06 August, 2008 06:59:00
Enam perusahaan tambang batubara (PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia dan PT BHP Kendilo Coal) menahan sebagian pembayaran dana hasil penjualan batubara (DHPB) senilai Rp7 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari tunggakan mulai 2001 hingga 2005 senilai Rp3,8 triliun dan tahun 2005 sampai 2007 sebanyak Rp3,2 triliun.
Ketua Umum APBI, Jeffrey Mulyono di Jakarta, Rabu, mengatakan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah memerintahkan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) menunda penagihannya sampai adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Namun, nyatanya keluar pencekalan berdasarkan keputusan PUPN yang sebenarnya masih ditangguhkan pelaksanannya oleh PTUN Jakarta itu. Jadi, keputusan pencekalan yang dikeluarkan Menkeu merupakan tindakan melawan hukum," katanya.
Menurut Jeffrey, pernyataannya merupakan sikap bersama enam perusahaan yakni PT Berau Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal.
Ke-6 perusahaan tersebut merupakan pemegang kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama yang ditandatangani sekitar tahun 1980-an.
Kontrak tersebut menyebutkan perusahaan terbebas dari pengenaan pajak-pajak baru (lex specialist). Atau, kalaupun terkena pajak akan diberi penggantian (reimbursement).
Pada 22 Desember 2000, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 144 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Di sana disebutkan, batubara termasuk barang yang tidak dikenakan PPN.
Pemberlakuan PP itu memang membuat perusahaan batubara tidak terkena PPN keluaran. Namun dalam proses produksi dikenakan PPN masukan. Padahal, sesuai kontrak PKP2B, perusahaan tidak terkena PPN masukan. Akibatnya, perusahaan meminta penggantian sesuai ketentuan yang tercantum dalam kontrak PKP2B.
"Namun, pemerintah tidak melaksanakan penggantian tersebut, sehingga pengusaha menahan sebagian pembayaran royalti sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata," kata Jeffrey.
JAKARTA - Perusahaan tambang yang dituduh belum membayar pajak, melakukan perlawanan. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai pencekalan 14 pimpinan perusahaan batubara merupakan tindakan melawan hukum.
Atas tindakan pengusaha itu, pemerintah melalui PUPN mengeluarkan keputusan paksa penagihan pada Juli 2007. Selanjutnya, pengusaha juga mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta pada September 2007.
"Lalu, keluarlah putusan Hakim PTUN Jakarta tertanggal 21 September 2007 yang meminta PUPN menghentikan penagihannya sampai ada keputusan hukum pengadilan yang berkekuatan tetap," kata Jeffrey. Atas putusan PTUN tersebut, pada 17 April 2008, PUPN mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
"Dengan permohonan banding itu berarti sampai saat ini penagihan tetap dalam status penangguhan dan tidak dibenarkan keluar keputusan pencekalan tersebut," katanya.
Ditjen Imigrasi mengumumkan pencekalan ke luar negeri terhadap 14 pimpinan perusahaan batubara selama enam bulan terhitung mulai 1 Agustus 2008 sampai 27 Januari 2009.
Pencekalan tersebut atas dasar Keptusan Menkeu tertanggal 28 Juli 2008 tentang Penetapan Pencegahan Debitor Piutang Negara untuk Bepergian ke Luar Wilayah RI.
Ke-14 pimpinan perusahaan adalah Edwin Soerjadjaja dari PT Adaro Indonesia dan Ari Saptari Hudaya, Kenneth Patrick Farrel, Abdullah Popo Parulian, Nalinkant Amratlal Rathod, dan Hanibal S Anwar dari PT Kaltim Prima Coal.
Selanjutnya, Kazuya Tanaka, Endang Ruchiyat, Ferry Purbaya Wahyu, Edi Junianto Soebari, dan Roslan Perkasa Roslani dari PT Arutmin Indonesia, Jeffrey Mulyono dari PT Berau Coal, Mualin Tantomo dari PT Libra Utama Intiwood, dan Hendra Tjoa dari PT Citra Dwipa Finance. inc/mb07
Mereka Membantah
JAKARTA - Para petinggi perusahaan batubara yang dicekal ramai-ramai membantah. Sebagian mengaku sudah tak terkait dengan perusahaan batubara yang 'bermasalah' dengan piutang negara, sebagian lagi mengaku belum menerima surat pencekalan.
Setidaknya tiga orang yang dicekal menegaskan sudah tidak terkait dengan perusahaan yang bersangkutan. Mereka adalah Jeffrey Mulyono yang ternyata telah mundur dari posisi Presdir Berau Coal sejak tahun 2006.
Demikian pula Kazuya Tanaka yang menyatakan telah mundur sebagai Direktur Arutmin. "Saya sudah lama tidak menjadi direktur Arutmin," jelas Kazuya melalui pesan singkatnya.
Hal serupa disampaikan oleh Presiden Direktur Recapital Advisor Roslan P Roslani, yang sebelumnya dinyatakan dicekal karena menjadi komisaris PT Arutmin.
"Dengan ini ditegaskan bahwa saya sudah lama tidak memiliki hubungan dengan PT Arutmin Indonesia, sebagaimana tercantum dalam daftar yang diberitakan oleh media massa," tegas Roslan dalam siaran persnya, Rabu.
Ditegaskan juga, Roslan kini sedang melakukan klarifikasi ke Departemen Keuangan dan berharap mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah.
Hal senada sebelumnya juga dilakukan oleh Jeffrey Mulyono. Sayangnya, Jeffrey tidak mendapatkan tanggapan yang baik, justru dipingpong sana sini oleh Depkeu.
Sementara Presiden Direktur BUMI, Ari Saptari Hudaya menyatakan belum menerima surat pernyataan resmi dari Dirjen Imigrasi terkait pencekalan tersebut.
"Sampai dengan surat konfirmasi ini dibuat, perseroan belum menerima pemberitahuan dari instansi terkait perihal pencekalan yang dimaksud," ujar Presiden Direktur BUMI, Ari Saptari Hudaya.
Presiden Komisaris KPC, Nalinkant A Rathod ketika dihubungi juga menolak berkomentar dan malahan sedang berada di luar negeri.
"Hubungi kantor saja. Saya sedang di luar negeri," ujar Nalinkant.
Dirjen Kekayaan Negara Depkeu, Hadiyanto sebelumnya menegaskan, pihaknya mendapatkan nama-nama yang memiliki piutang negara tersebut dari Departemen ESDM.
Atas daftar itu, Depkeu mengajukan pencekalan ke Ditjen Imigrasi. Namun menurut Hadiyanto, nama-nama tersebut seharusnya tidak dipublikasikan dan bersifat rahasia. qom/mb07