Jumat, 05 Desember 2008 12:16 redaksi
BANJARMASIN - Dit Reskrim Polda Kalsel tetap bersikukuh bahwa police line lokasi tambang milik PT Satui Bara Tama (SBT) di Satui, Tanah Bumbu (Tanbu) sudah sesuai ketentuan hukum. Sementara, kuasa hukum Par, Direktur PT SBT, Fikri Chairman SH menyatakan hal itu sebagai prematur atau terlalu dini sifatnya.
"Kita akan tetap memproses kasus penambangan tanpa izin yang sah dari Menhut ini. Makanya, langkah dalam waktu dekat ini, kita akan memanggil sejumlah pejabat terkait yang membidangi masalah kehutanan dan pertambangan di daerah Kotabaru, Tanah Bumbu dan Kalsel," ujar Dir Reskrim Polda Kalsel, Kombes Pol Machfud Arifin, Kamis (4/12).
Menurut Machfud, tindakan yang dilakukan pihaknya itu, setelah ada pelimpahan dari Mabes Polri. "Kalau Mabes Polri sudah melimpahkan kepada kita, berarti tindakan itu sudah memiliki dasar yang kuat," paparnya.
Dikatakan, sebagaimana isi Keputusan Menteri Kehutanan No 453‑II/Kpts/1999, maka kawasan yang ditambang oleh PT SBT termasuk dalam kawasan hutan, sehingga terlarang untuk ditambang, terkecuali ada izin Menhut. "Nah, sementara, mereka menambang tanpa ada izin pinjam pakai dari Menhut," tandasnya.
Par dari SBT dan Anm dari CV Aulia, bakal dijadikan tersangka, karena keduanyalah penanggung jawab masing-masing perusahaannya. Sebab, tanpa ada perintah dari keduanya, maka tak mungkin ada aktivitas penambangan ilegal tersebut.
"Jika kuasa hukum Par dari SBT beranggapan apa yang dilakukan Polda Kalsel prematur, itu hak dia. Wajar saja kalau kuasa hukum melakukan pembelaan terhadap kliennya, karena itu sudah tugasnya," ujarnya datar.
Tindakan prematur
Sementara itu, Fikri mengatakan, tindakan Polda Kalsel mem-police line tambang milik kliennya, apalagi berencana menetapkan kliennya sebagai tersangka adalah tindakan yang prematur.
"Terlalu dini jika klien saya dijadikan tersangka, karena diperiksa saja dia belum. Apalagi, dasar tindakan polisi bahwa kawasan yang ditambang masuk kawasan hutan, juga tidak kuat," cetusnya.
Menurutnya, Keputusan Menhut No 453 itu belum bisa dijadikan sandaran hukum, mengingat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di negara ini, sebagaimana Tap MPR No 3/2000, keputusan menteri tidak termasuk. Sementara peraturan daerah termasuk bagian dari tata urutan tersebut.
"Keputusan Menhut No 453 itu sendiri belum menjadi keputusan yang mengikat, karena ada tiga tahapan lain yang belum dilaksanakan, seperti pemasangan patok-patok batas wilayah hutan, kemudian pemetaan sehingga dibuat peta wilayah hutan dan kemudian, penetapan lagi dalam sebuah peraturan," jelasnya.
Adapun SBT, lanjutnya, telah mengantongi perizinan yang sah, berdasar SK Bupati Kotabaru tahun 2003 dilanjutkan SK Bupati Tanbu tahun 2004.
"Selain itu, berdasar tata ruang wilayah, baik itu dari Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Tanah Bumbu serta Provinsi Kalsel, kawasan yang ditambang bukan termasuk kawasan hutan, melainkan kawasan budidaya tanaman tahunan," paparnya.
Kronologis
Fikri menyatakan, pihaknya berencana membuat kronologis dan argumentasi hukum yang akan disampaikan kepada Polda Kalsel dan Mabes Polri. "Mudah-mudahan dengan argumentasi tersebut, perusahaan bisa beraktivitas kembali. Sebab, kerugian material akibat penutupan tambang itu, perusahaan mengalami kerugian milyaran rupiah. Belum lagi kontrak dengan PLTU Bukit Asam yang memasok listrik di Pulau Jawa dan Bali menjadi terganggu karenanya," cetus Fikri.
Jika ternyata hal itu mandeg juga, maka kemungkinan, SBT akan melakukan langkah mempraperadilankan Polda Kalsel.
Dua buah lokasi tambang di Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu) di-police-line jajaran Dit Reskrim Polda Kalsel, Rabu (3/12). Bahkan, Kapolda Kalsel Brigjen Pol Anton Bachrul Alam bersama pejabat dari Bareskrim Mabes Polri menggunakan helikopter, meninjau langsung lokasi, sekitar pukul 11.00 Wita. adi/mb05
Comments