Wednesday, February 10, 2010

Jalan-jalan ke Kampung, Tersesat di Tambang

KOMPAS- Jumat, 5 Februari 2010 | 03:18 WIB

Oleh M Syaifullah dan Ambrosius Harto Manumoyoso

”Kalau mau ke Binuang lewat jalan tambang tidak dilarang. Tetapi hati-hati, truk-truk besar pengangkut batu bara melaju kencang. Rambu-rambu harus diperhatikan agar tidak tersesat,” kata Asfar (50), warga Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Penambangan batu bara di Kalsel yang berlangsung sejak tahun 1980-an ternyata tidak selalu diikuti penyediaan infrastruktur memadai bagi warga sekitar. Jalan-jalan rusak dan banyak lubang bekas tambang ditinggalkan begitu saja. Pemandangan itu menjadi potret buruk pengelolaan sumber daya alam di daerah.

Asfar paham betul tentang kondisi ini. Ia tinggal di desa dekat kawasan pertambangan. Warungnya terletak di ujung desa dan berjarak sekitar 20 meter dari pintu masuk tambang batu bara yang dikelola PT Pama Persada Nusantara.

Di tempat itu, Asfar lebih banyak menghabiskan waktu. Untuk menerangi warungnya yang buka siang-malam, Asfar menyambungkan kabel dari rumahnya sejauh 1 kilometer. Lokasi warung cukup strategis. Di depannya jalan warga menuju ke desa lain. Jalan itu juga dipakai pegawai tambang yang ingin pulang ke kontrakan di Rantau Bakula.

Dari warung, aktivitas di pertambangan terlihat jelas. Gerak lihai ekskavator seolah tiada henti mengeruk batu bara. Begitu pula truk-truk bertonase besar, truk tangki pengangkut bahan bakar, truk air penyiram jalan tambang, hingga mobil- mobil berpenggerak empat roda yang tak pernah lepas dari lampu rotator dan bendera kecil sebagai penanda agar mudah terlihat oleh kendaraan lain.

Berbekal nasihat Asfar, kami meneruskan perjalanan setelah sekitar dua jam bingung hendak keluar dari kawasan pertambangan di Sungai Pinang. Sebelumnya, perjalanan dari Banjarmasin hingga masuk ke desa-desa di sekitar tambang kami mulai dari jalan sempit di Kecamatan Simpang Empat.

Jalan di Simpang Empat itu hanya cukup dilewati satu mobil dan sepeda motor. Jika berpapasan dengan mobil lain, salah satu harus merapat ke pagar pekarangan warga. Meski kondisi aspal baik, beberapa jembatan kayu mulai rusak.

Kondisi jalan dan jembatan semakin rusak ketika memasuki Kecamatan Sungai Pinang yang berada tak jauh dari penambangan. Kondisi ini terjadi karena beberapa truk batu bara juga melintas di daerah ini meski kosong. Biasanya truk itu dibawa pulang pemilik atau sopir warga setempat.

Akibat jalanan yang rusak, sebagian warga pun lebih menyukai lewat jalan tambang yang lebih lebar. Mereka biasa membawa hasil panen, seperti buah cempedak, langsat, atau sayur, menuju pasar di Astambul, Kabupaten Banjar.

Bagi warga, melewati jalan tambang berupa tanah adalah hal biasa. Namun, bagi orang luar yang masuk kawasan tambang dengan kendaraan pribadi, tentu menimbulkan rasa waswas. Mata pengemudi harus awas memerhatikan rambu- rambu. Mereka juga harus cermat memilih jalur. Lengah sedikit, kendaraan besar dari depan siap melindas.

Memerhatikan kata-kata Asfar pun menjadi sangat penting agar tidak tersesat. Sebab, jalan- jalan tambang di daerah itu seperti gurita. Apalagi jalan antardesa banyak yang dipotong oleh jalan tambang. Di beberapa titik, kami menyaksikan sebagian lubang tambang telah menjadi danau kecil. Lubang itu ditinggalkan tanpa reklamasi.

Setelah melaju beberapa kilometer di jalan tambang, ternyata kami tidak sendirian. Beberapa sepeda motor pelajar pulang sekolah dan warga yang menjual cempedak tampak konvoi. Rasa waswas semula jalan sendiri pun pudar.

”Selain bahaya, debunya juga tebal. Namun, saya tetap memilih lewat jalan tambang sejauh 25 kilometer sebelum sampai ke jalan beraspal menuju Banjarmasin,” kata Asfar. Kalau melewati jalan desa, Asfar tidak bisa melaju kencang.

Kondisi jalan yang lebih buruk lagi terjadi saat memasuki jalan Desa Parandakan, Kecamatan Lokpaikat menuju Desa Miawa, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin. Kondisi sebagian jalan desa itu sudah tidak utuh lagi karena berubah menjadi jalan tambang. ”Jalan desa di sini sebagian sudah tidak bisa dilewati lagi, sudah ditutup jalan tambang,” kata Siti, warga Parandakan.

Jalan-jalan desa rusak, kata Udiansyah, pengamat ekonomi lingkungan dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, hanyalah sebagian dari beban daerah akibat pengelolaan pertambangan yang buruk di Kalsel.

Sebelum angkutan batu bara dan kelapa sawit dilarang lewat jalan negara di Kalsel bulan Juli 2009, rakyat Kalsel bertahun-tahun menderita karena jalan trans-Kalimantan di Kalsel wilayah tengah ruas Kandangan-Banjarmasin rusak akibat 3.000-an truk batu bara menguasai jalan setiap hari.

Sejak ada larangan dan dibuatkan jalan khusus bagi truk tambang, Dinas Pekerjaan Umum Kalsel menghemat anggaran Rp 120 miliar per bulan untuk perbaikan jalan. Padahal, sebelum truk lewat, pemeliharaan jalan hanya butuh Rp 10 miliar per bulan. Biaya pemeliharaan jalan di Kalsel Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar per kilometer. ”Secara ekonomi lingkungan, pengelolaan pertambangan batu bara yang buruk justru tidak menguntungkan apa-apa buat Kalsel. Yang diuntungkan lebih besar tentu pemilik modal,” tutur Udiansyah.

(Defri Werdiono/ A Handoko)

70 KP Tak Kantongi Izin Menhut

BANJARMASIN, RABU 3 Februari 2010 - Sebanyak 90 kuasa pertambangan (KP) yan mengajukan izin prinsip kehutanan lantaran melakukan penambangan di kawasan hutan di wilayah Kalsel.

Namun, dari jumlah tersebut hanya 20 KP yang berhasil disetujui menteri dan mendapatkan izin pinjam pakai kawasan. Sehingga mereka berhak melakukan aktivitas penambangan batu bara meskipun di kawasan hutan.

"Sisanya tidak ada izin resmi. Karena proses izin yang sudah turun hanya 20 perusahaan saja," kata kepala dinas kehutanan (Dishut) Kalsel, Suhardi.

Disinggung berarti sebanyak 70 kuasa pertambangan itu ilegal karena menambang di kawasan hutan, Suhardi belum bisa menjelaskan. Karena, pihaknya tidak melakukan pengawasan apakah,tetap melanjutkan penamangan atau berhenti.

Lebih lanjut dia menjelaskan, izin prinsip yang merupakan tahap awal sebelum terjadinya izin pinjam pakai kawasan itu hanya berlaku selama dua tahun saja.

Jika tidak mengajukan perpanjangan maupun tidak disetujui, secara otomatis aktifitas tambang tersebut harus berhenti. Jika tidak maka termasuk ilegal.(choiruman)

229 Kuasa Pertambangan sedang Tunggu Izin

Media Indonesia- Senin, 01 Februari 2010 15:00 WIB

Penulis : Denny Saputra

BANJARMASIN--MI: Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan (Kalsel) mencatat sedikitnya ada 229 Kuasa Pertambangan yang berada di kawasan hutan pegunungan Meratus menunggu legalisasi izin pinjam pakai kawasan hutan.

"Terbitnya izin pertambangan dan perkebunan di dalam kawasan hutan, khususnya kawasan hutan utama Kalsel, pegunungan Meratus, merupakan bom waktu akan munculnya bencana di kemudian hari," ungkap Hegar Wahyu Hidayat, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Senin (1/2), di Banjarmasin.

Eksploitasi tambang serta alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan akan merusak kawasan hutan. Terlebih keberadaan pegunungan Meratus sebagai paru-paru dunia dan sumber kehidupan akan semakin terdesak oleh kebijakan yang hanya berorientasi pada investasi semata.

Menurut Hegar, pihaknya mendesak pemerintah pusat mengkaji ulang usulan pelepasan kawasan hutan Meratus yang sebagian besar kawasan hutan lindung menjadi areal tambang maupun perkebunan. Diperkirakan luas kawasan hutan yang diduduki 229 KP tersebut mencapai 200 ribu hektare.

Di Kalsel terdapat 349 kuasa pertambangan (KP) dan 23 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dengan luas lahan konsesi tambang mencapai 700 ribu hektare. Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Suhardi Atmodirejo mengatakan ratusan perusahaan pertambangan dan perkebunan di Kalsel kini terganjal masalah izin pinjam pakai kawasan hutan.

"Proses perizinan di pusat sangat ketat dan hingga kini baru sebagian kecil perusahaan yang mendapat izin prinsip pemanfaatan hutan," katanya. Sebanyak 95 perusahaan tambang telah mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan dengan rekomendasi Gubernur dan lebih dari 100 perusahaan melalui bupati.

Untuk perusahaan perkebunan, sebanyak 28 perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi di areal kawasan hutan seluas 50 ribu hektare. Sebelumnya, pemerintah daerah Kalsel mengajukan revisi Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan melakukan pengurangan kawasan hutan seluas 311.420 hektare dari 1,8 juta hektare luas kawasan hutan sesuai SK Menhut 453/1999 menjadi 1,5 juta hektare.

Pengurangan kawasan hutan terjadi pada hutan lindung seluas 70.299 hektare, hutan produksi 54.493 hektare, hutan produksi tetap 126.120 hektare, dan hutan produksi konversi seluas 71.262 hektare. Tetapi pemerintah pusat hanya menyetujui pengurangan kawasan di Kalsel seluas 59.512 hektare dari 311.420 hektare kawasan hutan kawasan pegunungan Meratus yang diusulkan menjadi kawasan areal penggunaan lain (APL). (DY/OL-04)

Wednesday, February 03, 2010

Ada Makelar di Kasus JBG

Sabtu, 30 Januari 2010 | 08:02 WITA Banjarmasin Post SEJAK melakukan penutupan areal tambang PT JBG di Asamasam, Rabu (27/1/2010), jajaran Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Ditreskrim Polda Kalsel terus melakukan penyidikan. PT JBG diduga melakukan penambangan di luar areal, yang merupakan kawasan hutan. Direktur Reskrim Kombes Machfud Ariffin melalui Kasat IV Tipiter AKBP Purwanto, Jumat, mengatakan pihaknya telah meminta keterangan lebih dari 25 orang di lokasi tambang. Disinggung mengenai surat disposisi yang dipegang PT JBG, Purwanto mengatakan pihaknya masih melakukan pemeriksaan. "Tapi kok surat izinnya dari dirjen minerba (direktur jenderal mineral dan batu bara)? Padahal itu kan masuk kawasan hutan. Logikanya harus izin menteri kehutanan," ungkap Purwanto. Purwanto juga mengakui ada pihak-pihak yang ingin menarik keuntungan dari kasus ini. Salah satunya mengaku sebagai direskrim dan menyatakan bisa menyelesaikan kasus ini dengan imbalan tertentu. "Dia menelepon Direktur PT JBG Laksono. Intinya mengatakan apa perkara ini mau cepat atau tidak," ungkap Purwanto. Oleh karena itu, Purwanto meminta mereka yang terkait kasus ini tidak mudah percaya dengan makelar kasus (markus). Pihak polda akan menangani kasus ini secara profesional. Kemarin, petingi PT JBG seperti Laksono (direktur) dan I Gede Widardi (kepala teknik) terlihat di polda. Mereka menuju ruang Machfud. Saat dicegat usai da ri ruang direskrim, keduanya tak mau mau berkomentar banyak tentang maksud kedatangan. "Ikuti prosedur hukum yang dilakukan polda saja," ujar Gede sambil berlalu. Usai salat Jumat, mereka kembali terlihat menuju ruang Kapolda Brigjen Untung S Rajab. Tidak diketahui apa tujuan mereka.

Monday, February 01, 2010

Lima Perusahaan Dapat Bendera Hitam

Tetap Mengulang, Langsung Disidang

BANJARMASIN, BPOS - Lima perusahaan di Kalsel mendapat bendera hitam hasil penilaian tim lingkungan hidup dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLBH) Kalsel, Rahmadi Kurdi mengatakan, perusahaan-perusahaan tidak punya kepedulian terhadap lingkungan karena tidak memiliki sistem pengelolaan limbah.

Rahmadi menyampaikan itu saat rapat dengan Komisi III DPRD Kalsel, Selasa (12/1). Menurut dia, jika lima perusahaan itu saat penilaiaan tahun depan kembali meraih bendera hitam, maka bakal dibawa ke pengadilan.

"Sesuai aturan Dua Kali bendera hitam diajukan ke pengadilan seperti janji Pak Menteri (Menteri LH Gusti M Hatta,Red)," katanya.

Perusahaan yang mendapat bendera hitam itu adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan karet dan kayu, yakni PTPN XIII Danau Salak, PT Daya Sakti Unggul Corp, PT Hendratna Plywood, PT Basirih dan PT Sinar Inti Kencana.

Selain lima perusahaan mendapat penilaian bendera hitam, ada empat perusahaan yang mendapatkan nilai jelek atau bendera merah.

Peruahaan tersebut adalah PT Jorong Baratama Greston (JBG), PT Wijaya Tri Utama, Pt Borneo Internusa dan Pt Surya Satria Corp.

HASIL PENILAIAN KATEGORI

PT Jorong Baratama Greston (JBG) MERAH
PT Wijaya Tri Utama MERAH
PT Borneo Internusa MERAH
PT Surya Satria Corp MERAH
PTPN XIII Danau Salak HITAM
PT Daya Sakti Unggul Corp HITAM
PT Hendratna Plywood HITAM
PT Basirih HITAM
PT Sinar Inti Kencana HITAM

Menurut Rakhmadi, pengelolaan keempat perusahaan tersebut sudah memiliki kemauan untuk mengelola limbah perusahaan. Namun belum dilaksanakan dengan baik. "Kalau yang merah itu sudah ada kemauan, hanya belum maksimal saja pengelolaannya," kata Rahmadi.

Dia mengatakan, selain penilaian dari kementerian lingkungan hidup, BLHD juga melakukan penilaian terhadap 19 perusahaan. Hasil penilaian diumumkan pada 5 Juni 2010, saat peringatan Hrai Lingkungan Hidup.

Ketuan Komisi III DPRD KAlsel Gusti Perdana Kesuma mengatakan, DPRD kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan tersebut lantaran belum punya data base.

"Belum ada data penunjang yang maksimal terkait keberadaan perusahaan tersebut sehingga sulit utnuk melakukan pengawasan," akunya.

Akibatnya, selama ini sering terjadi keterlambatan alam penanganan masalah lingkungan. "Data penunjang keberadaan perusahaan tersebut belum tertata dengan baik, karena meningginya tenaga teknis," ucap Gusti perdana Kesuma.

(Sumber : Banjarmasin Post edisi Rabu, 13 Januari 2009)