Rabu, 13 Agustus 2008 | 17:36 WIB
BANJARMASIN, RABU - Provinsi Kalsel yang memiliki kekayaan bahan tambang batu bara justru selama ini tidak mendapatkan keuntungan memadai dan lebih banyak buntung. Prof H Abdul Djebar Hapip, Guru besar FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin pada apresiasi buku tokoh pers Kalsel "Djok Sang Penakluk Dari Sungai Mentaya", Rabu secara khusus menyoroti multi dampak eksploitasi besar-besaran tambang batu bara di Kalsel.
"Hal perlu perlu diaktulisasi dari cita-cita seorang Djok Mentaya bagaimana generasi penerus di daerah ini mampu memperjuangkan kebijakan pembangunan yang berpihak dan untuk kesejahteraan masyarakat," ucapnya.
Disebutkan dalam dekade terakhir pertambangan batu bara ramai di Kalsel dan hasil tambangnya banyak diangkut keluar, untuk Kalsel sendiri hampir tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan jumlah tambang yang dieksploitasi cukup besas.
Menurut mantan aktivis eksponen Angkatan 66 dari Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) itu, suasana serta situasi dan kondisi di Kalsel sekarang kelihatannya hampir tak beda dengan masa 1966.
"Kalau pada masa 66, beras Dolog dikumpulkan, kemudian dibawa dan dijual ke Jawa, sehingga penduduk Kalsel yang terdiri dari 10 Kabupaten/Kotamadya ketika itu jadi kekurangan beras," katanya.
Tapi sekarang potensi tambang batu bara Kalsel yang cukup besar dikeruk dan dibawa keluar daerah, sementara bagi provinsi ini hanya melihat bekas-bekas galian yang menganga lebar dan dalam, serta kerusakan alam yang terjadi.
Menurut mantan aktivis HMI yang juga penyusun Kamus Bahasa Daerah Banjar, Kalsel itu meminta kepedulian semua pihak terutama yang berkompeten dan terkait usaha pertambangan batu bara agar peduli terhadap lingkungan serta perekonomian daerah dan penduduk setempat.
"Tanpa kepedulian, pada akhiranya masyarakat bisa makin menderita dan lingkungan kian tambah rusak, sehingga apa lagi yang diharapkan bagi generasi mendatang," demikian Abd. Djebar Hapip.