Saturday, June 27, 2009

Kebijakan Baru Perusahaan Pertambangan

Jumat, 15 Mei 2009 | 06:22 WITA

BANJARMASIN, JUMAT - Untuk menjaga kelestarian alam, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan memberlakukan kebijakan baru terkait persetujuan komitmen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) oleh perusahaan pertambangan.

Perusahaan pertambangan --khususnya pemegang izin PKP2B-- yang mengajukan izin Amdal baru, harus menandatangai komitmen pemanfaatan lubang bekas galian setelah ditambang.

Melalui kebijakan tersebut, pemprov ingin mendapatkan jaminan dari perusahaan agar tidak meninggalkan lubang-lubang dalam bekas galian yang telantar dan malah berpotensi menimbulkan bencana alam.

Hal itu disampaikan Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalsel, Rachmadi Kurdi, Kamis (14/5). Menurut Rachmadi saat ini perusahaan pertambangan besar yang sedang mengajukan izin Amdal baru adalah PT Adaro Indoneia.

"Lubang-lubang di tambang milik PT Adaro harus bisa digunakan atau dimanfaatkan sebelum ditinggalkan. Misalnya untuk hydropower, irigasi atau air PDAM. Itu harus dilaksanakan Adaro. Kalau tidak, maka Amdal baru yang diajukan Adaro tidak disetujui pemerintah," katanya.

Selama ini, lanjut Rachmadi, lubang-lubang bekas galian pertambangan belum dikelola optimal. Kalau Adaro memenuhi syarat itu, dibolehkan meningkatkan produksi 45 juta ton per tahun.

Saat ini Adaro memiliki empat lubang, kedalamannya rata-rata 200 meter dengan total luas 15 kilometer.

"Dulu bentuknya komitmen saja. Sekarang harus ada MoU atau perjanjian hitam di atas putih yang diteken Menteri Lingkungan Hidup, gubernur, dan kepala daerah setempat," tambahnya.

Kebijakan itu tidak cuma untuk Adaro, tapi perusahaan pertambangan besar lainnya di Kalsel seperti PT Arutmin maupun Jorong Barutama Greston (JBG). Jika terealisasi, maka kebijakan tersebut akan menjadi percontohan daerah lainnya di Indonesia.

Rachmadi juga menyebutkan, beberapa waktu lalu BLH Kalsel melakukan penelitian di sejumlah perusahaan pemegang kuasa pertambangan (KP), dua di Tanahlaut, dua di Tanahbumbu, empat di Banjar dan tiga di Tapin.

Hasil pantauan, ternyata sebagian besar pengelola KP belum menjalankan kaidah operasional pertambangan dengan benar. Di antaranya air limbah tidak diolah dengan benar dan tidak ada revegetasi.

Karena BLH tidak berwenang mencampuri secara langsung, sehingga kebijakan dikembalikan ke pemerintah daerah masing-masing. Untuk itu BLH merekomendasikan kepada bupati yang di wilayahnya ada KP untuk memberikan teguran atau peringatan kepada perusahaan yang melanggar.