Monday, 05 January 2009 11:41 redaksi
BANJARMASIN - Kasus penambangan di lahan Hutan Kawasan Industri (HTI) di Tambak PPI Kecamatan Padang Batung dan Desa Ida Manggala Kecamatan Sungai Raya Hulu Sungai Selatan (HSS) yang diadukan LSM maupun perorangan, dikabarkan akan dianalisis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya baru saja dari KPK di Jakarta. Saya khususnya melaporkan dugaan tindak pidana korupsi serta pelanggaran UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, akibat penambangan yang dilakukan PT Antang Gunung Meratus (AGM) di Desa Ida Manggala, Tambak PPI dan Malutu Kecamatan Sungai Raya," ujar Zainal, aktivis asal Kandangan, Minggu (4/1).
Menurut Zainal, KPK sudah menyambut positif laporannya tersebut. "Hanya saja, berkas tersebut masih akan dilengkapi lagi dengan analisa saya secara pribadi yang nanti akan dicocokkan dengan hasil analisa KPK. Berarti, dalam waktu dekat, saya akan kembali lagi ke Jakarta," tandasnya.
Menurutnya, ia sebagai warga HSS merasa apa yang dilakukan AGM di lahan HTI sudah merugikan masyarakat luas dan berdampak buruk bagi lingkungan hidup.
"Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999, kawasan HTI jika ditambang mesti mengantongi izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Nah, selama ini, sejak 2004, izin dari Menteri Kehutanan tersebut tidak pernah ada," ucapnya.
Parahnya, ucapnya, meski tidak memiliki izin dari Menteri Kehutanan, AGM terus melakukan penambangan, di kawasan Ida Manggala. "Ironisnya, daerah penambangan AGM di kawasan HTI yang terlanjur sudah rusak adalah di Tambak PPI dan Malutu. Di sana, tak terlihat ada upaya reboisasi atau reklamasi," cetusnya.
Padahal, jika melanggar UU tersebut, maka pihak yang bertanggung jawab mesti didenda Rp5 miliar dan penjara maksimal 10 tahun.
Sementara itu, tambahnya, adanya sinyalemen korupsi disebabkan Bupati HSS justru berani memberikan rekomendasi atau dispensasi terhadap AGM untuk menambang di kawasan tersebut.
"Selain itu, AGM yang melakukan kerjasama dengan PD Sasangga Banua, perusahaan daerah HSS diduga hanya menjadi alat bagi pejabat untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompok. Dari data, berdasar surat bersama yang ditandatangani Bupati HSS, Kapolres HSS dan Dandim setempat, kawasan tambang yang juga melibatkan penambang rakyat, mesti membayar ke kas Distam HSS sebesar Rp50 ribu per rit angkutan batubara. Nah, mulai 2004, ke mana dana dan berapa saja dana itu belum jelas," katanya.
Sebelumnya juga melaporkan
Pada Agustus lalu, LSM Gabik HSS juga melaporkan kasus serupa ke KPK. Laporan tersebut setelah sekian lama belum ada tindakan yang berarti dari Mabes Polri bekerja sama dengan Polda Kalsel yang sejak 2005 mengusut kasus tersebut.
Menurut ketuanya, Syakrani alias Gus Dur, setelah diterima KPK, ternyata ada respon positif dari lembaga yang paling ditakuti koruptor itu dengan jalan menyurati Mabes Polri.
"Dalam surat yang juga kami peroleh salinannya, KPK menyurati agar Mabes Polri menindaklanjuti kasus yang pernah ditanganinya itu. Dalam hal ini, KPK akan menjadi supervisi atau mengawasi penanganan yang dilakukan Mabes Polri itu," terangnya.
Petugas KPK kepada pihaknya, lanjutnya, berjanji akan mengambil alih kasus tersebut jika Mabes Polri tidak serius juga menangani kasus yang menurut KPK sudah cukup ada indikasi penyimpangan itu.
Menurut Gus Dur, kasus tersebut bermula dari penambangan di kawasan HTI Padang Batung dan Sungai Raya oleh AGM tanpa disertai izin dari Menteri Kehutanan (Menhut). adi/mb05