Selasa, 26 Mei 2009
Mengatur angkutan batubara, terutama daya muat (tonase) bukan perkara mudah. Pemprov Kalsel misalnya, pada tahun 2007 pernah membuat regulasi pembatasan muatan angkutan batubara, tidak boleh melebihi 6 ton. Awalnya berjalan lancar karena diawasi ketat. Begitu longgar, aturan pun ditabrak. Karena tak bisa diatur itulah, akhirnya tercetus gagasan untuk melakukan pelarangan angkutan batubara menggunakan jalan umum. Maka, lahirlah Perda No 2/2008.
Fitrie Ansorullah, Banjarmasin
WAKTU menunjukkan pukul 15.00 sore. Konvoi truk batubara mulai bergerak dari stockpile di puluhan titik di Kabupaten Tapin dan Banjar. Ribuan jumlahnya. Satu persatu bergerak perlahan menuju pelabuhan untuk di-loading. Ada yang menuju pelabuhan khusus Sungai Puting (Tapin), ada pula yang menuju Banjarmasin.
Barisan truk batubara tersebut seperti tak pernah istirahat. Tiap hari, jalan negara sepanjang ratusan kilometer dari Kabupaten Tapin hingga Banjarmasin dilindas truk bermuatan di atas 10 ton.
Padahal, kekuatan jalan yang dibangun di bumi Lambung Mangkurat ini hanya bisa menahan maksimal 8 ton beban. Jalan rusak? Itu sudah pasti. Sepanjang tahun, jalan tersebut tak pernah mulus. Setiap tahun dilakukan perbaikan, belum seumur jagung jalan kembali rusak. Ratusan milyar uang negara musnah digilas truk batubara. Apa yang bisa dinikmati rakyat Kalsel?
“Itu salah satu kerugian daerah dan negara. Jalan yang dibangun dengan dana tak sedikit tak bisa berumur panjang. Sedangkan kontribusi atau royalti dari hasil batubara, setahun cuma Rp 85 miliar yang diterima Kalsel. Tak sebanding dengan kerusakannya. Belum lagi, keuntungan apa yang diterima rakyat di Kalsel terhadap angkutan batubara tersebut? Tak jelas, malah lebih banyak mudharatnya,” kata Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin.
Tak cuma infrastruktur jalan, bahkan jembatan kembar di Kabupaten Banjar, Martapura I dan II, diduga terjadi retak pondasi karena berlebih-lebihannya angkutan batubara dalam hal tonase.
Gubernur Kalsel pada 2007 lalu pernah memberlakukan pembatasan tonase angkutan batubara. Tiap truk pengangkut batubara yang melintas di jalan umum, tidak boleh melebihi 6 ton.
Pada awalnya, karena dijaga ketat oleh tim terpadu, regulasi tersebut bisa berjalan baik. Begitu pengawasan mengendor, kembali para pengusaha batubara bikin ulah. Regulasi ditabrak, truk kembali mengangkut batubara dengan muatan berlebih-lebih.
“Kita seperti dipermainkan. Nah dari pada rakyat makin sengsara dan menderita, muncullah gagasan angkutan truk batubara tidak boleh lagi menggunakan jalan umum. Mereka harus bikin jalan khusus. Tapi, harus ada payung hukumnya agar mengikat. Maka, diajukanlah peraturan daerah ke DPRD Kalsel. Perda itu kemudian dikenal dengan Perda No 3/2008,” ujarnya.
Para pengusaha pertambangan batubara kaget. Keberanian Pemprov dan DPRD Kalsel yang melahirkan Perda tersebut bikin mereka tak karuan. Kembali, pemerintah daerah pun memberikan toleransi. Berdasarkan komitmen bersama semua pihak, para pengusaha diberi batas waktu 1,5 tahun untuk membangun jalan khusus. Batas akhirnya tanggal 23 Juli 2009.
Rencana pelarangan angkutan batubara menggunakan jalan umum ini akhirnya disambut suka cita, oleh hampir seluruh masyarakat di Kalsel. Mereka sudah tak sabar menanti tanggal tersebut.
Suasana aman dan nyaman berlalu lintas di sepanjang jalan antara Banjarmasin hingga Kabupaten Tabalong pun kembali menjadi mimpi warga yang akan terwujud. Maklumlah, sudah hampir 14 tahun, para pengguna ratusan kilometer jalan tersebut terganggu dengan aktivitas angkutan batubara. Mereka membayangkan, tak ada lagi debu hitam yang beterbangan, korban ditabrak truk ugal-ugalan, bising suara mesin diesel, dan jalan yang rusak parah. Akankah itu terwujud? Kita tunggu 23 Juli 2009. ***