Monday, 18 June 2007 01:10
Otonomi daerah dengan landasan Undang-Undang (UU) No 22/1999 sebagaimana direvisi dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) telah menimbulkan persoalan serius dalam pertambangan umum, tak terkecuali pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan (Kalsel).
Oleh: Ir H Asfihani
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Demokrat Dapil Kalsel
Bagaimana tidak, sebelum adanya otonomi, segala regulasi yang terkait dengan pertambangan, implementasi, dan pengawasannya berada di tangan pemerintah pusat. Namun kini, ada gejala kekosongan hukum di bidang pertambangan. Di satu sisi, Pemda belum menyusun Perda terkait pertambangan, sementara di sisi lain peraturan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah pusat diabaikan begitu saja. Dalam situasi seperti ini, masyarakat sangat dirugikan, karena seakan-akan tidak mempunyai ‘induk semang’ yang memberikan perlindungan dari segala hal yang merugikan. Jika terjadi kerusakan lingkungan dan segala macam dampak negatifnya, pemerintah pusat lepas tangan, sementara Pemda diduga karena lobi intensif pengusaha belum merasa mempunyai perisai hukum untuk melakukan tindakan tegas terhadap pemegang Kuasa Pertambangan (KP) dan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batu bara ( PKP2B).
Anehnya, di masa transisi ini, Pemda terkesan mengabaikan, melupakan, atau pura-pura tidak tahu adanya peraturan yang dirilis oleh pemerintah pusat yang seharusnya tetap berlaku sepanjang belum ada peraturan baru yang menggantinya. Peraturan pemerintah kolonial saja masih digunakan, kenapa peraturan pemerintah sendiri justru diabaikan.
Secara hukum, sesuai dengan Pasal 7 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hirarki peraturan di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), UU, Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Daerah (Perda). Dengan begitu, peraturan pemerintah pusat tetap berlaku, walaupun diterbitkan sebelum adanya UU No 22/1999 dan revisinya UU No 32/2004 tentang Pemda.
Ketentuan Hukum
Dalam masalah pertambangan, setidak-tidaknya ada tiga UU, satu PP, satu Keputusan Menteri yang harus menjadi landasan hukum, yaitu UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32/2004 tentang Pemda, PP No 75/2001 tentang Pelaksanaan UU No 11/1967, dan Keputusan Menteri Energi dan Sumbedaya Alam No 1211. K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan.
Dalam hirarki perundangan yang disebutkan tadi, Keputusan Menteri memang tidak masuk di dalamnya. Namun karena keputusan menteri ini terkait erat dengan implementasi UU dan PP yang ada, maka keputusan menteri ini tetap mempunyai kekuatan hukum, karena kalau diabaikan akan terjadi kekosongan hukum yang bisa memicu terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan merupakan persoalan serius, karena merupakan pelanggaran berat terhadap UUD 1945 sendiri dan UU di bawahnya. Apalagi dalam Pasal 33 huruf (a) UU No 11/1967 secara tegas dinyatakan bahwa keputusan menteri yang mendukung realisasi UU harus juga dipatuhi.
Idealnya, keputusan menteri tadi diganti dengan Perda, sehingga lebih sesuai dengan semangat otonomi daerah. Namun selama Perda sejenis belum ada, maka keputusan menteri tadi harus dilaksanakan, agar Pemda tidak dijerat telah melanggar UU dan PP yang disebutkan tadi. Dalam keputusan menteri tadi dijelaskan bahwa Pemda dan pengusaha pertambangan harus berupaya mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan lingkungan di areal pertambangan, antara lain pengusaha harus mempunyai Kepala Teknik Tambang (KTT) untuk memimpin langsung di lapangan dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan perusakan lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum (pasal 4 ayat 1). Sementara pada saat yang bersamaan, Pemda harus membentuk Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang Wilayah (KPITW) dengan tugas pokok mengawasi kinerja KTT (pasal 5). Selain itu, pengusaha juga diwajibkan untuk menepatkan dana jaminan pelaksanaan reklamasi dan mendepositokan dana tersebut dalam rekening perusahaan yang bersangkutan di suatu bank yang ditunjuk oleh pemerintah (pasal 29).
Bagaimana jika Pemda dan pengusaha pertambangan tidak mematuhi ketentuan-ketentuan hukum tadi, baik UU, PP, maupun Keputusan Menteri? Jawabannya Pasal 41 UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi: "Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000. 000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)."