Thursday, August 05, 2010

Penambang Keluhkan SK 435

Radar Banjarmasin Rabu, 4 Agustus 2010

 

PELAIHARI - Dengan terbitnya surat keputusan Menteri Kehutanan RI no 435 / Menhut-II/2009 tentang penunjukan kawasan hutan provinsi kalsel, banyak sekali para pemilik lahan resah karena tidak dapat melakukan aktivitas di lahan tersebut. Hal ini terungkap saat Dinas Kehutanan Tala memfasilitasi para pemilik lahan yang mayoritas para penambang ini untuk mendapatkan penjelasan tentang SK 435 di Aula kantor Dinas Kehutanan, Selasa (3/8).
“Dengan adanya SK tersebut saya tidak dapat beraktivitas penambangan,” ujar Direktur CV Karya Bersama H Kaspul Anwar.
Dijelaskannya, terbitnya SK 435 dari Menhut tersebut telah menggagalkan aktivitas yang ingin dilakukannya pada areal Desa Pemalongan Kecamatan Bajuin dengan seluas areal 53 hektar, tentu saja pihaknya mengalami kerugian, karena sebelum terbit SK tersebut, pihaknya telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pembebasan lahan, untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan tersebut. “Saya punya sertifikat, namun nggak berani melakukan  sejak SK itu terbit,” terangnya.
Kepala Dinas Kehutanan Ir Aan Purnama MP menjelaskan, para pemilik lahan yang sudah ada ijinnya sebelum SK 435 itu terbit  tidak perlu takut untuk melakukan aktivitas di lahan tersebut, karena pada poin C SK tersebut dijelaskan, izin pemanfaatan hutan atau izin penggunaan kawasan hutan yang masih berlaku sebelum diterbitkannya keputusan ini masih tetap berlaku sampai dengan izinnya berakhir. “Apalagi memiliki sertifikat, tidak ada permasalahan,” jelasnya.
Untuk itulah dengan adanya pertemuan ini, Aan berharap, semua pihak dapat mengerti dari isi SK tersebut, agar kedepannya tidak ada permasalahan hukum yang didapat. Dan untuk selanjutnya pihaknya akan segera melakukan pemetaan sementara terhadap lahan –lahan yang menjadi kawasan hutan. “BPN dan para pemilik lahan serta intansi terkait akan diajak pemetaan sementara ini,” ungkapnya.
Dari hasil pertemuan ini, Dinas Kehutanan dengan intansi terkait akan segera menyelesaikan permasalahan ini dengan cara melakukan pemetaan sementara yang diberikan petunjuk oleh dinas Kehutanan Provinsi Kalsel dan juga akan menyampaikan hal ini kepada Bupati Tala untuk dapat melakukan pertemuan dengan para Muspida tentang SK 435 ini. (ard).

Dewan Tanyakan Tambang Bawah Tanah

Radar Banjarmasin Rabu, 4 Agustus 2010

 

MARTAPURA – Sempat terjadi ketegangan dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi I DPRD Banjar dengan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben), Dinas Tenaga Kerja dan Tranmigrasi (Disnaker) Banjar dan PD. Baramarta, terkait aktivitas perusahaan asing yang sudah melakukan tahap ekplorasi dalam rencana ekploitasi tambang batubara bawah tanah di Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar.

Dalam rapat itu terlihat para wakil rakyat dipimpin Ketua Komisi I DPRD Banjar Imran Hadimi mempertanyakan banyak hal, mulai dari izin pertambangan sampai pada lokasi pertambangan serta banyaknya produksi yang bisa dihasilkan dalam setiap tahunnya.

Tak jarang pertanyaan anggota DPRD Banjar ini tidak bisa dijawab dengan sempurna oleh eksekutif, sehingga kerap terjadi ketegangan dan ”adu urat leher” saat itu.

Dewan minta para pengusaha tambang jangan berbuat sewenang-wenang dalam beraktivitas di daerah. Sebab, meski mengantongi izin dari pemerintah pusat bukan berarti daerah diabaikan, karena pemerintah daerah tetap menjadi penguasa didaerahnya sendiri.

”Jangan mentang-mentang sudah mengantongi izin dari pusat daerah dicueki. Paling tidak harus ada pemberitauan bekerja di daerah orang,” ujar Imbran Hadimi, Ketua Komisi I DPRD Banjar ditemui koran ini usai Raker, Rabu kemarin (4/8).

Dalam pertemuan itu terungkap ujar Imran Hadimi, tidak ada izin yang dikeluarkan oleh instansi di Pemkab Banjar khususnya bidang perizinan yakni BP2T dan BLH Kabupaten Banjar, karena pengusaha sudah mengantongi izin dari pemerintah pusat kendati masih dalam proses. ”Izin pinjam pakainya saja masih dalam proses, mereka sudah melakukan ekplorasi,” tegasnya.

Meski demikian katanya, walaupun nanti izin pertambangannya sudah keluar bukan berarti pengusaha abaikan pemerintah daerah. Pengusaha tetap meminta izin, karena Kabupaten Banjar punya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur masalah itu.

”Sudah saatnya semua pihak mengamankan Perda. Jangan sampai aktivitas hanya merugikan daerah, sementara hasilnya tidak ada sama sekali diberikan untuk kemajuan daerah,” pungkasnya. (san)

Wednesday, August 04, 2010

Pemkab Banjar Kecolongan Batu Bara Lewat Sungai

 

Banjarmasinpost.co.id - Rabu, 4 Agustus 2010

BANJARMASINPOST.CO.ID, MARTAPURA - Penambangan batu bara secara ilegal terus menjadi permasalahan serius di Banua. Tak hanya dalam jumlah besar, pengiriman batu bara dalam jumlah kecil (karungan) masih marak terjadi.

Selasa (3/8/2010), BPost memergoki aktivitas itu. Sekitar pukul 12.30 Wita, empat unit perahu tiung bersandar di bawah jembatan penyeberangan Sungai Martapura di Desa Pingaran Ilir, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar.

Sejumlah orang duduk-duduk di atas tumpukan karung berisi batu bara yang diletakkan di dalam perahu. Mereka tengah menanti kedatangan orang yang membawa karung-karus emas hitam lainnya.

Informasi yang dihimpun koran ini dari sejumlah warga setempat, aktivitas pengangkutan batu bara karungan melalui jalur sungai dengan perahu tiung ini berlangsung sejak Kamis (29/7). "Saat itu ada enam perahu tiung yang bersandar. Semuanya memuat batu bara karungan," ucap seorang warga.

Pengangkutan batu bara dilakukan sembunyi-sembunyi. Mereka menerima pasokan dari pengirim yang membawa melalui jalur darat di kawasan Jalan A Yani Kilometer 74. Biasanya dilakukan saat malam," ucap warga lain.

Berdasar penelusuran BPost, sebagai tempat penampungan pemasok batu bara itu bara memiliki gudang yang lokasinya tidak jauh dari jembatan. Kemudian, batu bara itu diangkut dengan menggunakan perahu biasa menuju ke perahu tiung.

Tetapi, kadangkala diangkut oleh sejumlah orang dari mobil pick up yang parkir di jembatan. Jika sudah penuh, perahu tiung itu menyusuri Sungai Martapura menuju Sungai Barito.

Sebelum menggunakan kawasan Jembatan Desa Pingaran Ilir, aktivitas itu dilakukan di kawasan Jembatan Danau Salak, Astambul, Banjar. Namun, warga di sana mengusir mereka. "Ternyata, pindahnya ke sini," ucap seorang warga.

Keterkejutan dialami Camat Astambul, Samsul Arifin Sutha saat dikonfirmasi tentang hal ini. "Saya tidak tahu," ucapnya. Beberapa saat kemudian, Samsul menelepon pambakal (kepala desa) untuk menanyakan temuan BPost itu. Jawabannya, pembakal mengetahuinya.

"Pambakal mengetahui. Dia juga mengatakan tidak ada pengusaha yang mengajukan izin atau memberitahu soal pengangkutan batu bara itu. Kami sudah minta agar pambakal menegur aktivitas itu," tegas Samsul.

Ancam Sungai

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Banjar Farid Soufian juga mengaku tidak pernah menerima permohonan izin dari  pengusaha untuk mengangkut batu bara karungan di lokasi tersebut. Dia khawatir, aktivitas ilegal itu makin memperburuk kualitas air Sungai Martapura. "Batu bara mengandung sulfur. Bila bereaksi dengan air dan teroksidasi akan memunculkan senyawa yang sama dengan air accu," ucapnya.

Diungkapkan Farid, pascaterbitnya Perda Nomor 3 Tahun 2009 tentang Larangan Angkutan Tambang Melintas Jalan Negara maka truk-truk pengangkut batu bara hanya boleh melewati jalur darat yang sudah ditentukan. Namun, pengangkutan melalui jalur ungai belum ada aturannya. "Kita akan segera berkoordinasi dengan dinas terkait untuk mengetahui perizinannya," ucapnya.

Sedangkan Kepala Dinas Pertambangan, Sufian AH melalui pesan singkat di ponsel menegaskan dirinya juga tidak pernah mengeluarkan pengangkutan batu bara melewati sungai di wilayah Banjar. Hal senada dikemukakan Kepala Dinas Perhubungan Banjar, Gt Syahrin. "Perizinan angkutan batu bara melalui sungai yang masuk ke kami belum ada," ujar Gt Syahrin, juga melalui pesan singkat di ponsel.

(tim)
ALAM KALSEL 
Luas Daerah    : 3,7 Juta hektare
Areal Tambang    : 1,8 Juta hektare
PKP2B        : 23 Perusahaan
KP            : 380 Perusahaan
HPH            : 261,9 Ribu hektare
HTI            : 685,7 Ribu hektare 

Pertemuan Investor Tambang

 

Banjarmasinpost.co.id - Selasa, 3 Agustus 2010 |

BANJARMASINPOST.CO.ID, PALANGKARAYA - Kalangan investor pertambangan di Kabupaten Tanahlaut (Tala), Kalsel, Selasa (3/8/2010) menghadiri rapat di Kantor Pemkab Tala terkait SK Menhut No 435 tahun 2010 tentang kawasan hutan.
Mereka menyampaikan keberatannya karena lahan tambangnya tiba-tiba masuk kawasan hutan, padahal sebelumnya sesuai SK 453 tahun 1999 tidak masuk kawasan hutan. Sementara selama ini mereka telah mengeluarkan banyak uang untuk membebaskan lahan warga di areal tambg tersebut.
(idda royani)

Tuesday, August 03, 2010

Seperempat Kalsel Dikuasai Tambang

 

Selasa, 3 Agustus 2010 | 04:21 WIB

BANJARMASIN, KOMPAS - Luas pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan mencapai 930.292,37 hektar atau 24,79 persen dari luas provinsi yang hanya 3,753.052 juta hektar. Kondisi ini memperparah degradasi lingkungan. Apalagi, Kalimantan sudah rusak akibat penebangan liar dan eksploitasi hutan lewat hak pengusahaan hutan.

Indeks kualitas lingkungan Kalsel saat ini menduduki peringkat ke-26 dari 28 provinsi di Indonesia dengan nilai tutupan vegetasi hanya 39,24 persen dan kualitas air hanya 8,4 persen.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalsel Rachmadi Kurdi di Banjarmasin, Senin (2/8), mengatakan, jumlah pertambangan batu bara di Kalsel saat ini 410 buah. Rinciannya, penambangan dengan izin kontrak karya (KK) enam buah, kuasa pertambangan (KP) 363, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) 41 buah.

”Tambang berjalan terus, sedangkan upaya rehabilitasi berjalan seperti siput. Sampai saat ini upaya rehabilitasi kurang dari 2 persen,” kata Rachmadi.

Dari data BLHD, kabupaten yang paling banyak memiliki tambang batu bara adalah Tanah Bumbu, lalu Tanah Laut, Kota Baru, dan Tapin. Di Tanah Bumbu ada 151 pertambangan, terdiri atas 146 KP (48 di antaranya berstatus eksplorasi), empat PKP2B, dan satu KK.

Di Tanah Laut ada 57 KP (13 di antaranya eksplorasi), satu KK, empat PKP2B, dan satu masih dalam penyelidikan. Di Kota Baru ada 42 KP dan empat PKP2B. Di Kabupaten Tapin 20 KP dan tiga PKP2B. Di Kabupaten Banjar ada 20 KP, 8 PKP2B, dan satu KK.

Menurut Rachmadi, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin akan mengeluarkan surat edaran kepada para bupati berisi pemulihan lingkungan. Pihak kabupaten harus benar-benar memerhatikan kondisi lingkungan. Selama ini mereka yang banyak mengeluarkan izin.

Gubernur Kalsel mengatakan, isi surat lebih banyak pada imbauan karena yang bersifat peraturan sudah dikeluarkan pemerintah pusat. ”Sebaiknya (daerah kembali) melakukan kajian yang lebih komprehensif, baik dari aspek legal, lingkungan hidup, maupun aspek lainnya,” ujarnya.

Dari Lampung dilaporkan, laju alih fungsi kawasan pesisir di Kabupaten Pesawaran menjadi tambak kian masif. Terakhir, Muara Bawang yang jadi habitat satwa liar dan kawasan hutan mangrove yang tersisa di daerah ini luluh lantak oleh tambak.

Berdasarkan hasil pemantauan, akhir pekan lalu, puluhan hektar areal mangrove yang masih alamiah di Muara Bawang telah berubah jadi sarana infrastruktur tambak. Ratusan pohon mangrove ditebangi, lalu ditimbun menjadi kanal-kanal dan kolam-kolam tambak. (WER/JON)

Tuesday, June 29, 2010

Ditambang Atau Tidak, Keputusan Ada di Tangan Bupati

BANJARMASINPOST.CO.ID, KOTABARU - Pro dan kontra rencana penambangan batu bara dan bijih besi di Pulaulaut, Kabupaten Kotabaru, Kalsel terus berlanjut. Namun Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kotabaru menegaskan tidak terpengaruh dengan aksi kedua massa itu.

Kepala Muchlis Hamidi, mengatakan, penolakan dan dukungan rencana penambangan batu bara dan bijih besi di Pulaulaut tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menerbitkan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). "Kedua aksi itu tidak berpengaruh kami bagi. Karena selaku penyelenggara BLHD, kami hanya menjalankan uji kelayakansesuai perintah undang-undang.

Apalagi, kata dia, Amdal hanya salah satu syarat melakukan penambangan. Justru keputusan boleh tidaknya dilakukan penambangan tergantung bupati.

Hanya secara tehnis, kata dia, yang memiliki kewenangan mengatakan Pulaulaut dilaksanakan penambangan atau tidak adalah Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben).

Sebelumnya diberitakan, rencana penetapan amdal yang ditandatangani Bupati Sjachrani Mataja batal dilaksanakan di Gedung Abdi Negara. Penyebabanya adanya penolakan oleh warga yang kontra dan beberapa anggota DPRD mendatangi kantor tersebut.

Selain warga yang propenambangan, juga mendesak bupati segera mencabut SK Nomor 30 tahun 2004 tentang Larangan Penambangan di Pulaulaut. Akhirnya rencana penandatangan amdal batal dilaksanakan, dan bola panas pun berpindah ke gedung DPRD.

Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supiannor berjanji meminta penjelasan pihak perusahaan soal alasan mereka menambang di Pulaulaut.  "Saya akan minta penjelasan mereka. Apa dasarnya berani mengajukan permohonan menambang," ujarnya.

Sementara itu massa kontra rencana penambangan batu bara dan bijih besi di Pulaulaut, hari ini, Senin (28/6) Noor Ifansyah Cs pihak yang menolak mengadakan dengar pendapat dengan DPRD Provinsi.

"Teman-teman di Banjarmasin menjadwalkan. Bersama-sama mahasiswa dan warga Kotabaru yang ada di Banjarmasin, kami mendatangi kantor DPRD Provinsi," ujar Ifansyah, Jumat (25/6) tadi.

Selain bertemu anggota DPRD, warga yang kontra kegiatan itu juga akan bertemu Gubernur Kalsel Rudy Ariffin.

Berbeda, pihak mendukung rencana penambangan, Habib Hasan mengatakan Rabu (30/6) ini pihaknya mendatangi kantor DPRD Kotabaru.

(sah)

Banjarmasinpost.co.id - Senin, 28 Juni 2010

Walhi Laporkan PT Silo ke Polisi

BANJARMASINPOST.CO.ID, KOTABARU - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel melalui kuasa hukumnya Noor Ifansyah akhirnya melaporkan PT Sebuku Iron Lateritic Ores ke Polres Kotabaru, Senin (28/6/2010) kemarin.
Laporan itu terkait tercemarnya air Sungai Bali, Kecamatan Pulau Sebuku akibat jebolnya bendungan air penjernihan bijih besi Gunung Ulin milik perusahaan tersebut beberapa bulan lalu.
Manajer Kampanye Walhi Kalsel Dwitho Frasetiandy, mengatakan, pihaknya melaporkan PT Silo ke polisi, karena perusahaan itu dinilai telah melakukan tindak pidana lingkungan.
Menurut dia, berdasar bukti-bukti hasil penelitian dan dapat dilihat dengan mata telanjang, air sungai itu telah tercemar.
Menurut Dwitho, zat kimia yang mencemari air sungai itu di antaranya mangan dan COD. Kedua zat itu tidak membahayakan kehidupan manusia dan ekosistem di sungai tersebut.
Karena itu Dwitho meminta PT Silo bertanggung jawab terhadap pencemaran itu. Selain itu perusahaan tersebut juga harus diberi sanksi administrasi.
"Kami menginginkan laporan ini benar-benar ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian," kata Dwitho.
Dia menambahkan atas dasar dugaan pencemaran dan perusakan lingkungan, perusahaan dapat dikenakan Undang Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pantauan BPost, laporan pengaduan Walhi ke Sentral Pelayanan Kepolisian (SPK), sekitar pukul 11.00 Wita diterima oleh KSPK III Agoes kemudian laporan itu diproses oleh Brigadir Elfa Varsika.
Wakapolres Kotabaru Kompol Joko Sulistio, mengatakan, pihaknya pasti menindaklanjuti laporan tersebut jika memenhi syarat.
Hingga berita diturunkan Deputy Operasional PT Silo Darmaji tidak berhasil dikonfirmasi. Berkali-kali dihubungi telepon genggamnya tidak diangkat.
Darmaji juga tidak membalas pesan singkat yang dikirim BPost.
(sah)

Friday, May 21, 2010

Ditahan, Terlibat Pengrusakan Mesin Perusahaan

B- Post KOTABARU, KAMIS - Empat warga yang terlibat aksi penghentian kegiatan eksplorasi perusahaan pertambangan PT Sebuku Sejakah Coal (SSC) di Bekambit Asri, Kecamatan Pulaulaut Timur diamankan Polres Kotabaru.

Keempat warga itu adalah, Daeng Naik, Dile, Tiyar, dan Baha. Sebelumnya polisi mengamakan sebelas warga, Selasa (12/5/2010). Namun lima orang di antaranya dipulangkan karena tidak terbukti terlibat, mdan satu masih di bawah umur.

Pengamanan ke empat petani tambak itu, karena berdasarkan laporan pihak perusahaan, mereka diduga melakukan pengrusakan mesin pengeboran milik perusahaan tersebut saat melakukan aksi demo waktu lalu.

Penangkapan itu membuat petani lainnya berang. Jika keempat petani itu tak dibebaskan, mereka berencana mendatangi Mapolres Kotabaru. Mahyar salah satu petani tambak, dihubungi melalui telepon genggamnya,  membenarkan warga akan melakukan aksi solidaritas itu.

Menurut Mahyar, petani tidak melakukan aksi demo, namun hanya ingin menemui Kapolres Kotabaru, meminta agar membebaskan ke empat rekannya mereka itu. "Jika kapolres tak berkenan, kami juga tidak akan memaksa," katanya.

Wakapolres Kotabaru Komisaris Polisi Joko Sulistio membenarkan telah mendapat informasi terkait rencana aksi solidaritas ratusan petani tambak tersebut.

Menurut dia, untuk menyampaikan solidaritas tidak perlu banyak, cukup beberapa perwakilan.

Dia mengingkatkan warga yang ingin melakukan aksi solidaritas agar mengikuti mekanisme yakni seperti mengurus izin ke kepolisian dan harus ada koordinator lapangan, serta yang bertanggung jawab. "Jika mekanisme itu tidak dilakukan, kami berhak membubarkan aksi itu," katanya.

Terkait permintaan petani agar rekan mereka diamankan, Joko menegaskan tidak bisa dikabulkan karena ke empat petani terbukti merusak fasilitas milik perusahaan.

Kawasan Stockpile jadi Objek Wisata

Rabu, 19 Mei 2010 | 14:28 WITA

PELAIHARI, RABU - Manajemen PT Jorong Barutama Greston mengekpose rencana program community development (CD) pascatambang di enam desa di ring I, Rabu (19/5/2010).
Konsep program ini antara lain menjadikan kawasan stockpile dan perkantoran sebagai objek wisata pantai yang eksotis.
Hal ini didukung dengan dekatnya akses dari Trans Kalimatan. Selain itu air pantai yang jernih, serta banyaknya pepohonan menjadikan kawasan tersebut ideal sebagai tempat wisata.
Sebagai pelengkap, mess karyawan akan dijadikan villa.

Wow! Kawasan Tambang Jadi Wisata Pantai

B- Post PELAIHARI, KAMIS - Rencana besar sedang dipersiapkan manajemen PT Jorong Barutama Greston (JBG) menjelang penutupan tambang 2013 mendatang. Kawasan stockpile perusahaan tambang batu bara penanaman modal asing tersebut akan disulap menjadi objek wisata yang eksotis.

"Kami akan membenahi dan menata kawasan stockpile menjadi objek wisata yang indah, wisata pantai. Harapan kami kelak akan menjadi wisata pantai terindah setidaknya di Kalsel," kata Manager External PT JBG Hadirin Azhar.

Hal itu diutarakan Hadirin di depan pejabat teras terkait Pemkab Tala pada acara pemaparan Program Community Development JBG di lantai II kantor Setda Tala, Rabu (19/5/2010). Acara dipimpin Asisten II bidang ekonomi pembangunan HA Nizar.

Hadirin optimistis pantai di kawasan stockpile setempat bisa menjadi objek wisata baru yang menggiurkan. Pasalnya selain air laut di kawasan itu jernih (biru) dan pantai yang dilapisi pasir putih, juga ditopang aksesibilitas yang nyaman serta penunjang lainnya.

Pantauan BPost Online beberapa waktu lalu, pesona pantai setempat memang menakjubkan. Lebih indah dari Pantai Batakan dan Takisung. Jernihnya air laut merupakan daya tarik alami yang tak terkalahkan.

"Akses jalan daratnya sudah ada, cukup memadai. Jaraknya juga cukup dekat dari jalan poros Trans Kalimantan arah PelaihariKintap. Sangat mudah dijangkau," kata Hadirin.

Badan jalannya cukup lebar mencapai 20 meter. Itu adalah jalan tambang yang menghubungkan areal penambangan ke stockpile dan pelsus yang berada dekat pesisir pantai. Jalan tambang tersebut juga telah hijau oleh pepohonan pinus. Mendekati pantai pohon pinus kian lebat yang memayungi badan jalan sehingga cukup rindang.

Pusat perkantoran JBG juga berada di kawasan tersebut, termasuk mess karyawan. Bangunan mess itu cukup megah menyerupai villa. Taman yang asri membentang di halaman depan.

Hadirin mengatakan seluruh aset tersebut kelak akan diserahkan kepada pemerintah daerah untuk menopang pengembangan kepariwisataan (objek wisata pantai) setempat. "Tinggal dibenahi sedikit," katanya.

Di kawasan tersebut, juga masih terdapat habitat alami kayu galam. Kondisinya masih perawan.

Petani Tambak Ancam Pemkab Kotabaru

B- Post- KOTABARU, KAMIS  - Ratusan petani tambak, Desa Bekambit Asri, Kecamatan Pulaulaut Timur, Kotabaru mendatangi kantor Bupati Kotabaru, Rabu (19/5/2010) kemarin.  Mereka menuntut agar pemerintah daerah segara mencabut izin eksplorasi untuk PT Sebuku Sejakah Coal (SSC).

Aksi yang dilakukan di tengah terik matarahari itu membuat demonstran mandi keringat. Namun mereka tetap bersemangat berorasi. Pendemo menenteng spanduk bertuliskan hentikan eksplorasi. Selain itu, mereka juga mencabut papan larangan penambangan batu bara di Pulaulaut yang dikeluarkan Bupati Kotabaru.

Papan larangan terbuat dari ulin tersebut, yakni berupa surat keputusan (SK) Bupati Kotabaru Nomor 30 Tahun 2004, salah satunya terpasang di kawasan Pulaulaut. Selain mendatangi kantor bupati, mereka juga menyerbu kantor DPRD untuk menyampaikan aspirasi kepada dewan perwakilan rakyat.

Pendemo menilai pemerintah daerah tidak menghargai peraturan yang telah mereka buat sendiri.

Koordinator Lapangan Mahyar meminta pemerintah segera menghentikan kegiatan eskplorasi dan mereka tidak menginginkan ada kegiatan perusahaan, karena petani tambak menilai keberadaan perusahaan tersebut tidak memberikan keuntungan.

"Malah aktivitas perusahaan hanya menimbulkan dampak. Karena bandeng dan udang di tambak kami mati," kata Mahyar.

Mahyar juga mengancam, jika tuntutan mereka tidak direalisasi pemerintah daerah, pihaknya akan melakukan aksi serupa dengan jumlah massa lebih besar. "Jadi saya minta kepada pemerintah daerah segera menghentikan kegiatan itu. Kalau tidak jangan salahkan kami kalau terjadi lagi tindakan anarkis," katanya.

Aksi yang nyaris beringas itu reda setelah mereka ditemui Wakil Bupati Kotabaru Fatizanolo S. Fatizanolo Berjanji akan membawa persoalan tersebut ke unsur muspida dan pembuat kebijakan.

"Jadi saudara-saudara mohon agar tidak melakukan tindakan anarkis," kata Fatizanolo.

Gubernur Kalsel: Kami Tidak Berwenang

 

Kamis, 28 Januari 2010 | 03:08 WIB

Banjarmasin, Kompas - Setelah Gubernur Kalimantan Timur mengaku malu atas kerusakan lingkungan akibat pertambangan batu bara yang tak terkendali, Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin, Rabu (27/1), menyatakan, pemerintah provinsi tidak memiliki wewenang untuk menertibkan penambang perusak lingkungan. Hal yang dapat dilakukannya adalah sebatas koordinasi dengan pemerintah kabupaten.

Menurut Rudy, seandainya diberi wewenang untuk menata, ia pasti akan menertibkan masalah pertambangan. ”Yang kami bisa lakukan saat ini sebatas sifatnya koordinatif dengan pemerintahan kabupaten,” kata Rudy Ariffin.

Rudy mengakui, selama menjadi bupati di Kabupaten Banjar periode 2000-2005, ia telah mengeluarkan lima izin kuasa pertambangan (KP). ”Saya membatasi lima KP saja sesuai kelayakan teknis dan kondisi lingkungan bahwa daerah bisa ditambang. Kalau ada bupati yang mengeluarkan izin KP ratusan buah, bisa dipastikan banyak yang tidak layak tambang,” tuturnya.

Menurut catatan, saat ini di Kalimantan Selatan (Kalsel) terdapat 400-578 izin kuasa pertambangan dari pemerintah kabupaten dan 22 izin perjanjian kontrak karya pengusahaan batu bara yang dikeluarkan pemerintah pusat.

Rudy menjelaskan, hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila aturan tata ruang dan ketentuan peruntukan lahan ditaati. Dampak karut-marutnya penerbitan izin tambang batu bara adalah tumpang tindihnya lahan pertambangan dengan kawasan hutan. Repotnya, sebagian perusahaan batu bara yang beroperasi belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.

Aji Sofyan Alex, Ketua Komisi Bidang Keuangan dan Perekonomian DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), meminta Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak untuk tidak sekadar merasa malu terkait dengan keberadaan 1.108 izin kuasa pertambangan dari pemerintah kabupaten/kota dan 32 izin usaha pertambangan dari pemerintah pusat.

”Jangan sekadar merasa malu, tetapi mari beraksi dengan mencabut izin tambang yang merusak lingkungan dan tidak banyak membawa manfaat bagi masyarakat sekitar,” kata Aji Sofyan Alex, yang juga anggota DPRD Kaltim dari Fraksi PDI Perjuangan di Samarinda.

Polisi turun tangan

Direktur Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Kalsel Komisaris Besar Mahfud di Banjarmasin mengatakan, menyikapi pemberitaan Kompas dalam tiga hari terakhir, pihaknya menurunkan tim ke lapangan untuk menertibkan sejumlah pertambangan.

Manajer Teknik Tambang PT Jorong Barutama Greston (JBG) I Gede Widyada yang dihubungi di Asam-asam, Kabupaten Tanahlaut, Kalsel, mengakui, ada dua tambang milik PT JBG yang ditutup karena tidak memiliki izin pinjam pakai hutan dari Menteri Kehutanan. Menurut Widyada, masa berlaku izin yang dimilikinya habis pada Juli 2009 dan saat ini dalam proses perpanjangan. Perusahaan tetap melakukan penambangan karena mendapat surat rekomendasi dari Direktur Jenderal Pertambangan hingga Juli 2010. (BRO/FUL)

Wednesday, February 10, 2010

Jalan-jalan ke Kampung, Tersesat di Tambang

KOMPAS- Jumat, 5 Februari 2010 | 03:18 WIB

Oleh M Syaifullah dan Ambrosius Harto Manumoyoso

”Kalau mau ke Binuang lewat jalan tambang tidak dilarang. Tetapi hati-hati, truk-truk besar pengangkut batu bara melaju kencang. Rambu-rambu harus diperhatikan agar tidak tersesat,” kata Asfar (50), warga Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Penambangan batu bara di Kalsel yang berlangsung sejak tahun 1980-an ternyata tidak selalu diikuti penyediaan infrastruktur memadai bagi warga sekitar. Jalan-jalan rusak dan banyak lubang bekas tambang ditinggalkan begitu saja. Pemandangan itu menjadi potret buruk pengelolaan sumber daya alam di daerah.

Asfar paham betul tentang kondisi ini. Ia tinggal di desa dekat kawasan pertambangan. Warungnya terletak di ujung desa dan berjarak sekitar 20 meter dari pintu masuk tambang batu bara yang dikelola PT Pama Persada Nusantara.

Di tempat itu, Asfar lebih banyak menghabiskan waktu. Untuk menerangi warungnya yang buka siang-malam, Asfar menyambungkan kabel dari rumahnya sejauh 1 kilometer. Lokasi warung cukup strategis. Di depannya jalan warga menuju ke desa lain. Jalan itu juga dipakai pegawai tambang yang ingin pulang ke kontrakan di Rantau Bakula.

Dari warung, aktivitas di pertambangan terlihat jelas. Gerak lihai ekskavator seolah tiada henti mengeruk batu bara. Begitu pula truk-truk bertonase besar, truk tangki pengangkut bahan bakar, truk air penyiram jalan tambang, hingga mobil- mobil berpenggerak empat roda yang tak pernah lepas dari lampu rotator dan bendera kecil sebagai penanda agar mudah terlihat oleh kendaraan lain.

Berbekal nasihat Asfar, kami meneruskan perjalanan setelah sekitar dua jam bingung hendak keluar dari kawasan pertambangan di Sungai Pinang. Sebelumnya, perjalanan dari Banjarmasin hingga masuk ke desa-desa di sekitar tambang kami mulai dari jalan sempit di Kecamatan Simpang Empat.

Jalan di Simpang Empat itu hanya cukup dilewati satu mobil dan sepeda motor. Jika berpapasan dengan mobil lain, salah satu harus merapat ke pagar pekarangan warga. Meski kondisi aspal baik, beberapa jembatan kayu mulai rusak.

Kondisi jalan dan jembatan semakin rusak ketika memasuki Kecamatan Sungai Pinang yang berada tak jauh dari penambangan. Kondisi ini terjadi karena beberapa truk batu bara juga melintas di daerah ini meski kosong. Biasanya truk itu dibawa pulang pemilik atau sopir warga setempat.

Akibat jalanan yang rusak, sebagian warga pun lebih menyukai lewat jalan tambang yang lebih lebar. Mereka biasa membawa hasil panen, seperti buah cempedak, langsat, atau sayur, menuju pasar di Astambul, Kabupaten Banjar.

Bagi warga, melewati jalan tambang berupa tanah adalah hal biasa. Namun, bagi orang luar yang masuk kawasan tambang dengan kendaraan pribadi, tentu menimbulkan rasa waswas. Mata pengemudi harus awas memerhatikan rambu- rambu. Mereka juga harus cermat memilih jalur. Lengah sedikit, kendaraan besar dari depan siap melindas.

Memerhatikan kata-kata Asfar pun menjadi sangat penting agar tidak tersesat. Sebab, jalan- jalan tambang di daerah itu seperti gurita. Apalagi jalan antardesa banyak yang dipotong oleh jalan tambang. Di beberapa titik, kami menyaksikan sebagian lubang tambang telah menjadi danau kecil. Lubang itu ditinggalkan tanpa reklamasi.

Setelah melaju beberapa kilometer di jalan tambang, ternyata kami tidak sendirian. Beberapa sepeda motor pelajar pulang sekolah dan warga yang menjual cempedak tampak konvoi. Rasa waswas semula jalan sendiri pun pudar.

”Selain bahaya, debunya juga tebal. Namun, saya tetap memilih lewat jalan tambang sejauh 25 kilometer sebelum sampai ke jalan beraspal menuju Banjarmasin,” kata Asfar. Kalau melewati jalan desa, Asfar tidak bisa melaju kencang.

Kondisi jalan yang lebih buruk lagi terjadi saat memasuki jalan Desa Parandakan, Kecamatan Lokpaikat menuju Desa Miawa, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin. Kondisi sebagian jalan desa itu sudah tidak utuh lagi karena berubah menjadi jalan tambang. ”Jalan desa di sini sebagian sudah tidak bisa dilewati lagi, sudah ditutup jalan tambang,” kata Siti, warga Parandakan.

Jalan-jalan desa rusak, kata Udiansyah, pengamat ekonomi lingkungan dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, hanyalah sebagian dari beban daerah akibat pengelolaan pertambangan yang buruk di Kalsel.

Sebelum angkutan batu bara dan kelapa sawit dilarang lewat jalan negara di Kalsel bulan Juli 2009, rakyat Kalsel bertahun-tahun menderita karena jalan trans-Kalimantan di Kalsel wilayah tengah ruas Kandangan-Banjarmasin rusak akibat 3.000-an truk batu bara menguasai jalan setiap hari.

Sejak ada larangan dan dibuatkan jalan khusus bagi truk tambang, Dinas Pekerjaan Umum Kalsel menghemat anggaran Rp 120 miliar per bulan untuk perbaikan jalan. Padahal, sebelum truk lewat, pemeliharaan jalan hanya butuh Rp 10 miliar per bulan. Biaya pemeliharaan jalan di Kalsel Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar per kilometer. ”Secara ekonomi lingkungan, pengelolaan pertambangan batu bara yang buruk justru tidak menguntungkan apa-apa buat Kalsel. Yang diuntungkan lebih besar tentu pemilik modal,” tutur Udiansyah.

(Defri Werdiono/ A Handoko)

70 KP Tak Kantongi Izin Menhut

BANJARMASIN, RABU 3 Februari 2010 - Sebanyak 90 kuasa pertambangan (KP) yan mengajukan izin prinsip kehutanan lantaran melakukan penambangan di kawasan hutan di wilayah Kalsel.

Namun, dari jumlah tersebut hanya 20 KP yang berhasil disetujui menteri dan mendapatkan izin pinjam pakai kawasan. Sehingga mereka berhak melakukan aktivitas penambangan batu bara meskipun di kawasan hutan.

"Sisanya tidak ada izin resmi. Karena proses izin yang sudah turun hanya 20 perusahaan saja," kata kepala dinas kehutanan (Dishut) Kalsel, Suhardi.

Disinggung berarti sebanyak 70 kuasa pertambangan itu ilegal karena menambang di kawasan hutan, Suhardi belum bisa menjelaskan. Karena, pihaknya tidak melakukan pengawasan apakah,tetap melanjutkan penamangan atau berhenti.

Lebih lanjut dia menjelaskan, izin prinsip yang merupakan tahap awal sebelum terjadinya izin pinjam pakai kawasan itu hanya berlaku selama dua tahun saja.

Jika tidak mengajukan perpanjangan maupun tidak disetujui, secara otomatis aktifitas tambang tersebut harus berhenti. Jika tidak maka termasuk ilegal.(choiruman)

229 Kuasa Pertambangan sedang Tunggu Izin

Media Indonesia- Senin, 01 Februari 2010 15:00 WIB

Penulis : Denny Saputra

BANJARMASIN--MI: Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan (Kalsel) mencatat sedikitnya ada 229 Kuasa Pertambangan yang berada di kawasan hutan pegunungan Meratus menunggu legalisasi izin pinjam pakai kawasan hutan.

"Terbitnya izin pertambangan dan perkebunan di dalam kawasan hutan, khususnya kawasan hutan utama Kalsel, pegunungan Meratus, merupakan bom waktu akan munculnya bencana di kemudian hari," ungkap Hegar Wahyu Hidayat, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Senin (1/2), di Banjarmasin.

Eksploitasi tambang serta alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan akan merusak kawasan hutan. Terlebih keberadaan pegunungan Meratus sebagai paru-paru dunia dan sumber kehidupan akan semakin terdesak oleh kebijakan yang hanya berorientasi pada investasi semata.

Menurut Hegar, pihaknya mendesak pemerintah pusat mengkaji ulang usulan pelepasan kawasan hutan Meratus yang sebagian besar kawasan hutan lindung menjadi areal tambang maupun perkebunan. Diperkirakan luas kawasan hutan yang diduduki 229 KP tersebut mencapai 200 ribu hektare.

Di Kalsel terdapat 349 kuasa pertambangan (KP) dan 23 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dengan luas lahan konsesi tambang mencapai 700 ribu hektare. Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Suhardi Atmodirejo mengatakan ratusan perusahaan pertambangan dan perkebunan di Kalsel kini terganjal masalah izin pinjam pakai kawasan hutan.

"Proses perizinan di pusat sangat ketat dan hingga kini baru sebagian kecil perusahaan yang mendapat izin prinsip pemanfaatan hutan," katanya. Sebanyak 95 perusahaan tambang telah mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan dengan rekomendasi Gubernur dan lebih dari 100 perusahaan melalui bupati.

Untuk perusahaan perkebunan, sebanyak 28 perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi di areal kawasan hutan seluas 50 ribu hektare. Sebelumnya, pemerintah daerah Kalsel mengajukan revisi Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan melakukan pengurangan kawasan hutan seluas 311.420 hektare dari 1,8 juta hektare luas kawasan hutan sesuai SK Menhut 453/1999 menjadi 1,5 juta hektare.

Pengurangan kawasan hutan terjadi pada hutan lindung seluas 70.299 hektare, hutan produksi 54.493 hektare, hutan produksi tetap 126.120 hektare, dan hutan produksi konversi seluas 71.262 hektare. Tetapi pemerintah pusat hanya menyetujui pengurangan kawasan di Kalsel seluas 59.512 hektare dari 311.420 hektare kawasan hutan kawasan pegunungan Meratus yang diusulkan menjadi kawasan areal penggunaan lain (APL). (DY/OL-04)

Wednesday, February 03, 2010

Ada Makelar di Kasus JBG

Sabtu, 30 Januari 2010 | 08:02 WITA Banjarmasin Post SEJAK melakukan penutupan areal tambang PT JBG di Asamasam, Rabu (27/1/2010), jajaran Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Ditreskrim Polda Kalsel terus melakukan penyidikan. PT JBG diduga melakukan penambangan di luar areal, yang merupakan kawasan hutan. Direktur Reskrim Kombes Machfud Ariffin melalui Kasat IV Tipiter AKBP Purwanto, Jumat, mengatakan pihaknya telah meminta keterangan lebih dari 25 orang di lokasi tambang. Disinggung mengenai surat disposisi yang dipegang PT JBG, Purwanto mengatakan pihaknya masih melakukan pemeriksaan. "Tapi kok surat izinnya dari dirjen minerba (direktur jenderal mineral dan batu bara)? Padahal itu kan masuk kawasan hutan. Logikanya harus izin menteri kehutanan," ungkap Purwanto. Purwanto juga mengakui ada pihak-pihak yang ingin menarik keuntungan dari kasus ini. Salah satunya mengaku sebagai direskrim dan menyatakan bisa menyelesaikan kasus ini dengan imbalan tertentu. "Dia menelepon Direktur PT JBG Laksono. Intinya mengatakan apa perkara ini mau cepat atau tidak," ungkap Purwanto. Oleh karena itu, Purwanto meminta mereka yang terkait kasus ini tidak mudah percaya dengan makelar kasus (markus). Pihak polda akan menangani kasus ini secara profesional. Kemarin, petingi PT JBG seperti Laksono (direktur) dan I Gede Widardi (kepala teknik) terlihat di polda. Mereka menuju ruang Machfud. Saat dicegat usai da ri ruang direskrim, keduanya tak mau mau berkomentar banyak tentang maksud kedatangan. "Ikuti prosedur hukum yang dilakukan polda saja," ujar Gede sambil berlalu. Usai salat Jumat, mereka kembali terlihat menuju ruang Kapolda Brigjen Untung S Rajab. Tidak diketahui apa tujuan mereka.

Monday, February 01, 2010

Lima Perusahaan Dapat Bendera Hitam

Tetap Mengulang, Langsung Disidang

BANJARMASIN, BPOS - Lima perusahaan di Kalsel mendapat bendera hitam hasil penilaian tim lingkungan hidup dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLBH) Kalsel, Rahmadi Kurdi mengatakan, perusahaan-perusahaan tidak punya kepedulian terhadap lingkungan karena tidak memiliki sistem pengelolaan limbah.

Rahmadi menyampaikan itu saat rapat dengan Komisi III DPRD Kalsel, Selasa (12/1). Menurut dia, jika lima perusahaan itu saat penilaiaan tahun depan kembali meraih bendera hitam, maka bakal dibawa ke pengadilan.

"Sesuai aturan Dua Kali bendera hitam diajukan ke pengadilan seperti janji Pak Menteri (Menteri LH Gusti M Hatta,Red)," katanya.

Perusahaan yang mendapat bendera hitam itu adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan karet dan kayu, yakni PTPN XIII Danau Salak, PT Daya Sakti Unggul Corp, PT Hendratna Plywood, PT Basirih dan PT Sinar Inti Kencana.

Selain lima perusahaan mendapat penilaian bendera hitam, ada empat perusahaan yang mendapatkan nilai jelek atau bendera merah.

Peruahaan tersebut adalah PT Jorong Baratama Greston (JBG), PT Wijaya Tri Utama, Pt Borneo Internusa dan Pt Surya Satria Corp.

HASIL PENILAIAN KATEGORI

PT Jorong Baratama Greston (JBG) MERAH
PT Wijaya Tri Utama MERAH
PT Borneo Internusa MERAH
PT Surya Satria Corp MERAH
PTPN XIII Danau Salak HITAM
PT Daya Sakti Unggul Corp HITAM
PT Hendratna Plywood HITAM
PT Basirih HITAM
PT Sinar Inti Kencana HITAM

Menurut Rakhmadi, pengelolaan keempat perusahaan tersebut sudah memiliki kemauan untuk mengelola limbah perusahaan. Namun belum dilaksanakan dengan baik. "Kalau yang merah itu sudah ada kemauan, hanya belum maksimal saja pengelolaannya," kata Rahmadi.

Dia mengatakan, selain penilaian dari kementerian lingkungan hidup, BLHD juga melakukan penilaian terhadap 19 perusahaan. Hasil penilaian diumumkan pada 5 Juni 2010, saat peringatan Hrai Lingkungan Hidup.

Ketuan Komisi III DPRD KAlsel Gusti Perdana Kesuma mengatakan, DPRD kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan tersebut lantaran belum punya data base.

"Belum ada data penunjang yang maksimal terkait keberadaan perusahaan tersebut sehingga sulit utnuk melakukan pengawasan," akunya.

Akibatnya, selama ini sering terjadi keterlambatan alam penanganan masalah lingkungan. "Data penunjang keberadaan perusahaan tersebut belum tertata dengan baik, karena meningginya tenaga teknis," ucap Gusti perdana Kesuma.

(Sumber : Banjarmasin Post edisi Rabu, 13 Januari 2009)

Thursday, January 28, 2010

Penambangan Memprihatinkan

Kawasan Konservasi Pun Dikeruk

Senin, 25 Januari 2010 | 03:59 WIB

Samarinda, Kompas - Praktik penambangan batu bara di Kalimantan saat ini sudah sangat memprihatinkan. Tak hanya hutan produksi yang habis digarap secara membabi buta, tetapi juga kawasan konservasi dan lahan pertanian masyarakat.

Pantauan Kompas selama sepekan terakhir di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan menunjukkan, penambangan di kedua provinsi itu semrawut dan tidak terkontrol. Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kaltim dan Hutan Lindung Pegunungan Meratus di Kalsel, yang mestinya dilindungi, pun tak luput dari operasi penambangan batu bara.

Di Tahura, lahan yang digarap penambang justru yang masuk kawasan hutan Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul), Samarinda, seluas 40 hektar. Pengelola PPHT mengatakan, pihaknya tak berdaya karena izin penambangan dikeluarkan Kementerian Kehutanan, dengan alasan sebelum Menteri Kehutanan menetapkan batas Tahura dengan Surat Keputusan Nomor 577 Tahun 2009, lokasi itu berada di luar kawasan hutan konservasi tersebut.

Yang lebih menyedihkan, lanjut Chandradewana Boer, Direktur PPHT Unmul, lahan Unmul lainnya seluas 51.000 hektar, yang dirancang untuk pembangunan Kompleks Laboratorium Rumah Kaca di Telukdalam, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, pun tak lepas dari ketamakan penambang. Pelakunya, kontraktor yang dipercaya untuk membangun proyek tersebut dan tak memiliki kuasa pertambangan.

”Kami memercayakan proyek itu kepada dua kontraktor. Ternyata, ketika mereka mengetahui kandungan batu bara di lahan itu cukup banyak dan bagus, mereka menggarap tambangnya lebih dulu,” kata Boer, Sabtu (23/1).

Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Udiansyah, mengungkapkan, kondisi Hutan Lindung Pegunungan Meratus lebih mengkhawatirkan lagi. Di hutan lindung tersebut tak cuma ada banyak pemilik kuasa pertambangan, tetapi juga bertebaran lubang besar yang batu baranya sudah habis dikeruk.

”Di kawasan tersebut terdapat 299 kuasa pertambangan. Artinya, ada 299 pihak yang diberi izin menambang batu bara di Hutan Lindung Pegunungan Meratus. Ironisnya, hanya beberapa kuasa pertambangan saja yang meminta izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan,” kata Udiansyah.

Izin lainnya, lanjut Udiansyah, dikeluarkan bupati setempat karena yang bersangkutan tidak tahu bahwa lokasi yang diizinkan untuk ditambang itu berada di kawasan hutan lindung.

Menurut catatan Kompas, selama enam tahun terakhir (sampai 2009), di empat provinsi di Kalimantan saat ini ada 2.047 kuasa pertambangan. Kaltim berada di peringkat pertama yang mengeluarkan kuasa pertambangan, yakni 1.180 kuasa pertambangan, disusul Kalsel (400- 578), Kalimantan Tengah (427), dan Kalimantan Barat (40).

Jika luas wilayah satu kuasa pertambangan sekitar 2.000 hektar, lahan yang sudah dikapling untuk pertambangan itu berarti mencapai 4,09 juta hektar, lebih luas dari daratan Provinsi Kalsel yang 3,75 hektar.

Tentang banyaknya kuasa pertambangan di Kaltim, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, pihaknya tak bisa berbuat banyak mengingat Menteri Kehutanan dan kepala daerah tingkat dua (bupati/wali kota) memiliki kewenangan mengeluarkan kuasa pertambangan.

Pernyataan Awang setidaknya diperkuat oleh fakta penambangan batu bara di Samarinda. Saat ini sekitar 70 persen luas wilayah kota itu (71.823 hektar) habis dikapling sebagai kawasan pertambangan. Sebagian sudah jadi kolam raksasa yang ditinggalkan pengeruknya. Jika hujan turun, air pun memenuhi kolam tersebut, bahkan melimpah dan menggenangi permukiman.

Warga di Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda, merupakan salah satu korban pertambangan tak bertanggung jawab itu. ”Kami sudah sangat terganggu dengan penambangan batu bara di sekitar ini. Permukiman kami

hanya sekitar 25 meter dari lubang bekas tambang. Akibat lubang itu, perumahan kami sering diterjang banjir,” kata Karnain, Ketua RT 25, Kelurahan Sempaja Selatan.

Petani Desa Separi dan Bangunrejo, di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, pun mengaku pertanian mereka terganggu oleh aktivitas pertambangan. ”Kami sering gagal panen karena air limbah tambang (batu bara) masuk ke sawah kami. Karena itu, tidak sedikit petani di sini yang akhirnya menjual sawah mereka ke pemegang kuasa pertambangan. Tapi, harga jualnya lumayan tinggi,” papar beberapa petani Desa Separi yang ditemui Kompas pekan lalu.

Mereka juga mengatakan, tak sedikit lahan sawah yang dibeli pemegang kuasa pertambangan itu kini sudah berubah jadi kawasan pertambangan batu bara.

Di Kalsel, selain Hutan Lindung Pegunungan Meratus, kerusakan parah akibat penambangan batu bara ditemukan di sejumlah desa. Sebagian jalan di beberapa desa, misalnya, hilang ”tertelan” kawasan tambang. Bahkan, ada jalan yang sudah diaspal terpotong akibat jalan itu digarap pemegang kuasa pertambangan (dijadikan lahan galian tambang).

Warga yang tinggal di Kecamatan Lok Paikat (antara Desa Parandakan menuju ke Miawa) dan Kecamatan Siani, Kabupaten Tapin, merupakan contoh korban ”jalan hilang”. Kini mereka tak lagi bebas berlalu lalang di jalan desa akibat sebagian jalan terkait sudah masuk kawasan tambang.

Di jalan-jalan seperti itu warga selain harus berhati-hati terhadap kendaraan proyek yang lewat, tak jarang pula mereka mesti minta izin untuk lewat. Hal serupa terjadi di Kecamatan Pengaron dan Sungai Pinang di Kabupaten Banjar.

Suria Dharma dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unmul, mengatakan, selain lingkungan rusak, pertambangan terbuka (open pit) seperti yang banyak ditemukan di Kaltim, juga mengubah fungsi kawasan. ”Pembabatan hutan memusnahkan 7-12 ton karbon organik setiap tahun. Karbon itu amat diperlukan mikroorganisme untuk keberlangsungan suatu ekosistem,” katanya mengingatkan.

Pernyataan senada dikemukakan Udiansyah. Menurut dia, penambangan batu bara yang berlangsung selama ini tak banyak memajukan daerah. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai 22 triliun (untuk produksi 80-100 ton per tahun), yang menjadi pendapatan asli daerah tidak mencapai Rp 1 triliun,” ujarnya.

Meski demikian, kalangan pengusaha tetap berpendapat bahwa yang mereka kerjakan memberi efek positif. ”Tambang menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi warga, seperti munculnya warung dan jasa sewa tempat tinggal,” kata Maskur Achmad, Manajer Proyek PT Satria Bahana Sarana, kontraktor pertambangan batu bara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. (BRO/AHA/WER/FUL)

Tuesday, January 26, 2010

Tetap Gelap di Lokasi Dekat Jantung Tambang

Selasa, 26 Januari 2010 | 03:08 WIB

Oleh Defri Werdiono dan M Syaifullah

Punya sumber energi melimpah, tetapi tidak kebagian energi. Inilah ironi Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, yang memiliki hamparan gunung-gemunung batu bara dengan jumlah tiada terbilang banyaknya.

Tumpukan padi menggunung di atas altar sesaji saat memasuki ruang tengah Balai Adat Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (12/1). Seratusan pasang mata para damang, pemuka masyarakat, dan warga Dayak Meratus yang mengelilingi gunungan padi itu seolah tak berkedip.

Mereka bukan sedang menggelar ritual aruh ganal, yakni syukuran panen padi, tetapi menatap layar di sudut dalam balai. Ini sesuatu yang baru. Layar itu mempertontonkan saat warga membangun pembangkit tenaga listrik mikrohidro (PLTMH) di dekat kampung mereka. Penyediaan listrik bertenaga air dari Hutan Lindung Buntasan inilah yang mereka syukuri.

Ucapan syukur pantas diucapkan karena daerah mereka adalah salah satu desa yang puluhan tahun gelap. Listrik PLN tak menyentuh Haratai. Selama ini, masyarakat menikmati penerangan dari genset atau solar sel bantuan pemerintah. PLTMH yang dinamai Buntasan itu kini menjadi jawaban.

Ironis memang! Pegunungan Meratus yang mengandung jutaan ton sumber energi berupa batu bara tidak bisa menyediakan penerangan bagi masyarakat setempat. Negara lebih memilih membawa batu bara di sana keluar, tanpa memedulikan krisis listrik di Kalsel.

Dinas Pertambangan dan Energi Kalsel mencatat, ada 222 desa yang belum teraliri listrik di daerah ini. Warga yang dibekap gelap ini hanya bisa menyaksikan cahaya benderang dari lubang-lubang tambang yang terus dikeruk selama 24 jam.

”Sebelum ada listrik mikrohidro, kami memakai solar sel. Itu pun hanya malam hari dengan satu lampu neon karena kapasitasnya kurang dari 100 watt,” ujar Sumartono, warga Haratai. Ketiadaan listrik juga dirasakan warga desa lain. Udin Samprong, Kepala Desa Kamawakan, mengungkapkan, sebagian warganya terpaksa memakai genset untuk penerangan. Akibatnya, harga bahan bakar, seperti premium, melambung. Di tingkat eceran mencapai 8.000 per liter, normalnya Rp 4.500 per liter.

”Itu pun gensetnya tidak bisa hidup semalaman karena penghasilan warga terbatas. Biasanya nyala lima jam,” kata Udin.

Pegunungan Meratus mencakup sembilan dari 13 kabupaten/kota di Kalsel dengan luas mencapai 1,6 juta hektar. Hutan alam yang masih bertahan kurang dari 500.000 hektar.

Kini, pegunungan yang berada pada ketinggian 100 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut itu justru menjadi ajang terbesar penambangan batu bara dan bijih besi. Hanya dua di antara sembilan kabupaten di Kalsel yang belum mengeluarkan izin kuasa pertambangan, yakni Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah

Sudah ratusan izin penambangan yang dikeluarkan untuk mendapatkan emas hitam itu di sana. Tidak heran bila sebagian kawasan pegunungan rusak.

Jantung ekologi

Warga Kecamatan Loksado hanyalah sedikit di antara daerah di Kalsel yang jelas-jelas menolak penambangan batu bara dan bijih besi. Mereka lebih peduli menyelamatkan hutan.

Tidak mengherankan jika Laksado menjadi andalan Kalsel, utamanya sebagai daerah incaran para wisatawan, termasuk dari mancanegara. Di sini, mereka bisa menjelajah hutan hujan tropis, hidup bersama masyarakat Dayak Meratus, dan menikmati bamboo rafting.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Hegar Wahyu Hidayat menilai Loksado jantung ekologi Pegunungan Meratus, yang kelestariannya sampai saat ini masih terjaga. Salah satu potensi yang menghidupinya adalah keberadaan sungai-sungai. Di Haratai, misalnya, air dari empat sungai dari Gunung Kayuan dialirkan ke rumah generator guna memutar turbin. Hasilnya, daya listrik mikrohidro itu mencapai 17.000 watt.

Kini setidaknya 120 keluarga telah menikmati listrik tersebut, dengan daya masing-masing 350 watt per rumah. Pembangkit serupa berkekuatan dua kali lipat lebih besar dari PLTMH Buntasan juga dibangun pemerintah, tetapi tidak berjalan karena masih dalam perbaikan.

Jika dua PLTMH ini berjalan baik, Haratai tentu mendapat pasokan listrik cukup besar untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi setempat. ”Di Loksado ada 48 permukiman komunitas adat Dayak. Lebih dari separuhnya belum berlistrik,” kata DP Jatmiko, Direktur Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia.

Gubernur Kalsel Rudy Ariffin mengakui, untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah pedalaman yang memiliki aliran sungai cukup banyak, penyediaan listrik mikrohidro seperti di Haratai merupakan solusi tepat. Jika saja pengakuan ini ditindaklanjuti dengan penyediaan listrik mikrohidro lebih banyak lagi, tidak menutup kemungkinan ratusan desa di Kalsel akan menjadi terang. Selain bisa memacu kemandirian dalam penyediaan listrik, hutan dan lingkungannya pun akan terjaga.

Keadaan serupa, tetapi tak sama, dialami Desa Mukti Jaya dan Rantau Makmur di Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Karena listrik dari PLN belum tersedia, sejak dua tahun terakhir mereka menikmati listrik dari pengusaha setempat yang menyediakan mesin pembangkit berbahan bakar solar.

Meski tidak semurah mendapat listrik mikrohidro, warga tetap bersedia merogoh kocek cukup dalam, yakni Rp 200.000 per bulan, untuk penerangan sejak petang hingga subuh. ”Bagi yang ingin pakai listrik siang hari, warga beli genset dengan biaya tambahan,” kata Poniso Suryo, Camat Rantau Pulau.

Sebanyak 2.000 warga di kedua desa itu tentu lebih beruntung karena lima desa transmigran lainnya dengan penduduk mencapai 5.500 jiwa, sejak ditempatkan tahun 1994, hingga kini belum menikmati listrik. Mereka terpaksa beli genset seharga Rp 3 juta dengan kemampuan 13 daya kuda. Lima desa itu bagian dari 100 desa di Kutai Timur yang masih gelap.

Padahal, sebagian desa berada di sekitar areal tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang memiliki pasokan listrik 19 megawatt untuk memproduksi 35 juta ton batu bara per tahun. Namun, cahaya dari tambang itu mereka nikmati hanya lewat tatapan mata dari kampung mereka yang didekap gelap.

Mereka memang berada di jantung tambang, tetapi tidak menikmati listrik hasil eksplorasi sumber daya alam di sekitar tempat mereka bermukim.

(Ambrosius Harto Manumoyoso/A Handoko)