Kamis, 28 Juni 2007
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara di Dewan Perwakilan Rakyat sudah tiga bulan molor dari jadwal. Ternyata, membuat rambu-rambu baru dalam pengelolaan usaha pertambangan Indonesia ke depan tidak mudah. Banyak kepentingan yang membuat perumusan kebijakan pertambangan ini diwarnai dengan tarik ulur.
Industri pertambangan di Indonesia sedang mendapat sorotan. Dalam lima tahun terakhir, banyak masalah yang muncul terkait dengan isu lingkungan, perambahan hutan, dan manfaat langsung kepada masyarakat sekitar yang dinilai tidak seimbang dengan hasil yang dikeruk perusahaan tambang.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan yang sudah terlalu uzur dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan industri pertambangan saat ini.
Data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat penerimaan negara dari pertambangan umum tahun 2006 sebesar Rp 29 triliun dengan nilai investasi sekitar Rp 1,3 triliun.
Ketua Komisi VII DPR Agusman Effendi mengatakan, ada dua isu utama yang menjadi perdebatan sengit dalam pembahasan RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) di panitia kerja.
Isu pertama menyangkut usulan Fraksi Partai Golkar yang menginginkan adanya semacam bentuk kontrak karya untuk mengakomodasi kepentingan investasi tambang dalam jumlah besar. Sementara sesuai dengan amanat UU Otonomi Daerah, kewenangan pengelolaan tambang tidak lagi dipegang pemerintah, tetapi diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Isu kedua mengenai aturan peralihan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menginginkan seluruh kontrak pertambangan yang telah ada tunduk pada UU baru tersebut.
Tidak mengenal kontrak
Mengacu pada RUU Minerba, pengelolaan tambang tidak lagi mengenal istilah kontrak, yang ada hanyalah izin. Terdapat dua jenis perizinan, yaitu izin usaha pertambangan (IUP) yang menyangkut seluruh wilayah terbuka secara umum dan izin kuasa pertambangan (IKP) yang mengatur usaha pertambangan di wilayah yang termasuk pencadangan negara.
IUP bersifat lebih khusus dan akan diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden. Jika istilah kontrak mengacu pada kesepakatan perikatan antara dua pihak, maka dengan rezim perizinan posisi pemerintah di atas investor. Sebagian besar investor tambang tidak nyaman dengan istilah rezim perizinan ini.
Setidaknya, perusahaan tambang Rio Tinto yang mengincar tambang nikel di Lasamphala, Sulawesi Selatan, berusaha mempercepat negosiasi untuk mendapatkan kontrak karya sebelum RUU Minerba diberlakukan.
Dalam seminar bertema "Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan", akhir Mei lalu, Direktur Utama PT International Nickel Indonesia (Inco) Arif Siregar mengatakan, istilah izin mencerminkan komunikasi yang satu arah.
Izin bisa dicabut sewaktu- waktu, sementara perusahaan tambang membutuhkan jaminan jangka panjang atas investasi mereka. Contoh ketidakpastian yang dialami sejumlah perusahaan tambang adalah yang terkait dengan aturan kehutanan. Perusahaan tambang yang wilayah kerjanya mencakup wilayah hutan harus mengajukan perpanjangan aturan pinjam pakai setiap tahun.
Masalah muncul ketika lahan yang difungsikan sebagai hutan bertambah sehingga terjadi tumpang tindih dengan wilayah tambang. Perusahaan tambang pun terkena isu perambahan hutan lindung.
Direktur Pengusahaan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral MS Marpaung mengatakan, kasus tumpang tindih dengan lahan kehutanan merupakan fakta buruknya koordinasi antardepartemen yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.
Bagi pemerintah kabupaten dan kota, bentuk izin lebih menguntungkan mereka. Sebab, perizinan bakal menjadi sumber pendapatan baru bagi daerah. Begitu RUU Minerba disahkan, maka 440 kabupaten dan kota di Indonesia berhak mengeluarkan izin pertambangan.
Namun, kewenangan ini dikhawatirkan akan memunculkan masalah baru. "Bayangkan, sejak otonomi daerah saja, diduga ada sekitar 3.000 izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dan kota," ungkap Marpaung.
Mengalami kemunduran
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Irwandy Arif mengatakan, industri pertambangan Indonesia sebenarnya sedang mengalami kemunduran.
Survei yang dilakukan PricewaterhouseCoopers menunjukkan, investasi eksplorasi yang dikeluarkan perusahaan tambang di Indonesia merupakan yang terkecil dibandingkan dengan negara lain.
"Sekarang orang-orang ribut mau nasionalisasi, padahal tanpa itu pun industri tambang bakal kolaps 10-15 tahun lagi apabila tidak ada pembenahan," ujar Irwandy.
Jika usulan aturan peralihan diterima, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi investasi jangka panjang. Sebab, ada sejumlah pasal dalam RUU Minerba yang wajib dipenuhi perusahaan pertambangan.
Kewajiban itu antara lain menyetor 10 persen bagian keuntungan bersih kepada pemerintah dan keharusan membangun pabrik pengolahan hasil tambang mineral di dalam negeri.
DPR mengusulkan agar investor tambang dengan nilai investasi di atas 250 juta dollar AS dikenai pajak sebesar 10 persen dari keuntungan bersih. Pajak tersebut akan mulai diterapkan setelah UU Minerba diberlakukan.
Anggota Panitia Kerja RUU Minerba Rafiuddin Hamarung mengatakan, penerapan dividen akan mengacu pada bagi hasil migas. Dividen tersebut nantinya akan dibagi lagi antara pemerintah pusat dan daerah.
Panitia Kerja mengusulkan porsi pembagian 60 persen untuk pusat dan 40 persen untuk daerah. Selain dividen, perusahaan juga tetap dikenai pungutan royalti. (DOTY DAMAYANTI)