Rabu, 26 November 2008
Kendati mendapat kecaman dan protes dari berbagai elemen masyarakat, namun HM Sjachriel Darham terkesan tak ambil pusing. Buktinya, Sjachriel tetap mempertahankan SK 119/2000 hingga masa baktinya sebagai Gubernur Kalsel berakhir.
Agus Salim, Banjarmasin
PASCA terbitnya SK 119/2000, jumlah angkutan batubara meningkat drastis. Konon kabarnya, di era Gubernur Gusti Hasan Aman diperkirakan hanya 500-an unit, maka sepanjang kepemimpinan HM Sjachriel Darham, jumlah angkutan batubara diperkirakan mencapai 2.500 unit. Lonjakan jumlah armada angkutan emas hitam tersebut seiring dengan banyaknya perusahaan tambang yang beroperasi dan pelabuhan khusus (pelsus) pengiriman batubara.
Saat ini diperkirakan jumlah angkutan batubara yang beroperasi di Kalsel mencapai 4.000 unit lebih terdiri dari truk berukuran kecil hingga besar. “Angka persisnya saya tidak tahu, tapi diperkirakan jumlah angkutan batubara mencapai 4.000 lebih,” ungkap salah seorang pegawai Dinas Perhubungan (Dishub) seraya minta namanya tidak dikorankan.
Asumsi itu sangat realistis, sebab berdasarkan informasi dan penelusuran Koran ini, angkutan batubara yang melintas di jalan lingkar selatan menuju sejumlah stockpile batubara di Jalan PM Noor Banjarmasin Barat saja rata-rata mencapai 2.500 unit setiap malamnya. Belum lagi yang beroperasi di tiga kabupaten kaya batubara, yakni Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kotabaru. “Setiap malam rata-rata angkutan batubara yang menuju PM Noor Banjarmasin mencapai 2.500 unit,” ujar Yanto, salah seorang penjaga portal batubara kepada Koran ini.
Peningkatan jumlah angkutan batubara menjadi bumerang bagi Gubernur Rudy Ariffin yang dilantik pada 25 Agustus 2005 lalu. Pasalnya, protes terhadap angkutan batubara melintas di jalan umum tak pernah surut. Bahkan, sejumlah aktivis mahasiswa, LSM dan akademisi menjadikan sebagai topik diskusi publik. Mereka mempertanyakan legalitas yang membolehkan angkutan emas hitam itu bebas berseliweran di jalan umum. Pihak yang kontra berpandangan perusahaan pertambangan harus memiliki jalan sendiri, acuannya adalah UU 11/1967 Pasal 16 ayat (3) menyatakan; wilayah pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidak meliputi, tempat-tempat kuburan, dan tempat-tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan umum, misalnya jalan-jalan umum, kereta api, saluran air, listrik, gas dan sebagainya.
Sebaliknya, aparat pemerintah dan kepolisian berpandangan angkutan batubara boleh lewat jalan negara itu mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan. Pro dan kontra menafsirkan UU tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tak pernah ada titik temu.
Menyikapi kondisi tersebut, Rudy Ariffin bersama dengan DPRD Kalsel menyusun peraturan daerah (Perda) yang mengatur larangan angkutan batubara melintas di jalan umum. Alasannya, Rudy berpandangan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan belum lex specialis (peraturan hukum yang khusus). Sebagai solusinya, Rudy lebih cenderung menggunakan Perda sebagai lex spesialis agar ada kepastian hukum, sehingga lebih mudah mengambil tindakan. Nah, di era kepemimpinan Rudy Ariffin inilah lahir Perda Nomor 3 Tahun 2008 yang mengatur jalan khusus angkutan pertambangan dan perkebunan besar.(bersambung)