KOMPAS- Jumat, 5 Februari 2010 | 03:18 WIB
Oleh M Syaifullah dan Ambrosius Harto Manumoyoso
”Kalau mau ke Binuang lewat jalan tambang tidak dilarang. Tetapi hati-hati, truk-truk besar pengangkut batu bara melaju kencang. Rambu-rambu harus diperhatikan agar tidak tersesat,” kata Asfar (50), warga Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Penambangan batu bara di Kalsel yang berlangsung sejak tahun 1980-an ternyata tidak selalu diikuti penyediaan infrastruktur memadai bagi warga sekitar. Jalan-jalan rusak dan banyak lubang bekas tambang ditinggalkan begitu saja. Pemandangan itu menjadi potret buruk pengelolaan sumber daya alam di daerah.
Asfar paham betul tentang kondisi ini. Ia tinggal di desa dekat kawasan pertambangan. Warungnya terletak di ujung desa dan berjarak sekitar 20 meter dari pintu masuk tambang batu bara yang dikelola PT Pama Persada Nusantara.
Di tempat itu, Asfar lebih banyak menghabiskan waktu. Untuk menerangi warungnya yang buka siang-malam, Asfar menyambungkan kabel dari rumahnya sejauh 1 kilometer. Lokasi warung cukup strategis. Di depannya jalan warga menuju ke desa lain. Jalan itu juga dipakai pegawai tambang yang ingin pulang ke kontrakan di Rantau Bakula.
Dari warung, aktivitas di pertambangan terlihat jelas. Gerak lihai ekskavator seolah tiada henti mengeruk batu bara. Begitu pula truk-truk bertonase besar, truk tangki pengangkut bahan bakar, truk air penyiram jalan tambang, hingga mobil- mobil berpenggerak empat roda yang tak pernah lepas dari lampu rotator dan bendera kecil sebagai penanda agar mudah terlihat oleh kendaraan lain.
Berbekal nasihat Asfar, kami meneruskan perjalanan setelah sekitar dua jam bingung hendak keluar dari kawasan pertambangan di Sungai Pinang. Sebelumnya, perjalanan dari Banjarmasin hingga masuk ke desa-desa di sekitar tambang kami mulai dari jalan sempit di Kecamatan Simpang Empat.
Jalan di Simpang Empat itu hanya cukup dilewati satu mobil dan sepeda motor. Jika berpapasan dengan mobil lain, salah satu harus merapat ke pagar pekarangan warga. Meski kondisi aspal baik, beberapa jembatan kayu mulai rusak.
Kondisi jalan dan jembatan semakin rusak ketika memasuki Kecamatan Sungai Pinang yang berada tak jauh dari penambangan. Kondisi ini terjadi karena beberapa truk batu bara juga melintas di daerah ini meski kosong. Biasanya truk itu dibawa pulang pemilik atau sopir warga setempat.
Akibat jalanan yang rusak, sebagian warga pun lebih menyukai lewat jalan tambang yang lebih lebar. Mereka biasa membawa hasil panen, seperti buah cempedak, langsat, atau sayur, menuju pasar di Astambul, Kabupaten Banjar.
Bagi warga, melewati jalan tambang berupa tanah adalah hal biasa. Namun, bagi orang luar yang masuk kawasan tambang dengan kendaraan pribadi, tentu menimbulkan rasa waswas. Mata pengemudi harus awas memerhatikan rambu- rambu. Mereka juga harus cermat memilih jalur. Lengah sedikit, kendaraan besar dari depan siap melindas.
Memerhatikan kata-kata Asfar pun menjadi sangat penting agar tidak tersesat. Sebab, jalan- jalan tambang di daerah itu seperti gurita. Apalagi jalan antardesa banyak yang dipotong oleh jalan tambang. Di beberapa titik, kami menyaksikan sebagian lubang tambang telah menjadi danau kecil. Lubang itu ditinggalkan tanpa reklamasi.
Setelah melaju beberapa kilometer di jalan tambang, ternyata kami tidak sendirian. Beberapa sepeda motor pelajar pulang sekolah dan warga yang menjual cempedak tampak konvoi. Rasa waswas semula jalan sendiri pun pudar.
”Selain bahaya, debunya juga tebal. Namun, saya tetap memilih lewat jalan tambang sejauh 25 kilometer sebelum sampai ke jalan beraspal menuju Banjarmasin,” kata Asfar. Kalau melewati jalan desa, Asfar tidak bisa melaju kencang.
Kondisi jalan yang lebih buruk lagi terjadi saat memasuki jalan Desa Parandakan, Kecamatan Lokpaikat menuju Desa Miawa, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin. Kondisi sebagian jalan desa itu sudah tidak utuh lagi karena berubah menjadi jalan tambang. ”Jalan desa di sini sebagian sudah tidak bisa dilewati lagi, sudah ditutup jalan tambang,” kata Siti, warga Parandakan.
Jalan-jalan desa rusak, kata Udiansyah, pengamat ekonomi lingkungan dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, hanyalah sebagian dari beban daerah akibat pengelolaan pertambangan yang buruk di Kalsel.
Sebelum angkutan batu bara dan kelapa sawit dilarang lewat jalan negara di Kalsel bulan Juli 2009, rakyat Kalsel bertahun-tahun menderita karena jalan trans-Kalimantan di Kalsel wilayah tengah ruas Kandangan-Banjarmasin rusak akibat 3.000-an truk batu bara menguasai jalan setiap hari.
Sejak ada larangan dan dibuatkan jalan khusus bagi truk tambang, Dinas Pekerjaan Umum Kalsel menghemat anggaran Rp 120 miliar per bulan untuk perbaikan jalan. Padahal, sebelum truk lewat, pemeliharaan jalan hanya butuh Rp 10 miliar per bulan. Biaya pemeliharaan jalan di Kalsel Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar per kilometer. ”Secara ekonomi lingkungan, pengelolaan pertambangan batu bara yang buruk justru tidak menguntungkan apa-apa buat Kalsel. Yang diuntungkan lebih besar tentu pemilik modal,” tutur Udiansyah.
(Defri Werdiono/ A Handoko)
Oleh M Syaifullah dan Ambrosius Harto Manumoyoso
”Kalau mau ke Binuang lewat jalan tambang tidak dilarang. Tetapi hati-hati, truk-truk besar pengangkut batu bara melaju kencang. Rambu-rambu harus diperhatikan agar tidak tersesat,” kata Asfar (50), warga Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Penambangan batu bara di Kalsel yang berlangsung sejak tahun 1980-an ternyata tidak selalu diikuti penyediaan infrastruktur memadai bagi warga sekitar. Jalan-jalan rusak dan banyak lubang bekas tambang ditinggalkan begitu saja. Pemandangan itu menjadi potret buruk pengelolaan sumber daya alam di daerah.
Asfar paham betul tentang kondisi ini. Ia tinggal di desa dekat kawasan pertambangan. Warungnya terletak di ujung desa dan berjarak sekitar 20 meter dari pintu masuk tambang batu bara yang dikelola PT Pama Persada Nusantara.
Di tempat itu, Asfar lebih banyak menghabiskan waktu. Untuk menerangi warungnya yang buka siang-malam, Asfar menyambungkan kabel dari rumahnya sejauh 1 kilometer. Lokasi warung cukup strategis. Di depannya jalan warga menuju ke desa lain. Jalan itu juga dipakai pegawai tambang yang ingin pulang ke kontrakan di Rantau Bakula.
Dari warung, aktivitas di pertambangan terlihat jelas. Gerak lihai ekskavator seolah tiada henti mengeruk batu bara. Begitu pula truk-truk bertonase besar, truk tangki pengangkut bahan bakar, truk air penyiram jalan tambang, hingga mobil- mobil berpenggerak empat roda yang tak pernah lepas dari lampu rotator dan bendera kecil sebagai penanda agar mudah terlihat oleh kendaraan lain.
Berbekal nasihat Asfar, kami meneruskan perjalanan setelah sekitar dua jam bingung hendak keluar dari kawasan pertambangan di Sungai Pinang. Sebelumnya, perjalanan dari Banjarmasin hingga masuk ke desa-desa di sekitar tambang kami mulai dari jalan sempit di Kecamatan Simpang Empat.
Jalan di Simpang Empat itu hanya cukup dilewati satu mobil dan sepeda motor. Jika berpapasan dengan mobil lain, salah satu harus merapat ke pagar pekarangan warga. Meski kondisi aspal baik, beberapa jembatan kayu mulai rusak.
Kondisi jalan dan jembatan semakin rusak ketika memasuki Kecamatan Sungai Pinang yang berada tak jauh dari penambangan. Kondisi ini terjadi karena beberapa truk batu bara juga melintas di daerah ini meski kosong. Biasanya truk itu dibawa pulang pemilik atau sopir warga setempat.
Akibat jalanan yang rusak, sebagian warga pun lebih menyukai lewat jalan tambang yang lebih lebar. Mereka biasa membawa hasil panen, seperti buah cempedak, langsat, atau sayur, menuju pasar di Astambul, Kabupaten Banjar.
Bagi warga, melewati jalan tambang berupa tanah adalah hal biasa. Namun, bagi orang luar yang masuk kawasan tambang dengan kendaraan pribadi, tentu menimbulkan rasa waswas. Mata pengemudi harus awas memerhatikan rambu- rambu. Mereka juga harus cermat memilih jalur. Lengah sedikit, kendaraan besar dari depan siap melindas.
Memerhatikan kata-kata Asfar pun menjadi sangat penting agar tidak tersesat. Sebab, jalan- jalan tambang di daerah itu seperti gurita. Apalagi jalan antardesa banyak yang dipotong oleh jalan tambang. Di beberapa titik, kami menyaksikan sebagian lubang tambang telah menjadi danau kecil. Lubang itu ditinggalkan tanpa reklamasi.
Setelah melaju beberapa kilometer di jalan tambang, ternyata kami tidak sendirian. Beberapa sepeda motor pelajar pulang sekolah dan warga yang menjual cempedak tampak konvoi. Rasa waswas semula jalan sendiri pun pudar.
”Selain bahaya, debunya juga tebal. Namun, saya tetap memilih lewat jalan tambang sejauh 25 kilometer sebelum sampai ke jalan beraspal menuju Banjarmasin,” kata Asfar. Kalau melewati jalan desa, Asfar tidak bisa melaju kencang.
Kondisi jalan yang lebih buruk lagi terjadi saat memasuki jalan Desa Parandakan, Kecamatan Lokpaikat menuju Desa Miawa, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin. Kondisi sebagian jalan desa itu sudah tidak utuh lagi karena berubah menjadi jalan tambang. ”Jalan desa di sini sebagian sudah tidak bisa dilewati lagi, sudah ditutup jalan tambang,” kata Siti, warga Parandakan.
Jalan-jalan desa rusak, kata Udiansyah, pengamat ekonomi lingkungan dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, hanyalah sebagian dari beban daerah akibat pengelolaan pertambangan yang buruk di Kalsel.
Sebelum angkutan batu bara dan kelapa sawit dilarang lewat jalan negara di Kalsel bulan Juli 2009, rakyat Kalsel bertahun-tahun menderita karena jalan trans-Kalimantan di Kalsel wilayah tengah ruas Kandangan-Banjarmasin rusak akibat 3.000-an truk batu bara menguasai jalan setiap hari.
Sejak ada larangan dan dibuatkan jalan khusus bagi truk tambang, Dinas Pekerjaan Umum Kalsel menghemat anggaran Rp 120 miliar per bulan untuk perbaikan jalan. Padahal, sebelum truk lewat, pemeliharaan jalan hanya butuh Rp 10 miliar per bulan. Biaya pemeliharaan jalan di Kalsel Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar per kilometer. ”Secara ekonomi lingkungan, pengelolaan pertambangan batu bara yang buruk justru tidak menguntungkan apa-apa buat Kalsel. Yang diuntungkan lebih besar tentu pemilik modal,” tutur Udiansyah.
(Defri Werdiono/ A Handoko)