Tuesday, January 26, 2010

Tetap Gelap di Lokasi Dekat Jantung Tambang

Selasa, 26 Januari 2010 | 03:08 WIB

Oleh Defri Werdiono dan M Syaifullah

Punya sumber energi melimpah, tetapi tidak kebagian energi. Inilah ironi Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, yang memiliki hamparan gunung-gemunung batu bara dengan jumlah tiada terbilang banyaknya.

Tumpukan padi menggunung di atas altar sesaji saat memasuki ruang tengah Balai Adat Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (12/1). Seratusan pasang mata para damang, pemuka masyarakat, dan warga Dayak Meratus yang mengelilingi gunungan padi itu seolah tak berkedip.

Mereka bukan sedang menggelar ritual aruh ganal, yakni syukuran panen padi, tetapi menatap layar di sudut dalam balai. Ini sesuatu yang baru. Layar itu mempertontonkan saat warga membangun pembangkit tenaga listrik mikrohidro (PLTMH) di dekat kampung mereka. Penyediaan listrik bertenaga air dari Hutan Lindung Buntasan inilah yang mereka syukuri.

Ucapan syukur pantas diucapkan karena daerah mereka adalah salah satu desa yang puluhan tahun gelap. Listrik PLN tak menyentuh Haratai. Selama ini, masyarakat menikmati penerangan dari genset atau solar sel bantuan pemerintah. PLTMH yang dinamai Buntasan itu kini menjadi jawaban.

Ironis memang! Pegunungan Meratus yang mengandung jutaan ton sumber energi berupa batu bara tidak bisa menyediakan penerangan bagi masyarakat setempat. Negara lebih memilih membawa batu bara di sana keluar, tanpa memedulikan krisis listrik di Kalsel.

Dinas Pertambangan dan Energi Kalsel mencatat, ada 222 desa yang belum teraliri listrik di daerah ini. Warga yang dibekap gelap ini hanya bisa menyaksikan cahaya benderang dari lubang-lubang tambang yang terus dikeruk selama 24 jam.

”Sebelum ada listrik mikrohidro, kami memakai solar sel. Itu pun hanya malam hari dengan satu lampu neon karena kapasitasnya kurang dari 100 watt,” ujar Sumartono, warga Haratai. Ketiadaan listrik juga dirasakan warga desa lain. Udin Samprong, Kepala Desa Kamawakan, mengungkapkan, sebagian warganya terpaksa memakai genset untuk penerangan. Akibatnya, harga bahan bakar, seperti premium, melambung. Di tingkat eceran mencapai 8.000 per liter, normalnya Rp 4.500 per liter.

”Itu pun gensetnya tidak bisa hidup semalaman karena penghasilan warga terbatas. Biasanya nyala lima jam,” kata Udin.

Pegunungan Meratus mencakup sembilan dari 13 kabupaten/kota di Kalsel dengan luas mencapai 1,6 juta hektar. Hutan alam yang masih bertahan kurang dari 500.000 hektar.

Kini, pegunungan yang berada pada ketinggian 100 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut itu justru menjadi ajang terbesar penambangan batu bara dan bijih besi. Hanya dua di antara sembilan kabupaten di Kalsel yang belum mengeluarkan izin kuasa pertambangan, yakni Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah

Sudah ratusan izin penambangan yang dikeluarkan untuk mendapatkan emas hitam itu di sana. Tidak heran bila sebagian kawasan pegunungan rusak.

Jantung ekologi

Warga Kecamatan Loksado hanyalah sedikit di antara daerah di Kalsel yang jelas-jelas menolak penambangan batu bara dan bijih besi. Mereka lebih peduli menyelamatkan hutan.

Tidak mengherankan jika Laksado menjadi andalan Kalsel, utamanya sebagai daerah incaran para wisatawan, termasuk dari mancanegara. Di sini, mereka bisa menjelajah hutan hujan tropis, hidup bersama masyarakat Dayak Meratus, dan menikmati bamboo rafting.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Hegar Wahyu Hidayat menilai Loksado jantung ekologi Pegunungan Meratus, yang kelestariannya sampai saat ini masih terjaga. Salah satu potensi yang menghidupinya adalah keberadaan sungai-sungai. Di Haratai, misalnya, air dari empat sungai dari Gunung Kayuan dialirkan ke rumah generator guna memutar turbin. Hasilnya, daya listrik mikrohidro itu mencapai 17.000 watt.

Kini setidaknya 120 keluarga telah menikmati listrik tersebut, dengan daya masing-masing 350 watt per rumah. Pembangkit serupa berkekuatan dua kali lipat lebih besar dari PLTMH Buntasan juga dibangun pemerintah, tetapi tidak berjalan karena masih dalam perbaikan.

Jika dua PLTMH ini berjalan baik, Haratai tentu mendapat pasokan listrik cukup besar untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi setempat. ”Di Loksado ada 48 permukiman komunitas adat Dayak. Lebih dari separuhnya belum berlistrik,” kata DP Jatmiko, Direktur Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia.

Gubernur Kalsel Rudy Ariffin mengakui, untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah pedalaman yang memiliki aliran sungai cukup banyak, penyediaan listrik mikrohidro seperti di Haratai merupakan solusi tepat. Jika saja pengakuan ini ditindaklanjuti dengan penyediaan listrik mikrohidro lebih banyak lagi, tidak menutup kemungkinan ratusan desa di Kalsel akan menjadi terang. Selain bisa memacu kemandirian dalam penyediaan listrik, hutan dan lingkungannya pun akan terjaga.

Keadaan serupa, tetapi tak sama, dialami Desa Mukti Jaya dan Rantau Makmur di Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Karena listrik dari PLN belum tersedia, sejak dua tahun terakhir mereka menikmati listrik dari pengusaha setempat yang menyediakan mesin pembangkit berbahan bakar solar.

Meski tidak semurah mendapat listrik mikrohidro, warga tetap bersedia merogoh kocek cukup dalam, yakni Rp 200.000 per bulan, untuk penerangan sejak petang hingga subuh. ”Bagi yang ingin pakai listrik siang hari, warga beli genset dengan biaya tambahan,” kata Poniso Suryo, Camat Rantau Pulau.

Sebanyak 2.000 warga di kedua desa itu tentu lebih beruntung karena lima desa transmigran lainnya dengan penduduk mencapai 5.500 jiwa, sejak ditempatkan tahun 1994, hingga kini belum menikmati listrik. Mereka terpaksa beli genset seharga Rp 3 juta dengan kemampuan 13 daya kuda. Lima desa itu bagian dari 100 desa di Kutai Timur yang masih gelap.

Padahal, sebagian desa berada di sekitar areal tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang memiliki pasokan listrik 19 megawatt untuk memproduksi 35 juta ton batu bara per tahun. Namun, cahaya dari tambang itu mereka nikmati hanya lewat tatapan mata dari kampung mereka yang didekap gelap.

Mereka memang berada di jantung tambang, tetapi tidak menikmati listrik hasil eksplorasi sumber daya alam di sekitar tempat mereka bermukim.

(Ambrosius Harto Manumoyoso/A Handoko)