-31 Desember 2008.

Surat persetujuan penjualan batubara dari Dirjen Minerbapabum untuk PT AGM No 1783/30.00/DJB/2008, tertanggal 7 Agustus 2008 sedang untuk PT SKB No 1775/30.00/DJB/2008, tertanggal 6 Agustus 2008. dir/ali.

Truk Bara Dilarang lewat Jembatan

15 August, 2008 06:09:00

BANJARMASIN - Apabila pembebasan lahan untuk pembangunan Jembatan Martapura I dan II di Kabupaten Banjar tidak selesai, maka truk batubara bisa stop atau dilarang) lewat jembatan Martapura I dan II.

"Apabila pembebasan lahan untuk pelebaran jembatan oleh Pemkab Banjar tidak selesai, maka angkutan batubara dari wilayah Banua Enam tidak akan diperkenankan melewati jembatan Martapura I dan II, karena akan dibongkar," kata Gubernur Kalimantan Selatan, H Rudy Ariffin, kemarin.

Pernyataan orang nomor satu di jajaran Pemprov Kalsel itu disampaikan sehubungan dengan telah selesainya lelang proyek perbaikan Jembatan Martapura I dan II yang didanai APBN mulai tahun 2008 tersebut.

Mantan Bupati Banjar itu menjelaskan, apabila pembebasan lahan untuk pelebaran jembatan kembar Martapura I dan II tersebut, maka Jembatan Martapura I dan II yang ada sekarang ini bisa dipakai untuk angkutan batubara yang terbatas yakni sekitar enam ton.

Sementara itu, katanya, kontraktor menjadi pemenang lelang akan membangun Jembatan Martapura I dan II dibagian kanan jembatan yang ada sekarang ini, sedangkan bangunan jembatan yang sekarang akan dibongkar.

"Kita harapkan pelaksanaan proyek pembangunan Jembatan Martapura I dan II mulai awal September 2008 ini, karena itu pembebasan lahan paling lambat akhir Agustus 2008 ini," ujarnya didampingi Kepala Dinas Kimpraswil Kalsel, Ir M Arsyadi, ME.

Sementara itu, truk angkutan batubara yang sudah kosong akan diarahkan melewati Jembatan Pekauman, selama pembangunan jembatan Martapura I dan II yang diharapkan selesai Desember 2008.

Secara terpisah, Kepala Dinas Kimpraswil Kalsel, M Arsyadi, menjelaskan, perbaikan dan sekaligus membangun satu jalur Jembatan Martapura I dan II tersebut untuk tahun 2008 ini telah dianggarkan sebesar Rp10 milyar dari rencana total Rp17 milyar.

Menurut Arsyadi, jembatan Martapura I dan II tersebut diperluas dari yang ada sekarang hanya lebar tujuh meter menjadi 14 meter dalam bentuk kembar.

Seperti diketahui, pemenang tender penggantian kontruksi baja jembatan Martapura I dan II adalah PT Agra Budi dengan nilai sekitar Rp9 milyar. ani/mb05

Tak Hanya Sawit dan Batu Bara

Rabu, 13-08-2008 | 00:33:27

Kalsel Serius Kembangkan UKM
BANJARMASIN, BPOST
- Usaha kecil menengah harus lebih ditumbuhkembangkan termasuk di Kalsel. Itu karena hampir 90 persen lebih usaha kecil menengah terserap dalam berbagai sektor di Indonesia.

Demikian permintaan Ketua Komisi VI DPR-RI Muhidin dalam rapat kerja bersama Disperindag Kalimantan Selatan yang dihadiri pula sejumlah BUMN seperti PT Inhutani II, PT Inhutani III, PT Pupuk Kaltim, serta PT Pertani, Senin (11/8).

"Dengan bertumbuhnya usaha kecil dan menengah ini tentunya akan memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah," kata Muhidin.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel, Subardjo menyambut baik semua masukan itu. " Ke depannya kita akan menggalakkan dan mengembangkan UKM daerah untuk menghasilkan produk khusus yang bisa dijadikan komoditas unggulan yang bernilai jual tinggi, dengan market yang luas," terang Subardjo.

Subardjo mengakui pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah memang belum dilakukan secara merata di berbagai sektor di kabupaten/kota se-Kalimantan Selatan. Namun selama ini, Disperindag, imbuhnya, telah melakukan pembinaan terhadap sejumlah UKM yang menghasilkan produk unggulan di kabupaten/kota.

Contohnya di HSU, pembinaan terhadap usaha mebel dan di Nagara HSS, Disperindag pun membina UKM yang mengembangkan industri rumah tangga dan pandai besi.

"Selama ini memang ekspor didominasi SDA Kalsel seperti batu bara dan sawit. Seharusnya jangan cuma batu bara dan kelapa sawit, tapi berbagai komoditas lainnya yang bernilai jual tinggi. Untuk itu, kita akan berusaha ekspor yang mengarah ke diversifikasi produk Kalsel," tandas Subardjo.

Kunjungan Komisi VI DPR RI yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM dan BUMN ini, sekaligus mengadakan peninjauan terkait rencana pembangunan PT Krakatau Steel di Batulicin yang dimulai akhir 2008. (aa)

Ekspor Batu Bara Dibatasi

Sabtu, 16-08-2008 | 00:36:42

Perusahaan Tak Taat Kena Sanksi
JAKARTA, BPOST
- Perusahaan batu bara di Indonesia diharuskan memasok ke pasar domestik dengan jumlah yang ditentukan pemerintah. Dengan langkah itu, otomatis akan membatasi penjualan ke luar negeri.

Dalam salinan draft Departemen ESDM, disebutkan, pemerintah tiap tahun akan membuat jumlah persentase produksi batu bara yang harus dijual ke pasar dalam negeri.

Dalam draft itu juga disebutkan, kebijakan memasok jatah konsumsi dalam negeri atau dikenal dengan istilah domestic market obligations (DMO) akan dimulai pada tahun depan dan perusahaan yang tidak menaati peraturan akan dikenakan sanksi.

"Kami masih akan membicarakannya kepada para pelaku pasar mengenai ketentuan baru ini," kata Direktur Pembinaan Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono.

Dalam draft itu juga tertulis, harga batu bara yang dijual dalam kontrak harus disesuaikan setiap bulan mengikuti harga di pasar global. Perusahaan diberi waktu tiga bulan untuk negosiasi ulang kontrak jangka panjang demi memenuhi ketentuan peraturan baru ini.

Seperti diketahui, permintaan batu bara domestik untuk pembangkit listrik akan melonjak sebesar 32 juta metrik ton setiap tahun hingga 2010. Itu terkait dibukanya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru berkapasitas 10.000 megawatt dengan batu bara sebagai bahan bakarnya.

Kebijakan baru pemerintah ini dipastikan akan memengaruhi ekspor batu bara Indonesia, yang merupakan eksportir batu bara thermal terbesar dunia. "Tanpa ada kerusakan di sejumlah tambang, pasokan dari Indonesia ke pasar dunia akan sangat terbatas, dengan demikian persediaan batu bara dunia akan sangat ketat," kata Michael Dixon, Executive General Manager AME Mineral Economics menanggapi keputusan itu.

Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) memprediksi produksi naik 9 persen menjadi 235 juta ton pada 2008. Harga batu bara dunia terus meningkat menyusul meningkatnya permintaan dari Asia di samping karena China, produsen dan konsumen batu bara terbesar dunia mengurangi ekspor.

Harga batu bara thermal di pelabutan Newcastle Australia, sebagai patokan di Asia, mencapai rekor tertingginya 194,79 dolar AS per ton pada 4 Juli lalu. (bc/rai)

Pemerintah Pusat Utang Rp 29 Miliar

Jumat, 15-08-2008 | 00:30:16

Pembayaran Royalti Batu Bara
MARTAPURA, BPOST - Batu bara benar-benar produksi primadona bagi kas daerah Kabupaten Banjar. Pendapatan dari produksi emas hitam di daerah ini melebihi target. Namun, pemerintah daerah belum sepenuhnya menerima bagian dana hasil pertambangan batu bara (DHPB) berupa royalti.

Royalti empat perusahaan pemilik perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) di Kabupaten Banjar untuk 2007 belum dibayarkan seluruhnya. Pemerintah pusat masih memiliki utang pembagian royalti sebesar Rp 29,4 miliar kepada Kabupaten Banjar.

Hingga Agustus ini jatah royalti yang telah dibayarkan itu hanya sesuai target yang dipatok pemerintah pusat sebesar Rp 36 miliar. Padahal, produksi batu bara dari empat pemegang izin PKP2B itu setahun lalu mencatatkan pendapatan bersih dari bagi hasil pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp 65,4 miliar.

Pendapatan yang belum dibayarkan ini ialah setoran produksi dari Perusahaan Daerah (PD) Baramarta, PT Kadya Caraka Mulia (KCM), PT Tanjung Alam Jaya, PT Bangun Banua Persada. Ke empat perusahaan ini melampaui target pendapatan sehingga berimbas pada angka royalti yang diterima negara dan harus dibagikan ke daerah.

"Memang masih ada Rp 29 miliar royalti batu bara yang belum dibayarkan pemerintah pusat ke Kabupaten Banjar. Itu merupakan sisa pembayaran yang melampaui target," beber Rendra Fauzi Kadispenda Banjar.

Menurut Rendra, pemerintah pusat beralasan menunda pembayaran karena menunggu peraturan Menteri Keuangan terkait mekanisme adiministrasi pembayaran. Pemerintah pusat berjanji baru akan membayarkan November 2008.

Tentang mekanisme dan bagian royalti ini sebagaimana data di Distamben di Kalsel tersisa kecil sekali. Dari 13,5 persen DHPB, 9 persen merupakan bagian untuk pemerintah pusat dan sisanya 4,5 persennya untuk ke Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masing-masing 10 persen dari bagian itu.

Sementara 80 persennya lagi, daerah baru sampai ke daerah penghasil. Itu pun, pembagiannya disamaratakan dengan daerah nonpenghasil. Daerah penghasil tambang mendapatkan sama-sama 32 persen. (niz)

Friday, August 15, 2008

Kalimantan Tolak RUU Tambang

Senin, 04-08-2008 | 00:33:47

Harus Untungkan Daerah
BANJARBARU, BPOST
- Kepala Dinas Pertambangan se-Kalimantan akan berjuang menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) sebelum isinya direvisi.

Mereka akan berembuk agar dalam undang-undang itu daerah penghasil tak lagi mendapatkan royalti yang terlalu kecil.

Wacana pertemuan itu dilontarkan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalsel Ali Muzanie.

Menurutnya, gagasan itu dipicu semakin tak jelasnya perubahan UU Minerba ini. Padahal, wakil rakyat di DPR RI yang menggodok UU itu berharap UU baru itu memberi perbaikan pada daerah penghasil batu bara termasuk Kalsel.

"Jadi sebelum RUU Minerba disahkan menjadi UU, Kadistam se-Kalimantan minus Kalbar akan bertemu membicarakan masalah ini," tandas Ali, belum lama ini.

Mantan Kadistam Banjar itu mengatakan, permasalahan pertambangan yang paling dirasakan tak seimbang adalah dari sisi pendapatan dan kerusakan lingkungan. Dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan sangat tak sepadan jika dibandingkan dengan pendapatan dari hasil tambang batu bara yang sampai ke daerah.

Pihaknya pesimis, kesejahteraan daerah akan terwujud apabila UU Minerba tetap disahkan dengan konsep yang ada saat ini.

"Dampak lingkungannya jauh lebih mengerikan. Kalau hasilnya sedikit bagaimana daerah penghasil bisa sejahtera," imbuh Ali.

Kapan pertemuan itu? Ali mengatakan dirinya berupaya secepat mungkin. Apalagi, pihaknya mendengar pengesahan RUU Minerba bulan ini.

Sebelumnya, Gubernur Kalsel, Rudy Ariffin meminta wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalsel memperjuangkan perbaikan jatah royalti dari sumber daya energi dan mineral. Seharusnya, menurut gubernur semua royalti itu bisa masuk ke provinsi. Kalau pun ada untuk pemerintah pusat, tak boleh lebih dari 50 persen.

Data Distamben Kalsel, pada 2007, royalti batu bara untuk Kalsel sekitar Rp 80 miliar sampai 90 miliar, atau hanya empat persen dari royati yang disetorkan perusahaan batu bara ke pemerintah pusat. (niz)

Daerah Harus Dapat Rp 50 Triliun

Kamis, 07-08-2008 | 00:40:13

Sebelum UU Minerba Disahkan
BANJARBARU, BPOST
- Anggota Komisi III DPRD Kalsel SJ Abdis meminta Pemerintah Provinsi Kalsel memperjuangkan royalti dari hasil tambang batu bara minimal Rp 50 triliun per tahun. Perjuangan itu harus gol sebelum sebelum Rancangan Undang-undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba) disahkan.

"Jika memang Kepala dinas pertambangan se -Kalimantan menolak, segera bikin kesepakatan bersama. Jangan hanya rencana," kata Abdis di sela pemantauan lapangan dan ekspose ke pertambangan intan milik PT Galuh Cempaka (GC) Banjarbaru, Selasa (5/8).

Sebelumnya Kepala Dinas Pertambangan (Kadistam) Kalsel Ali Muzanie berencana berembuk dengan Kadistam se- Kalimantan untuk mencari kesepakatan mencegah pemberlakuan porsi kecil royalti penambangan batu bara di daerah penghasil.

Abdis meminta agar Kadistam segera merumuskan kesepakatan tersebut, mengingat RUU ini dalam waktu singkat bakal diketok di DPR RI.

"Daerah minimal mendapatkan bagian dari royalti batu bara itu 35 persen atau setahun minimal Rp 50 triliun. Apalagi lanjutnya harga emas hitam ini sedang bagus. Harga batu bara per ton sekarang mencapai 150 sampai 170 dolar as.

Jika 35 persen terpenuhi, dengan asumsi produksi batu bara di Kalsel 100 juta ton dalam setahun, maka royalti minimal 50 miliar dolar Amerika itu bisa dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat Kalsel.

Kalau sebelumnya sikap pesimis bakal ada kesejahteraan daerah yang tertunda jika UU Minerba tetap disahkan dengan konsep saat ini, maka dengan komposisi 35 persen tersebut hal ini tak akan terjadi. Daerah kaya sumber daya alam ini bakal merasakan dampak positif.

Demikian pula dengan dampak lingkungan. Dengan hasil setara, maka kerusakan bisa dicegah. "Kadistam ditunggu dua atau tiga hari lagi ke DPR. Jika memang ingin memperjuangkan penolakan UU Minerba," imbuh Abdis.

Seperti diberitakan, wacana pertemuan Kadistam se-Kalimantan dilontarkan Kadistam Kalsel Ali Muzanie. Menurutnya gagasan ini dipicu semakin tak jelasnya perubahan UU Minerba ini. Padahal, dari awal wakil rakyat di DPR RI menggodoknya UU baru tersebut diharapkan memberikan perbaikan pada permasalahan pertambangan batu bara di daerah penghasil termasuk di Kalsel. (niz)

Udang di Muara Menghilang

Minggu, 10-08-2008 | 00:30:50

Batu Bara Cemari Pesisir
PELAIHARI, BPOST
- Usaha melaut para nelayan di Desa Muara Asam Asam Kecamatan Jorong terus menyusut selama dua tahun terakhir. Nelayan menduga hal itu akibat tercemarnya lautan di wilayah mereka oleh batu bara.

Kades Muara Asam Asam, Zainuddin menuturkan, dua tahun lalu berjarak tiga mil laut dari pesisir desanya ada sebuah tongkang (Mega 08 Ex Em2) yang labuh. Batu baranya tumpah dan berhamburan ke laut akibat terjangan gelombang besar. Fisik tongkang rusak berat, terbelah menjadi dua bagian.

"Sejak saat itulah hasil tangkapan nelayan turun dan terus menurun hingga sekarang. Kondisi saat ini terasa kian parah, nelayan sering merugi, pulang tanpa membawa ikan," beber Zainuddin via telepon.

Sebelum terjadinya pencemaran batu bara tersebut, lanjutnya, populasi ikan di wilayah pesisir lautan setempat cukup banyak. Udang misalnya, ada beberapa jenis, seperti brown dan tiger yang menjadi tangkapan utama nelayan kala itu.

"Ikan-ikan, termasuk udang, tak mau lagi hidup di lautan di sini karena adanya pencemaran batu bara itu. Bahkan, dampaknya juga dirasakan nelayan di desa tetangga yakni di Desa Swarangan. Nelayan di sana juga banyak yang mengeluh karena sepinya tangkapan," sebut Zainuddin.

Pemilik tongkang tersebut hingga kini masih misterius. Pihaknya telah berusaha mencari pemiliknya hingga ke Kaltim yang rencananya dimintai pertanggungjawaban atas pencemaran tersebut, tak membuahkan hasil.

"Tiba-tiba, tiga hari lalu ada pihak yang mengaku dari Asuransi menarik tongkang itu ke Banjarmasin. Ini yang meresahkan nelayan di sini. Pasalnya, tongkang itu merupakan jaminan bagi nelayan untuk meminta kompensasi atas kerugian yang dialami, terutama nelayan yang kapalnya rusak berat lantaran menabrak tongkang itu," beber Zainuddin.

Sedikitnya ada tiga nelayan yang kapalnya tenggelam akibat menabrak tongkang tersebut. Musibah itu terjadi tak lama sejak sandarnya tongkang tersebut dua tahun lalu. Akibat tak punya sarana peneranagan yang memadai, ketika pulang malam hari kapal nelayan membentur tongkang.

Tongkang itu sendiri, sebut Zainuddin, nilainya ditaksir mencapai Rp 3 miliar. Nelayan muara Asam Asam dan Swarangan hanya ingin meminta Rp 500 juta sebagai kompensasi atas kerusakan kapal dan sepinya tangkapan akibat pencemaran batu bara.

Namun, harapan memperoleh kompensasi itu kini hanya tinggal kenangan. "Nelayan di desa kami sekarang resah, Pak. Kemana kami mengadu? Tidak mungkin kan saya yang harus menanggung kerusakan kapal mereka akibat menabrak tongkang itu," Keluh Zainuddin. (roy)

Pemerintah Pusat Utang Rp 29 Miliar

Jumat, 15-08-2008 | 00:30:16

Pembayaran Royalti Batu Bara
MARTAPURA, BPOST - Batu bara benar-benar produksi primadona bagi kas daerah Kabupaten Banjar. Pendapatan dari produksi emas hitam di daerah ini melebihi target. Namun, pemerintah daerah belum sepenuhnya menerima bagian dana hasil pertambangan batu bara (DHPB) berupa royalti.

Royalti empat perusahaan pemilik perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) di Kabupaten Banjar untuk 2007 belum dibayarkan seluruhnya. Pemerintah pusat masih memiliki utang pembagian royalti sebesar Rp 29,4 miliar kepada Kabupaten Banjar.

Hingga Agustus ini jatah royalti yang telah dibayarkan itu hanya sesuai target yang dipatok pemerintah pusat sebesar Rp 36 miliar. Padahal, produksi batu bara dari empat pemegang izin PKP2B itu setahun lalu mencatatkan pendapatan bersih dari bagi hasil pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp 65,4 miliar.

Pendapatan yang belum dibayarkan ini ialah setoran produksi dari Perusahaan Daerah (PD) Baramarta, PT Kadya Caraka Mulia (KCM), PT Tanjung Alam Jaya, PT Bangun Banua Persada. Ke empat perusahaan ini melampaui target pendapatan sehingga berimbas pada angka royalti yang diterima negara dan harus dibagikan ke daerah.

"Memang masih ada Rp 29 miliar royalti batu bara yang belum dibayarkan pemerintah pusat ke Kabupaten Banjar. Itu merupakan sisa pembayaran yang melampaui target," beber Rendra Fauzi Kadispenda Banjar.

Menurut Rendra, pemerintah pusat beralasan menunda pembayaran karena menunggu peraturan Menteri Keuangan terkait mekanisme adiministrasi pembayaran. Pemerintah pusat berjanji baru akan membayarkan November 2008.

Tentang mekanisme dan bagian royalti ini sebagaimana data di Distamben di Kalsel tersisa kecil sekali. Dari 13,5 persen DHPB, 9 persen merupakan bagian untuk pemerintah pusat dan sisanya 4,5 persennya untuk ke Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masing-masing 10 persen dari bagian itu.

Sementara 80 persennya lagi, daerah baru sampai ke daerah penghasil. Itu pun, pembagiannya disamaratakan dengan daerah nonpenghasil. Daerah penghasil tambang mendapatkan sama-sama 32 persen. (niz)

Thursday, August 14, 2008

Perusahaan Batubara Lakukan Koreksi Harga

13 August, 2008 07:05:00

BANJARMASIN - Sejumlah perusahaan di Kalimantan Selatan yang terkena 'cekal' dalam ekspor batubara telah menyelesaikan koreksi harga jual 'emas hitam' ini

Penghentian ekspor batubara oleh pemerintah Juli lalu tidak sampai berpengaruh terhadap jalannya operasional pertambangan.

Perusahaan pertambangan di Kalimantan Selatan yang telah melakukan penyesuaian harga jual batubara (konversi) per 1 Agustus 2008 adalah PT Antang Gunung Meratus (PT AGM) dan PT Sumber Kurnia Buana (PT SKB).

PT Tanjung Alam Jaya di Kabupaten Banjar juga sudah melakukan koreksi harga, sedangkan yang dalam proses adalah PT Bangun Banua Persada Kalimantan. Sementara yang belum melakukan koreksi harga adalah PD Baramarta dan PT Kadya Caraka yang berada di Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tapin.

"Yang belum melakukan koreksi harga, tidak akan kami layani pengurusan SAKBnya," ujar sumber Mata Banua di Dinas Pertambangan Kalsel, kemarin.

Public Relations PT Baramulti Group Ir M Fatchoel Hadi menyatakan sejak awal Agustus ini dua anak perusahaan Baramulti yakni PT AGM (beroperasi di Kabupaten Tapin dan Kabupaten HSS), dan PT SKB (di Kabupaten Tapin) telah mengantongi kembali persetujuan penjualan batubara dari Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi (Minerbapabum) Bambang Setiawan.

"Jadi kami tidak ada masalah dengan surat penghentian penjualan dari Dirjen bertanggal 11 Juli 2008 itu. Tidak ada masalah dengan ekspor kami, karena semuanya sudah beres," katanya kepada Mata Banua, tadi malam.

Fatchoel Hadi menjelaskan harga penjualan batubara PT SKB yang semula US$ 34/MT, sekarang sudah dikoreksi menjadi US$ 72/MT. Harga ini berlaku di pelabuhan pemuatan atau FOB tongkang.

"Jadi dalam hal ini, baik PT AGM maupun PT SKB, sudah mendapat persetujuan dari Departemen ESDM Pusat, terhadap koreksi harga jual ekspor batubara di pelabuhan dengan harga baru US$ 77/MT per 1 Agustus 2008," jelas Fatchoel Hadi.

Ia mengatakan dengan surat persetujuan dari Departemen ESDM ini, PT AGM dan PT SKB tidak ada permasalahan dalam melakukan ekspor batubara dengan tujuan Asia Pacific. "Silakan cek ke Dinas Pertambangan Kalimantan Selatan," ujar Fatchoel Hadi.

Ini bisa dibuktikan, ketika baik PT AGM maupun PT SKB Buana meminta Surat Keterangan Asal Barang (SKAB) kepada Dinas Pertambangan Kalsel, selalu diberikan dan ini membuktikan tidak ada masalah pada penjualan batubara ekspor, tandas Fatchoel Hadi.

Dalam salinan fax tentang Persetujuan Penjualan Batubara kepada PT AGM yang diterima Mata Banua, surat Dirjen Minerbapabum No 1578/30/DJB/2008 tanggal 11 Juli 2008 dan No 1579/30/DJB/2008 tanggal 11 Juli 2008 perihal penghentian penjualan batubara dinyatakan tidak berlaku lagi.

PT AGM dan PT SKB diperkenankan untuk menjual batubaranya kembali setelah menandatangani surat pernyataan uang menyebutkan bahwa PT AGM dan PT SKB bersedia membayar kekurangan DHPB atas hasil penjualan batubara periode 1 Agustus-31 Desember 2008.

Surat persetujuan penjualan batubara dari Dirjen Minerbapabum untuk PT AGM No 1783/30.00/DJB/2008, tertanggal 7 Agustus 2008 sedang untuk PT SKB No 1775/30.00/DJB/2008, tertanggal 6 Agustus 2008. dir/ali.

Kalsel Tuntut Pengaturan Tata Niaga Batubara

12 August, 2008 06:07:00

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kalsel Subardjo

PEMERINTAH Provinsi Kalimantan Selatan menuntut pemerintah pusat segera menerbitkan peraturan yang mengatur tata niaga batubara agar tidak diperjualbelikan secara bebas.

Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kalsel Subardjo dalam pertemuan dengan anggota Komisi VI DPR di Banjarmasin, Selasa.

Menurutnya, saat ini perdagangan batubara, khususnya di Kalsel, belum diatur alias masih diperjualbelikan secara bebas, sehingga pemerintah sulit untuk mengakses data secara riil berapa besar produksi batubara dari Kalsel.

Kondisi ini bila terus dibiarkan, akan sangat membahayakan sumber daya alam di Kalsel, karena batubara terus dikeruk sementara pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan.

Dikhawatirkan, produksi sumber daya alam batubara tersebut akan habis dalam waktu singkat seperti yang terjadi pada kayu dan sumber daya alam lainnya.

Apalagi dengan adanya peraturan baru yang membolehkan setiap warga negara berusaha di sektor pertambangan ini secara bebas. "Ketentuan tata niaga batubara dan pertambangan lain, mutlak harus segera diterbitkan, sebagai pedoman untuk pengawasan," katanya.

Diungkapkannya, saat ini pemerintah hampir tidak memiliki akses untuk mengetahui secara pasti tata niaga batubara yang setiap tahun produksinya terus meningkat.

Sekda Kalsel Muchlis Gafuri mengungkapkan, dari data yang ada ekspor batubara Kalsel tiap tahunnya mencapai 70 juta ton dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 90 juta ton pada 2008 ini. Tingginya produksi batu bara ini, di satu sisi cukup menggembirakan, tetapi juga sangat mengkhawatirkan, karena banyak yang justru merugikan daerah, kaerna kendali pengawasan dan aturan masih di tangan pemerintah pusat.

Dia mencontohkan, seperti kayu, beberapa tahun lalu, Kalimantan di kenal dengan surganya kayu, sehingga tidak sedikit pengusaha yang kaya karena produksi kayu tersebut.

"Bahkan dapat diistilahkan, dulu warga Kalimantan Timur karena kayanya oleh kayu, melinting rokok juga dengan uang, namun sekarang kenyataannya, tidak satupun industri kayu yang sehat," tambahnya.

Hal tersebut terjadi, karena kebijakan pusat yang tidak melakukan kajian mendalam untuk jangka panjang, yang ada hanya menebang tanpa melakukan pembaharuan.

"Proyek pembukaan lahan sejuta hektar, sangat memukul daerah, karena sejuta lahan dibabat diambil kayunya, sementara lahannya tidak ada yang digarap, sehingga daerah babak belur," katanya.

Jangan sampai, kondisi tersebut juga terulang pada sektor batubara, yang hingga kini terus ditambang, sementara tidak dilakukan reklamasi.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan beberapa anggota Komisi VI yang diketuai oleh Muhidin Said. Menurut Said, seluruh persoalan yang mencuat di daerah akan segera diperjuangkan di pemerintah pusat.

"Kita cukup terkejut dengan persoalan-persoalan di daerah, terutama tambang, permasalah ini akan terus kita perjuangkan di pusat," pungkas Said. an/mb07

Giliran Empat Pengusaha Jadi Tersangka

11 August, 2008 05:49:00

BANJARMASIN - Setelah ARR, MI, Bur dan Mas, kini menyusul empat pengusaha yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati).

Keempat pengusaha sebenarnya adalah rekanan bisnis trading batubara dari Pos Logistik PT Pos Banjarbaru. "Memang benar, selain dua anak buah MI yang kita tetapkan sebagai tersangka, ternyata empat pengusaha rekanan bisnis Pos Logistik, oleh Kejagung juga ditetapkan sebagai tersangka," ujar Asintel Kejati Kalsel Sudung Situmorang SH MH didampingi jaksa penyidik, Fakhruddin SH, Senin (11/8).

Empat pengusaha itu antara lain, petinggi PT Tiara Citra Mandiri (TCM) Ufk, PT Aldarista Global Mineral (AGM) SJ, PT Regency Logistic Service (RLS) Cah dan PT Citra Persada Energytama (CPE) Nzr.

Menurut Sudung, keempat perusahaan ini diduga turut berkolusi dengan oknum pejabat di Pos Logistik yang jadi tersangka. Kerugian negara yang mencapai Rp28 milyar itu sendiri, adalah dana yang dari versi perusahaan adalah dana yang belum terkembalikan ke Pos Logistik.

Dari informasi terhimpun, dana yang belum 'terbayar' namun dianggap penyidik dikorupsi, masing-masing PT AGM sebesar Rp490 juta, RLS sebesar Rp3,2 milyar, PT CPE sekitar Rp2 milyar dan terbesar PT TCM sekitar Rp23 milyar, sehingga total Rp28 milyar.

Adapun Bur dan Mas, masing-masing menjabat supervisor pemasaran dan supervisor umum Pos Logistik PT Pos Banjarbaru, menurut Sudung diduga turut membantu tersangka MI dalam pencairan dana dari pusat tersebut.

"Jika ARR dan empat pengusaha diperiksa Kejagung, maka untuk Bur dan Mas akan diperiksa penyidik di sini. Pada Kamis (14/8) mendatang, kita akan mengundang para saksi untuk tersangka Bur dan Mas. Sementara untuk tersangka Bur dan Mas akan kita panggil belakangan dalam waktu dekat ini. Bur dan Mas, sebenarnya pernah kita periksa sebagai saksi untuk tersangka MI," jelasnya.

Menurut Sudung, pengusutan kasus dugaan korupsi, sebagian ada yang ditangani Kejagung dan sebagian lagi tetap dilaksanakan pihaknya.

"Jadi, sifatnya koordinatif saja. Sebagai contoh, ARR (Kepala Pos Logistik PT Pos) ditetapkan Kejagung sebagai tersangka dan pemeriksaannya ditangani Kejagung. Memang, pemeriksaan ARR di sini belum rampung sepenuhnya. Namun, demi memudahkan pemeriksaan, apalagi ARR juga tersangkut hal yang serupa di Provinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, maka Kejagung yang menanganinya," ungkapnya.

Tak mungkin keliru

Menanggapi pernyataan kuasa hukum ARR, Faisal Syarif SH MH bahwa kliennya tidak bersalah dan tak menikmati hasil korupsi, Sudung mengatakan, pihaknya sudah dua bulan melakukan penyelidikan, sehingga tidak mungkin keliru.

Dikatakan, dana tersebut seyogyianya dipakai untuk transportasi logistik, namun entah bagaimana, diduga oleh para tersangka, dana itu justru dijadikan trading (pinjaman) bagi pengusaha untuk bisnis batubara. Ketidakberesan mencuat, begitu dana tersebut menjadi macet. adi/mb05

Bos PT Bara Trans Diperiksa Polisi

06 August, 2008 06:45:00

BANJARMASIN - Dua petinggi PT Bara Trans, masing-masing Yusuf dan Sukardi diperiksa secara intensif oleh penyidik Dit Polair Polda Kalsel sehubungan kasus penyelundupan alat berat dan pendukung lainnya.

Pemeriksaan itu diharapkan dapat membongkar siapa yang sebenarnya pemilik alat berat dan barang-barang ilegal yang masuk tanpa melalui bea dan cukai itu.

"Memang, hari ini kita tengah melakukan pemeriksaan terhadap Yusuf, perwakilan Bara Trans di Banjarmasin, serta petinggi Bara Trans pusat, Sukardi. Pemeriksaan masih berlanjut," ujar Dir Polair Polda Kalsel AKBP Sunaryo melalui Kasubdit Bin Ops-nya Kompol Daswar Tanjung, Rabu (6/8).

Menurutnya, kapasitas kedua petinggi perusahaan sebagai agen kapal tugboat itu, masih sebatas saksi. "Mudah-mudahan dari keterangan keduanya, kita bisa mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat memasukkan dan memiliki alat berat dan barang-barang ilegal lainnya ke dalam tugboat maupun floating crane yang sudah kita amankan itu," tukasnya.

Sejauh ini, lanjutnya, pihaknya baru menetapkan dua orang sebagai tersangka, masing-masing Sam (45), warga Batam dan Apr (35), warga Gg Purnawirawan Teluk Dalam Banjarmasin yang bertanggung jawab di tugboat.

Diakui, Daniel Wei alias Mr Wei yang dipanggil juga oleh pihaknya masih belum menujukkan batang hidungnya. Tak hanya dicari ke kediamannya di Jl Pembangunan I, Kedubes Singapura juga sudah disurati untuk dimintai kerjasamanya memanggil warga Singapura itu.

Daswar menegaskan, sejauh ini, penyidikan masih tetap dilakukan pihaknya, sehingga belum akan melimpahkan ke pihak bea dan cukai.

"Karena, tindak penyelundupan ini tak sesederhana itu. Kita akan mengenakan pasal berlapis kepada tersangka, seperti UU 17/2006 tentang Kepabeanan dan UU 17/2008 tentang Pelayaran. Selain itu, kita akan kenakan pula pasal 422 KUHP karena telah melakukan laporan palsu," tandasnya.

Non kargo

Disinggung kenapa ada pasal laporan palsu, ia menerangkan bahwa pada mula dilakukannya penggrebekan di perairan Tabunio, Selasa (29/7) lalu, sempat ada pihak yang menjelaskan kepada pihaknya kalau alat berat dan barang-barang lainnya merupakan barang non kargo. "Nyatanya, alat berat dan barang lainnya itu, semestinya melalui pemeriksaan dan izin bea dan cukai," bebernya.

Sebelumnya, Dit Polair Polda Kalsel mengamankan dua unit kapal floating crane dan dua tugboat yang membawa alat berat, ketika beroperasi di perairan Tabunio, Selasa (29/7) pukul 10.30 Wita.

Diamankannya kedua kapal OBT Omega (floating crane) yang ditarik oleh kapal tugboat Sumber Power 15 pada saat melakukan kegiatan, yakni memindahkan muatan-muatan ke kapal floating crane OBT II yang ditarik oleh tugboat Bahtera Buana.

Barang bukti antara lain empat unit bulldozer, kabel sling 40 gulung, oli 90 drum, BBM jenis solar 8 ton, filter udara ratusan dos, filter oli ada ratusan, floting crane dua unit, masing-masing OBT Omega dan OBT II.

Kemudian, tugboat dua unit, masing-masing TB Sumber Power (penarik OBT Omega) dan TB Bahtera Buana (penarik OBT II). Selanjutnya, dua buah komputer (terdiri dua layar monitor dan dua CPU), satu mesin las, dua buah radiator besar, cat ratusan kaleng (@ 25 kg), gres (gamuk) puluhan kaleng (berat @ 25 kg). adi/mb05

Tongkang Bara Ditahan Di Alur

11 August, 2008 06:38:00

Seluruh tongkang batubara dengan draf 5,7 meter terpaksa ditahan untuk tidak masuk ke alur Barito, karena dikhawatirkan akan kandas akibat kedalaman ambang Barito sekitar 3,3 meter.

BANJARMASIN - Khawatir kembali terjadi kandas di Alur ambang Sungai Barito, Administrasi pelabuhan (Adpel) Banjarmasin, menahan semua tongkang pengangkut batubara dengan draf 5,7 meter agar tidak masuk ke alur Barito.

"Kita saat ini telah menahan tongkang angkutan batubara dengan draf 5,7 meter agar sementara tidak melewati alur ambang Sungai Barito, karena jika dipaksakan lewat bisa kandas," kata Administrator Pelabuhan Banjarmasin, Capt. Sufrisman Djaffar, kemarin.

Pernyataan Administrator Pelabuhan Trisakti Banjarmasin itu disampaikan seusai menghadiri pertemuan dengan Tim Komisi VI DPR RI yang dipimpin Sekdaprov Kalsel, HM Muchlis Gafuri, di Graha Abdi Persada Kantor Gubernur di Banjarmasin.

Menurut Sufrisman, penahanan tongkang batubara dengan draf 5,7 meter untuk melewati alur tersebut, karena saat ini kondisi alur ambang Sungai Barito dengan kedalaman 3,3 meter, sedangkan air pasang hanya 2,2 meter.

Jadi untuk sementara ini, katanya, pihaknya hanya mengizinkan berlayar tongkang batubara dengan draf 5,4 meter sehingga tidak mengalami kandas di alur, apabila tongkang dengan draf 5,7 meter dikhawatirkan akan kandas.

"Kita menahan tongkang angkutan batubara dengan draf 5,7 meter untuk tidak melewati alur untuk kebaikan bersama, sebab jika terjadi kandas di alur akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar lagi," katanya.

Dia menjelaskan, jika tongkang batubara kandas di tengah alur ambang Barito, maka akan terhalang kapal tanker yang mengangkut minyak, kapal penumpang dan kapal yang mengangkut sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako).

Dengan adanya penahanan bagi tongkang pengangkut batubara dengan draf 5,7 meter tersebut, lanjutnya, kini tertahan sekitar 30 buah tongkang batubara.

Namun demikian, katanya, apabila ketinggian air mencapai 2,5 meter yang diperkirakan Selasa (12/8), maka semua tongkang batubara sudah diperbolehkan melewati alur ambang Sungai Barito, sehingga tidak ada lagi tongkang yang tertahan di alur. ani/mb05

Kadistamben Lempar Tangung Jawab

08 August, 2008 09:36:00

MARTAPURA - Dinas Pertambangan (Distam) Banjar memiliki sejumlah rekening. Selain rekening bendahara pengeluaran, terdapat tujuh rekening menampung penerimaan uang jaminan sektor pertambangan.

Rekening-rekening itu satu nama Kadistamben Banjar dengan nomor 009.00.04.00391.0, dan enam rekening atas nama pengusaha pertambangan yang belum dilaporkan dalam laporan keuangan daerah.

Sekedar diketahui, jaminan kesungguhan adalah dana yang dijaminkan oleh pemohon kontrak karya dan kontrak karya batubara sebagai pembuktian kesungguhan dan kemampuan pemohon untuk melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan.

Sedangkan untuk uang jaminan reklamasi adalah dana yang disetor oleh perusahan pertambangan sebagai jaminan atas kegiatan ekploitasi pertambangan umum dalam bentuk tabungan Simpeda atas nama masing-masing pengusaha.

Dana tersebut dibentuk berdasarkan kesepakatan lisan anatar pihak pengusaha, Kepala Dinas Pertambangan, Bank Pembangunan Daerah Cabang Martapura yang tidak dapat diambil oleh pemiliknya kecuali atas persetujuan Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Banjar.

Nah, jaminan reklamasi yang harus dibayar oleh masing-masing pengusahaan tidak ditetapkan dalam surat ketetapan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Melainkan hanya berdasarkan kesepakatan anatar pengusaha dengan Dinas Pertambangan dengan setoran pertama uang jaminan reklamasi sebesar Rp 50.000.000, dan selanjutnya dibayar berdasarkan besarnya jumlah produksi.

Sedangkan dari temuan dalam LHP BPK RI tersebut, uang jaminan kesungguhan dan jaminan reklamasi sebesar Rp1.339.790.366 tidak tercatat dalam laporan keuangan daerah.

Akibatnya pengendalian uang jaminan menjadi lemah karena mudah untuk dicairkan atau diambil. Karena surat perintah pemblokiran tersebut tidak ada dari keterangan pihak Bank. Padahal aturan menyebutkan harus dibuatkan surat pemblokiran dana oleh masing-masing pengusaha yang ditujukan kepada bank.

Parahnya berdasarkan hasil konfirmasi dengan Kadistamben Kabupaten Banjar Sofian AH, kemana aliran dana tersebut masuk bukti kuintansinya tidak bisa ditunjukkan.

Ironisnya Sofian AH malah seakan melemparkan temuan Perwakilan BPK RI merupakan warisan terdahulu dari Kadistamben Banjar yang lama, waktu itu dijabat Ali Muzanie.

Dirinya berdalih baru menjabat sebagai Kadistamben sekitar November 2007 lalu, jadi dana kesungguhan dan dana reklamasi yang menurut hasil temuan BPK RI tidak masuk dalam neraca daerah itu merupakan warisan pejabat yang lama.

Anehnya dana tersebut bisa saja masuk ke salah satu rekening di Distamben Banjar. Apalagi dalam temuan BPK RI diungkapkan bahwa tidak ada menyatakan dana itu sudah diblokir.

Namun Sofian AH tetap dengan penuh keyakinan menjamin bahwa untuk permasalahan uang jaminan kesungguhan sebesar Rp496.255.900 dan untuk setoran uang jaminan reklamasi sebesar Rp 843.534.186, sehingga total keduanya sebesar Rp 1.339.790.366, semuanya sudah tidak menjadi masalah di Dinas yang ia pimpin.

Hal itu menurutnya sudah mereka klarifikasi ke BPK RI, dan masalahnya sudah clear, sehingga tidak ada permasalahan berarti lagi. "Semua berjalan sesuai aturan, uang jaminan kesungguhan dan uang jaminan reklamasi dikembalikan ke pengusaha yang menyetorkannya," tegasnya.

Memang menurut Sofian AH kedua dana senilai 1,3 Miliar lebih tersebut ditaruh pada salah satu rekening Dinas Pertambangan, tetapi ia menegaskan bahwa tidak ada pemotongan dan dikembalikan sepenuhnya kepada pengusaha batu bara. ` Bahkan sampai bunganya kita serahkan," pungkasnya.

Namun sayangnya ia tidak bisa menunjukkan bukti kuitansi uang jaminan kesungguhan dan uang jaminan reklamasi tersebut apakah sudah dikembalikan kepada pihak pengusaha batu bara di wilayah Kabupaten Banjar atau belum dikembalikan.

Begitu juga terkait mengenai berapa uang jaminan kesungguhan dan uang jaminan reklamasi berapa besarannya saat ini, Sofian AhH kembali tidak bisa menyebutkannya.ina/elo

Pengusaha Tambang Melawan Pencekalan

06 August, 2008 06:59:00

Enam perusahaan tambang batubara (PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia dan PT BHP Kendilo Coal) menahan sebagian pembayaran dana hasil penjualan batubara (DHPB) senilai Rp7 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari tunggakan mulai 2001 hingga 2005 senilai Rp3,8 triliun dan tahun 2005 sampai 2007 sebanyak Rp3,2 triliun.

Ketua Umum APBI, Jeffrey Mulyono di Jakarta, Rabu, mengatakan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah memerintahkan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) menunda penagihannya sampai adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Namun, nyatanya keluar pencekalan berdasarkan keputusan PUPN yang sebenarnya masih ditangguhkan pelaksanannya oleh PTUN Jakarta itu. Jadi, keputusan pencekalan yang dikeluarkan Menkeu merupakan tindakan melawan hukum," katanya.

Menurut Jeffrey, pernyataannya merupakan sikap bersama enam perusahaan yakni PT Berau Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal.

Ke-6 perusahaan tersebut merupakan pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama yang ditandatangani sekitar tahun 1980-an.

Kontrak tersebut menyebutkan perusahaan terbebas dari pengenaan pajak-pajak baru (lex specialist). Atau, kalaupun terkena pajak akan diberi penggantian (reimbursement).

Pada 22 Desember 2000, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 144 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Di sana disebutkan, batubara termasuk barang yang tidak dikenakan PPN.

Pemberlakuan PP itu memang membuat perusahaan batubara tidak terkena PPN keluaran. Namun dalam proses produksi dikenakan PPN masukan. Padahal, sesuai kontrak PKP2B, perusahaan tidak terkena PPN masukan. Akibatnya, perusahaan meminta penggantian sesuai ketentuan yang tercantum dalam kontrak PKP2B.

"Namun, pemerintah tidak melaksanakan penggantian tersebut, sehingga pengusaha menahan sebagian pembayaran royalti sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata," kata Jeffrey.
JAKARTA - Perusahaan tambang yang dituduh belum membayar pajak, melakukan perlawanan. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai pencekalan 14 pimpinan perusahaan batubara merupakan tindakan melawan hukum. 

Atas tindakan pengusaha itu, pemerintah melalui PUPN mengeluarkan keputusan paksa penagihan pada Juli 2007. Selanjutnya, pengusaha juga mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta pada September 2007.

"Lalu, keluarlah putusan Hakim PTUN Jakarta tertanggal 21 September 2007 yang meminta PUPN menghentikan penagihannya sampai ada keputusan hukum pengadilan yang berkekuatan tetap," kata Jeffrey. Atas putusan PTUN tersebut, pada 17 April 2008, PUPN mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

"Dengan permohonan banding itu berarti sampai saat ini penagihan tetap dalam status penangguhan dan tidak dibenarkan keluar keputusan pencekalan tersebut," katanya.

Ditjen Imigrasi mengumumkan pencekalan ke luar negeri terhadap 14 pimpinan perusahaan batubara selama enam bulan terhitung mulai 1 Agustus 2008 sampai 27 Januari 2009.

Pencekalan tersebut atas dasar Keptusan Menkeu tertanggal 28 Juli 2008 tentang Penetapan Pencegahan Debitor Piutang Negara untuk Bepergian ke Luar Wilayah RI.

Ke-14 pimpinan perusahaan adalah Edwin Soerjadjaja dari PT Adaro Indonesia dan Ari Saptari Hudaya, Kenneth Patrick Farrel, Abdullah Popo Parulian, Nalinkant Amratlal Rathod, dan Hanibal S Anwar dari PT Kaltim Prima Coal.

Selanjutnya, Kazuya Tanaka, Endang Ruchiyat, Ferry Purbaya Wahyu, Edi Junianto Soebari, dan Roslan Perkasa Roslani dari PT Arutmin Indonesia, Jeffrey Mulyono dari PT Berau Coal, Mualin Tantomo dari PT Libra Utama Intiwood, dan Hendra Tjoa dari PT Citra Dwipa Finance. inc/mb07

Mereka Membantah 

JAKARTA - Para petinggi perusahaan batubara yang dicekal ramai-ramai membantah. Sebagian mengaku sudah tak terkait dengan perusahaan batubara yang 'bermasalah' dengan piutang negara, sebagian lagi mengaku belum menerima surat pencekalan.

Setidaknya tiga orang yang dicekal menegaskan sudah tidak terkait dengan perusahaan yang bersangkutan. Mereka adalah Jeffrey Mulyono yang ternyata telah mundur dari posisi Presdir Berau Coal sejak tahun 2006.

Demikian pula Kazuya Tanaka yang menyatakan telah mundur sebagai Direktur Arutmin. "Saya sudah lama tidak menjadi direktur Arutmin," jelas Kazuya melalui pesan singkatnya.

Hal serupa disampaikan oleh Presiden Direktur Recapital Advisor Roslan P Roslani, yang sebelumnya dinyatakan dicekal karena menjadi komisaris PT Arutmin.

"Dengan ini ditegaskan bahwa saya sudah lama tidak memiliki hubungan dengan PT Arutmin Indonesia, sebagaimana tercantum dalam daftar yang diberitakan oleh media massa," tegas Roslan dalam siaran persnya, Rabu.

Ditegaskan juga, Roslan kini sedang melakukan klarifikasi ke Departemen Keuangan dan berharap mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah.

Hal senada sebelumnya juga dilakukan oleh Jeffrey Mulyono. Sayangnya, Jeffrey tidak mendapatkan tanggapan yang baik, justru dipingpong sana sini oleh Depkeu.

Sementara Presiden Direktur BUMI, Ari Saptari Hudaya menyatakan belum menerima surat pernyataan resmi dari Dirjen Imigrasi terkait pencekalan tersebut.

"Sampai dengan surat konfirmasi ini dibuat, perseroan belum menerima pemberitahuan dari instansi terkait perihal pencekalan yang dimaksud," ujar Presiden Direktur BUMI, Ari Saptari Hudaya.

Presiden Komisaris KPC, Nalinkant A Rathod ketika dihubungi juga menolak berkomentar dan malahan sedang berada di luar negeri.

"Hubungi kantor saja. Saya sedang di luar negeri," ujar Nalinkant.

Dirjen Kekayaan Negara Depkeu, Hadiyanto sebelumnya menegaskan, pihaknya mendapatkan nama-nama yang memiliki piutang negara tersebut dari Departemen ESDM.

Atas daftar itu, Depkeu mengajukan pencekalan ke Ditjen Imigrasi. Namun menurut Hadiyanto, nama-nama tersebut seharusnya tidak dipublikasikan dan bersifat rahasia. qom/mb07

Tuntaskan Piutang Royalti Batubara!

 

10 August, 2008 07:06:00

Ukuran font: Decrease font Enlarge font

image

JAKARTA - Pemerintah harus segera menyelesaikan masalah piutang batubara. Undang-undang menegaskan pemerintah harus dapat menyelesaikan piutang negara tepat waktu.

Menurut Anggota DPR dari Komisi XI Dradjad Wibowo UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 34 memerintahkan semua pejabat yang mengolala pendapatan negara harus selesaikan piutang negara seluruhnya dan tepat waktu.

"Kalau ini tidak dilaksanakan, pemerintah bisa dianggap tidak menerapkan UU. Itu impeachment material terhadap Presiden," ujar Dradjad dalam pesan singkatnya, Sabtu.

Dradjad menyarankan agar para pengusaha batubara yang mempunyai utang royalti kepada pemerintah untuk membayarnya.

"Tapi pada saat yang sama lakukan proses pengadilan tentang isu restitusi PPN-nya. Pengadilanlah yang putuskan apakah yang lebih kuat adalah Kontrak Karya atau UU PPN dan UU Perbendaharaan Negara," katanya.

Sementara mengenai jumlah tagihan utang royalti batubara, Dradjad mengatakan tagihan royalti negara jumlahnya bisa naik jika referensi harga jual yang dipakai adalah harga internasional.

"Departemen ESDM tidak serius amankan penerimaan royalti dengan sepakati harga rujukan yang rendah-rendah, solusi selain cekal adalah penegakan hukum," ujarnya.

Sementara Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan pemerintah dan perusahaan batubara harus berdialog untuk mencari solusi dalam penyelesaian kasus piutang royalti yang berbuntut kepada pencekalan beberapa direksi dan komisaris beberapa perusahaan batubara.

"Win-win solution adalah cara terbaik menyelesaikan persoalan ini. Sebab, persoalan restitusi PPN dan royalti bagian pemerintah dari batu bara adalah dua hal berbeda, sebab yang satu masalah perpajakan, sedangkan lainnya penerimaan negara yang bukan berasal dari pos pajak," tuturnya.

Bambang mengatakan, persoalan yang terjadi saat ini memang terkesan rumit dan sulit diselesaikan karena kedua hal yaitu royalti pertambangan dan restitusi PPN dicampuradukkan.

"Persoalan ini mestinya diselesaikan berdasarkan asas proporsionalitas. Para pengusaha menyelesaikan persoalan restitusi dengan dirjen pajak, sedangkan persoalan royalti baru diselesaikan dirjen yang mengelola PNBP," katanya. dnl/mb07

Bursa Panggil Bumi dan Adaro

06 August, 2008 08:53:00

JAKARTA - Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan akan meminta penjelasan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) terkait masalah pencantuman piutang pada negara dalam laporan keuangan dua emiten tersebut.

"Secara umum kami tidak mempunyai masalah dengan dua perusahaan ini. Namun akan kami lihat apakah masalah royalti ini sudah mereka cantumkan dalam laporan keuangan. Jika belum kami akan minta penjelasan mereka," ujar Direktur Utama BEI, Erry Firmansyah saat dihubungi Rabu.

Dua emiten tambang besar tersebut, disinyalir masih memiliki piutang berupa royalti kepada negara. BUMI melalui dua anak usahanya, PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal diperkirakan masih memiliki piutang pada negara masing-masing sebesar US$ 75,4 juta dan US$ 127,1 juta.

Sedangkan ADRO disinyalir masih memiliki piutang pada negara sebesar Rp144,8 miliar dan US$ 93,5 juta.

Akibatnya, 11 petinggi dua emiten tambang tersebut mendapat pencekalan dari Dirjen Imigrasi. Nama-nama pengusaha yang dicekal adalah: 1. Arutmin: Kazuya Tanaka (Direktur), Endang Ruchiyat (Direktur), Ferry Purbaya Wahyu (Direktur), Eddie Junianto Soebari (Direktur) dan Roslan Perkasa Roslani (Komisaris). 2. KPC: Ari Saptari Hudaya (Presiden Direktur), Kenneth Patrick Farrel (Direktur), Abdullah Popo Parulian (Komisaris), Nalinkant A Rathod (Presiden Komisaris) dan Hanibal S Anwar (Direktur). 3. ADRO: Edwin Soerjadjaja (Presiden Komisaris).

Ketika dikonfirmasi, Presiden Direktur BUMI, Ari Saptari Hudaya menyatakan belum menerima surat pernyataan resmi dari Dirjen Imigrasi terkait pencekalan tersebut.

Presiden Komisaris KPC, Nalinkant A Rathod ketika dihubungi juga menolak berkomentar dan malahan sedang berada di luar negeri.

"Hubungi kantor saja. Saya sedang di luar negeri," ujar Nalinkant. dro/mb07

Kemana Larinya Royalti Batubara Kita?

11 August, 2008 05:57:00

PERMASALAHAN batubara di negeri ini seakan-akan tidak ada habisnya. Pengelolaan lingkungannya belum lagi beres lalu sekarang timbul lagi polemik terkait royalti dan dana hasil produksi batubara (DHPB) yang belum disetorkan beberapa perusahaan yang memiliki izin Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B).

Ini tentu saja membuat menjadi tanda tanya besar bagi kita semua kemana sebenarnya keuntungan yang negeri ini dapat dari tambang batubaranya yang digadang-gadang menjadi pemasukan besar bagi negeri ini?

Kemana royalti itu?

Beberapa hari terakhir ini masyarakat kembali dibanjiri berita-berita terkait Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) dan juga royalti batubara yang yang seharusnya diterima pemerintah namun masih belum di bayarkan oleh 6 perusahaan antara lain PT Berau Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal, yang melibatkan 14 pengusaha yang berasal dari 6 perusahaan tersebut, saling tuding, saling bantah kembali dilakukan antara pengusaha dan pemerintah. Pemerintah berkilah seperti disampaikan oleh menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro bahwa harus dipisahkan dulu antara kasus hukum dan pembayaran royalti yang memang harus dibayarkan dulu karena sudah tertunda bertahun-tahun sejak tahun 2001. Buntutnya ke-14 pengusaha itu dicekal oleh pihak imigrasi sebelum melunasi dana royalti yang diminta oleh pemerintah.

Ke-14 pimpinan perusahaan itu adalah Edwin Soerjadjaja dari PT Adaro Indonesia dan Ari Saptari Hudaya, Kenneth Patrick Farrel, Abdullah Popo Parulian, Nalinkant Amratlal Rathod, dan Hanibal S Anwar dari PT Kaltim Prima Coal, Kazuya Tanaka, Endang Ruchiyat, Ferry Purbaya Wahyu, Edi Junianto Soebari, dan Roslan Perkasa Roslani dari PT Arutmin Indonesia, Jeffrey Mulyono dari PT Berau Coal, Mualin Tantomo dari PT Libra Utama Intiwood, dan Hendra Tjoa dari PT Citra Dwipa Finance.

Menurut catatan Departemen ESDM mulai tahun 2001-2007 tunggakan 6 perusahaan tersebut mencapai 7 triliun rupiah namun ternyata menurut pendapat lain ditunjukkan oleh catatan kawan-kawan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang mengatakan total tunggakan malah mencapai 16,482 triliun rupiah yang berarti sangat jauh dari perhitungan Departemen ESDM sendiri, hasil perhtungan ICW itu di dapat dari selisih penjualan batubara sejak tahun 2000-2007 dengan besar royalti sebesar 13,5 persen dengan perhitungan volume batubara yang dijual sebanyak 1.022 miliar ton, dan bahkan bila itu dikalkulasi kembali seharusnya penerimaan royalti batubara yang didapat pemerintah mencapai 62,194 triliun rupiah.(siaran pers ICW).

Namun bantahan juga dilakukan 14 pengusaha yang dicekal dan diminta untuk melunasi tunggakan royalti dan dana produksi batubara (DHPB), melalui Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) yang dikatakan langsung ketuanya Jeffry Mulyono mengatakan bahwa pencekalan ini merupakan tindakan melawan hukum karena belum adanya ketetapan hukum yang di putuskan Pengadilan Usaha Tata Negara (PTUN) sejak bandingnya Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) terkait dengan putusan PTUN tertanggal 21 September 2007 yang meminta PUPN yang menangguhkan penagihannya.

Padahal sebenarnya royalti dan restitusi adalah hal yang berbeda, royalti adalah ketika keuntungan yang di dapat pengusaha batubara itu sudah mendapatkan unag dari pihak pembeli ya sudah seharusnya mereka menyetorkan sebagian keuntungannya dalam bentuk royalti yang sudah diatur undang-undang.

Nah, sedangkan restitusi adalah kelebihan pembayaran yang dibayarkan pengusaha batubara itu jadi mungin yang di pikirkan pengusaha batubara itu, restitusi (kelebihan pembayaran Ppn) kami saja belum dibayar oleh negara jadi ya royaltinya nanti dulu, begitu mungkin yang ada di benak mereka semua.

Kenyataan ini sudah seharusnya menyadarkan kita kembali bahwa sudah sangat carut marutnya pengelolaan pertambangan batubara negeri kita, masalah lingkungan yang di timbulkan juga belum kunjung selesai masih ada saja masalah lain yang muncul ke permukaan, salah satunya adalah ya jelas pembagian royalti dan hasil produksi batubara itu tadi, yang ironis lagi di dalam 6 perusahaan itu tadi 2 di antaranya adalah 2 perusahaan yang beroperasi di Kalsel, PT Adaro Indonesia dan juga PT Arutmin Indonesia.

Nah kalau membayar ke pusat saja ogah-ogahan begitu lalu bagaimana pembagian ke daerah? Nampaknya jangan berharap banyak kalau apa yang akan didapat daerah dari hasil royalti yang ada, dari 13,5 persen yang masuk ke daerah hanya 4,5 persen dan itu pun harus di bagi lagi ke 13 kabupaten yang ada di Kalsel jadi ya kalau mau di bagi rata "hanya" sekitar 0,9 persen saja, jumlah yang sangat kecil tentunya dan tak sebanding dengan kerusakan yang terjadi akibat pertambangan batubara yang ada di Kalsel.

Belum lagi dalam RUU Minerba yang isi materinya mengatakan jatah pemerintah dari batubara "hanya" 10 persen berkurang dari jatah sebelumnya yang 13,5 persen, makanya ramai-ramai mulai dari Kadistamben di semua Kabupaten/Kota, DPD Kalsel, DPRD Kalsel, Wakil DPR-RI utusan Kalsel hingga Gubernur Kalsel pun ikut menolak RUU Minerba ini, ya karena itu tadi, ga adil dan cuma sedikit jatah yang didapat. Hasil batubara Kalsel sendiri menurut catatan Bappenas tahun 2007 yang di ekspor mencapai 1,43 Miliar dolar AS atau dengan kurs Rp9.100 setara dengan Rp13,013 Triliun jumlah yang sangat besar tentunya, namun yang sampai ke daerah hanya 600-700 miliar rupiah yang di bagikan kepada pemerintah kabupaten dan kota sedangkan provinsi kebagian "jatah' sebanyak 80-90 miliar rupiah jumlah yang sangat tidak setimpal dengan apa yang dihasilkan dari rusaknya lingkungan di sekitar tambang batubara yang ada di Kalsel.

Tumpang tindih kebijakan = celah hukum

Apa sebenarnya masalah mendasar dari semua ini? Mungkin kita akan berpikiran bahwa selama ini manajemen pengelolaan sumber daya alam negeri inilah yang menjadi akar masalah yang sebenarnya, dan nampaknya itu tidak sepenuhnya salah, banyak sekali tumpang tindih kebijakan yang ada di daerah maupun di pusat, contohnya UU 11/1969 dan PP 32/1969 yang mengatur tentang ketentuan pokok pertambangan lalu UU 22/1999 dan PP 25/2002 tentang otonomi daerah, undang-undang itu malah membuat bingung para pelaksana teknis di daerah dan juga adanya kebijakan-kebijakan yang langsung diputuskan oleh para bupati yang banyak tumpang tindih dengan undang-undang yang di keluarkan oleh pemerintah di pusat.

Ya, contohnya undang-undang di atas tadi, undang-undang dan peraturan yang membuat bingung inilah yang menjadikan pengelolaan sumber daya alam yang ada menjadi "camuh", belum lagi yang terakhir adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dan pengusaha terkait royalti dan restitusi mereka dengan UU 18/2000 dan PP 114/2000 terkait dengan kena tidaknya batubara ke dalam Pajak Pertambahan Nilai (Ppn).

Kalau saja RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) yang di usulkan WALHI sejak tahun 2000 itu dapat di ketok oleh para wakil rakyat kita, harapannya undang-undang payung ini dapat menjadi solusi buruknya manajemen pengelolaan sumber daya alam yang ada sekarang ini, namun nampaknya RUU PSDA ini hanya menjadi onggokan kertas berdebu di Senayan Jakarta sana.

Dengan tumpang tindihnya kebijakan yang ada ini sehingga sering adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dan pengusaha yang ujung-ujungnya akan ada celah hukum yang dapat di manfaatkan pengusaha untuk lolos dari jeratan hukum dan kewajiban mereka.

Penulis, aktivis WALHI Kalsel (andy@walhikalsel.org)

Kadin Jadi Mediator Kasus Batubara

08 August, 2008 07:14:00

Ketua Kadin MS Hidayat

JAKARTA - Kamar Dagang Indonesia (Kadin) akan menjadi mediator penyelesaian sengketa restitusi pajak-royalti antara pengusaha

JAKARTA - Kamar Dagang Indonesia (Kadin) akan menjadi mediator penyelesaian sengketa restitusi pajak-royalti antara pengusaha batubara dengan pemerintah. Pemerintah dan pengusaha harusnya duduk semeja untuk mencari penyelesaian masalah ini.

"Pada intinya mereka harus duduk semeja, antara pemerintah dan pengusaha. Kemudian membahas jalan keluarnya yang win-win solution seperti apa. Saya akan coba memediasi," ujar Ketua Kadin MS Hidayat usai bertemu dengan Menteri ESDM di Gedung Departemen ESDM, Jakarta, Jumat.

Hidayat berharap, dengan duduk bersama, kedua pihak bisa mencari jalan keluar yang menguntungkan. Baik mengenai mekanisme pembayaran utang piutang, maupun kesepakatan lainnya.

Meski belum menjadi permasalahan yang parah, jika dibiarkan berlarut-larut maka hal ini bisa mengganggu iklim usaha di sektor pertambangan.

Hidayat juga menjelaskan, permasalahan mengenai pembayaran restitusi pajak memang selalu menjadi hal yang tidak mudah untuk diterapkan. Tidak hanya di sektor pertambangan seperti kasus sekarang, tapi juga di sektor lain.

"Berdasarkan pengalaman sebelum-belumnya, restitusi memang bukan hal yang mudah. Selalu butuh waktu yang lama," ujarnya.

lih/mb07

Tuesday, August 12, 2008

Dua Penambang Ditahan

Rabu, 30-07-2008 | 00:40:25

• Disangka Caplok Lahan Arutmin

BATULICIN, BPOST - Harapan Bambang Sugianto (53) mengais rezeki di Tanah Bumbu dengan mengerjakan pertambangan batu bara malah berakhir di balik jeruji besi tahanan Mapolres Tanah Bumbu.

Lahan yang dia kerjakan di Jalan Kodeco Km 26 Kecamatan Mantewe, Tanah Bumbu ternyata masuk areal pertambangan PT Arutmin Indonesia selaku pemegang PKP2B.

Warga Jakarta tersebut dijebloskan ke sel tahanan Polres setempat. Selain itu, satu alat berat berupa ekskavator beserta batu bara seberat 50 ton ikut disita.

Hal yang sama dialami Frans Tarigan (50). Warga Serongga Kabupaten Kotabaru. Dia ditangkap karena lahan yang dia tambang di luar koordinat yang ditentukan.

Lahan seluas sekitar 18 hektare yang sudah digarap selama 10 hari di Kecamatan Mantewe itu juga milik PT Arutmin Indonesia.

Aparat menghentikan penggalian dan menyita 200 ton batu bara siap angkut besama alat berat yang digunakan untuk mengupas lahan tersebut.     

Pantauan BPost, areal pertambangan berada di tengah hutan dan pegunungan di ujung wilayah kabupaten itu terpaksa dihentikan, meski sudah digali. Bekas galian dengan kedalaman sekitar 10 meter dibiarkan begitu saja dan digenangi air hujan yang sudah mulai berwarna kebiru-biruan.

Begitu juga, bongkahan batu bara yang sudah siap angkut menuju pelabuhan khusus telah dilingkari pita garis polisi yang dipasang petugas reskrim Polres Tanah Bumbu.  

Frans mengakui menambang dengan mengantongi izin yang dikeluarkan dari Dinas Pertambangan (Ditam) Tanah Bumbu. Dia tidak mengetahui areal itu milik PT Arutmin Indonesia.

“Apa yang kami kerjakan sesuai dengan surat dari Dinas Pertambangan. Kami hanya mengerjakan sedangkan pemegang surat perintah kerjanya kabur setelah ada masalah ini,” katanya.
Kapolres Tanah Bumbu Ajun Komisaris Besar Polisi Hersom Bagus Pribadi diwakil Kasat Reskrim AKP Andi Adnan Sik mengungkapkan, kedua penambang tersebut ditangkap saat operasi penertiban rutin terhadap aktivitas pertambangan. “Mereka mencaplok wilayah tambang orang lain,” kata Andi. (coi)
Sering Tumpang Tindih

TUMPANG tindih kepemilikan lahan, baik di areal pertambangan dan perkebunan milik satu orang dengan orang lain kerap terjadi. Hal itu diakui Kepala Dinas pertambangan (Distam) Tanah Bumbu, Amin.

Ini karena pengawasan hanya dilakukan sebelum lahan itu dikeruk atau sebelum aktivitas penambangan dimulai. “Setelah keluar surat izin kami tidak tahu lagi,” katanya.

Biasanya setelah pengusaha mengajukan permohonan, baru dilakukan survei lokasi. Termasuk pengawasan oleh staf pertambangan. Jika tidak termasuk hutan lindung, maupun areal tambang orang lain baru dikeluarkan izin proses pertambangan.

Terkait aktivitas tambang di areal lahan PT Arutmin, diakui ada atas nama CV Madona yang dikerjakan Bambang Sugianto dan CV Purnama yang dikerjakan Frans Tarigan. “Kami akan melakukan pengecekan ulang,”ujarnya. (coi)

Saturday, August 09, 2008

Waspadai Dampak Perkembangan Sektor Batubara

30 July, 2008 07:45:00

Mata Banua- RANTAU-Bupati Tapin H Idi Nurdin Halidi mengingatkan, semua aparat Pemerintahan Kabupaten Tapin, agar mewaspadai dampak akibat adanya perkembangan aktivitas pertambangan batubara.

     Hal ini mengingat, wilayah Kabupaten Tapin memiliki potensi besar cadangan batubara, dan kedepan daerah ini merupakan sentra pertambangan batubara, disamping akan menjadi alternatif satu-satunya jalur angkutan batubara di banua enam.

     Berdasarkan kebijakan Pemvrop Kalimantan Selatan, pada Juli 2009 tidak diperbolehkan menggunakan jalan negara, dan truk angkut batubara harus melalui jalan khusus batubara.

     Sementara ini jalan angkutan batubara sedang dibangun oleh beberapa investor, diprediksikan jalan tersebut akan selesai tahun depan.

     Selain jalan khusus angkutan batubara, para investor juga membangun beberapa stockpile dan pelabuhan, khusus diwilayah Sungai Putting Kecamatan Candi Laras Utara Kabupaten Tapin

     Atas dasar ini, Bupati Tapin mengingatkan, para aparatur Pemerintah yang bertugas di lapangan, akan selalu waspada pada padatnya arus lalulintas menuju kota Banjarmasin, disamping aparat Pemkab juga  diharapkan selalu melakukan pemantauan dan tinjauan kelapangan.

     Menurut Bupati Tapin, selain sektor batubara, di Kabupaten Tapin  akan tumbuh dan berkembang beberapa perusahaan besar perkebunan Kelapa Sawit. Dimana saat ini, sudah mulai melakukan penanaman kelapa sawit di lahan rawa.rul/mb03

Monday, August 04, 2008

Solar Industri Kewajiban atau Pilihan

Kamis, 24-07-2008 | 01:10:40

Beberapa waktu terakhir, di Kalimantan Selatan antrean kendaraan bermotor terlihat menumpuk di sejumlah SPBU. Truk batu bara pun ikut antre hingga berjam-jam untuk mendapatkan bahan bakar minyak berupa solar.

Oleh: Andi Riharto

Permasalahan yang selalu menjadi perbicangan di setiap sudut kantor pemerintahan, kampus sampai ke akar rumput masyarakat tentang kemacetan akibat antrean truk-truk pengangkut batu bara sudah lazim dan bukan lagi menjadi berita yang bisa mengagetkan masyarakat.

Yang selalu menjadi pertanyaan publik, kenapa antrean panjang untuk mendapatkan BBM bisa terjadi dan sampai kapan keadaan yang mengganggu ini terselesaikan.

Pengalihan jalur truk angkutan batu bara menuju Pelabuhan Trisakti pada 2009 agaknya cukup membantu sebagian permasalahan kemacetan di ruas jalan. Akan tetapi apakah antrean panjang truk batu bara di SPBU bisa terselesaikan, sementara angkutan umum dalam/antarkota dan truk pengangkut sembako terpaksa gigit jari melihat betapa berkuasanya truk angkutan batu bara yang menyedot solar bersubsidi?

Sebenarnya untuk siapa solar bersubsidi? Pertamina yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah sejak lama telah memberikan subsidi BBM untuk masyarakat. Hal ini diberlakukan untuk mengurangi beban masyarakat terhadap angkutan umum dan menekan kenaikan sembilan bahan pokok akibat faktor pengiriman.

Perlu kita ketahui, bahwa kuota solar bersubsidi Kalimantan berdasarkan data Pertamina saat ini telah melampaui 20 persen dari kuota tahun 2008 sebanyak 747.714.000 liter. Nampaknya Pertamina menangkap permasalahan ini dengan cukup bijak dan mulai menggulirkan kebijakan beroperasinya 10 SPBU untuk melayani solar industri di Kalimantan. Di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan masing-masing empat buah, sedang di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah masing-masing satu unit SPBU.

Truk batu bara rela antre berjam-jam di SPBU karena adanya disparitas harga solar bersubsidi dan industri yang mencapai Rp 7.300/liter. Perbandingannya, volume 1 liter solar industri sama dengan 2,33 liter solar bersubsidi.

Jika dalam 1 unit truk angkutan batu bara muatan menengah mengisi tangki BBM nya dengan membeli solar bersubsidi 60 liter (fulltank), maka sebenarnya truk tersebut telah menggunakan subsidi pemerintah sebanyak 34.22 liter solar.

Bayangkan dengan lalu lintas harian rata-rata truk batu bara di seluruh Kalimantan Selatan yang mencapai kisaran lebih dari 3.000 unit/hari, solar yang dibagikan lebih dari 102.660 liter per hari yang dinikmati oleh para pemain industri batu bara dengan gratis.

Sementara di tiap sudut wilayah di Indonesia, masyarakat miskin berebut Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah sebagai imbal balik kenaikan BBM. Apabila penyalahgunaan solar bersubsidi dapat ditekan, tentunya masih banyak lagi warga miskin yang akan tertolong melalui BLT.

Berbagai alternatif telah diambil berbagai pihak, sekarang adalah waktunya bersama-sama seluruh komponen masyarakat Banua untuk memunculkan semboyan Waja Sampai Kaputing dalam menekan penyalahgunaan solar bersubsidi ini.

Pemerintah Provinsi tidak boleh sekedar menunggu untuk mendapatkan petunjuk ataupun perundang-undangan pusat yang mengatur petunjuk pelaksanaan pencegahan penyalahgunaan solar bersubsidi.

Kebijakan Pertamina dalam penunjukan SPBU solar non-subsidi patut didukung penuh dan diberikan akses lebih bahkan digalakkan dan dipermudah perizinan pembuatan SPBU khusus yang menyediakan solar industri terutama di daerah/kabupaten penghasil batu bara.

Aparat kepolisian daerah sebagai pengayom masyarakat beserta dinas perhubungan juga wajib membantu penegasan dengan mengadakan pemantauan di lokasi sekitar SPBU dan menindak tegas truk pengangkut batu bara yang mengisi solar di SPBU bersubsidi.

Hal ini tentunya bisa berjalan optimal apabila SPBU non subsidi juga mudah dijangkau lokasinya di setiap daerah industri.

Para tokoh agama serentak melakukan sosialisasi kepada masyakat bagaimana mulianya manusia di sisi Tuhan bila menghindari mengambil hak orang teraniaya (BLT berasal dari BBM) dan bagaimana murkanya Tuhan bila manusia mengambil yang bukan haknya (solar bersubsidi digunakan untuk industri).   

Dengan peranan tokoh agama dan alim ulama diharapkan akan mampu menembus grass root di seluruh lapisan masyarakat. Mampu membangkitkan jiwa untuk berlomba-lomba menuju kebaikan dengan menghindari penyalahgunaan solar bersubsidi.

Setelah itu semua dilakukan, akankah tercetus dalam pikiran kita solar industri merupakan kewajiban atau hanya sekedar pilihan!

Penulis: Karyawan PT Kalimantan Prima Persada (contractor & mining developer)
Email: civil.hjur@pamapersada.com