Monday, 12 January 2009 10:29 redaksi
BANJARMASIN - Polda Kalsel dalam tahun 2009 diperkirakan masih berupaya melakukan sweeping terhadap penambang batubara yang melanggar Kepmenhut No 453/Kpts-II/1999. Namun, Asosiasi Pemegang Kuasa Pertambangan (KP) dan Pengusaha Tambang (Aspektam) mengklaim kalau asas yang dipakai Polda Kalsel, lemah dan tidak mengandung konsekuensi hukum.
"Saat ini, masyarakat daerah yang bergerak di bidang pertambangan dan memiliki perizinan yang sah merasa ketakutan dan terzalimi dengan adanya tindakan represif Polda Kalsel, berupa sweeping, penghentian kegiatan, penyitaan alat berat sampai penangkapan pengusaha tambang," ujar Sekretaris Aspektam, Muhammad Solikin, akhir pekan tadi.
Padahal, lanjutnya, asas hukum yang digunakan Polda Kalsel, yakni Kepmenhut No 453/Kpts-II/1999 masih bersifat kontroversial dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut Solikin, peraturan yang lebih tinggi yang dianggap bertentangan dengan Kepmenhut itu antara lain, UUD 1945 pasal 27 ayat (2) dan pasal 28D ayat (1), UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 14 ayat (2) dan pasal 15 (ayat (1), UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 77 ayat (2) beserta penjelasannya.
Kemudian, UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan pasal 26 dan pasal 27, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan pasal 15 dan pasal 16 ayat (1), (2) dan (3), pasal 19 ayat (1), (2) dan (3) serta pasal 20, PP No 32 jo No 75 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967 pasal 17 ayat (1) sampai dengan (5).
Selanjutnya, Kepmenhut 453 itu bertentangan pula dengan Kepmenhut No 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan pasal 4, pasal 7 ayat (2) dan (3), serta Kepmenhut No 399/Kpts-II/1990 jo No 634/Kpts-II/1996 tentang Pedoman Pengukuhan Kawasan Hutan pasal 14, 15 dan 16.
Ditambahkannya, amar putusan kelima Kepmenhut 453 menyebutkan bahwa Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan untuk mengatur pelaksanaan pengukuhan pada kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada amar putusan pertama. "Pertanyaannya, sudahkah hal tersebut dilaksanakan dan direalisasikan beserta bukti-buktinya sesuai ketentuan dan perundang-undangan di bidang kehutanan, sehingga Kepmenhut 453 itu layak diterapkan di masyarakat," tanyanya.
Solikin membeberkan, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 51 ayat (2) menyebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. "Sedangkan dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pada pasal 77 beserta penjelasannya disebutkan bahwa selama masa transisi selama tiga tahun sejak 2007 sampai dengan 2010, tidak dibenarkan dilakukan operasi dan tindakan penertiban secara paksa terhadap semua pemanfaatan ruang termasuk masyarakat pengusaha tambang yang telah memiliki izin," ujarnya.
Bahkan, tambahnya, dalam pasal 77 ayat (3) UU tersebut, semestinya, pengusaha yang sudah memperoleh izin kemudian dianggap tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang, diberi ganti rugi yang layak. "Mohon Polda Kalsel menjelaskan, apakah penindakan yang dilakukan tersebut apakah tidak bertentangan dengan UU No 26 Tahun 2007 tersebut," tandasnya.
Ia menyatakan, di UU No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan pasal 26 diatur apabila didapat izin kuasa pertambangan (KP) atas suatu wilayah maka kepada mereka yang berhak atas tanah wajib memperbolehkan pekerjaan pemegang KP atas tanah tersebut dengan dasar mufakat. "Bagaimana tata cara ganti rugi diatur pasal 27," jelasnya.adi/mb05