Senin, 01-09-2008 | 01:40:19
: Lihat samping jalan muka yang berkendaraan, kayapa barangnya mantapkah kira-kira. Kocok...
: Pinanya mantap, tapi ampun orang jua sudahnya kalo, kocok...!
: Bujur banar....kocok, ini kelihatannya bodi lebih mantap dari semalam, iya kada? Kocok...
:Hi ih...liwar banar, hancur liur, kocok...!
(Percakapan antarsopir truk batu bara)
Banyak survei menyebutkan angka kematian akibat kecelakaan di jalan, terus bertambah. Itu disadari betul oleh para sopir truk batu bara. Aksi kebut tetap terjadi. Semua berupaya paling dulu melewati portal dan masuk stockpile.
Berdasar pantauan BPost yang berada dalam salah satu truk batu bara, para sopir biasa memacu dengan kecepatan minimal 80 kilometer per jam jika berada di luar kota. Kalau sudah masuk kawasan dalam kota, kecepatan turun menjadi minimal 45 kilometer per jam. Dalam kecepatan tinggi, mereka mampu meliuk-liukkan truk di antara jejalan beragam kendaraan bermotor. Jika ada celah meski hanya seukura kepada truk, mereka tak sungkan menyodok.
Bagi yang tak biasa, seperti BPost yang berada di ‘kokpit’ truk, ketakutan adalah sahabat terdekat. Teriakan dan memegang kursi dengan erat adalah keniscayaan. Wajah pucat pun bukan hal aneh.
Uniknya, pada situsi ‘berbahaya’ ita para sopir dengan santai merumpi dengan teman-temannya melalui alat komunikasi. Sehingga tak jarang, kemudi hanya dikendalikan oleh satu tangan.
Tak hanya saling memberi informasi soal kondisi jalan dan kepadatan lalu lintas, mereka juga memberitahu jika ada polisi yang melakukan penjagaan di suatu tempat sehingga bisa lebih dini memperlambat kecepatan truknya.
Beragam hal mereka bicarakan. Pun dengan perempuan yang kebetulan lihat di jalan. Terlebih jika melewati kawasan yang biasa dijadikan perempuan pekerja seks beroperasi. "Untuk mengurangi stres," ujar sopir yang truknya ditumpangi BPost, Arman sambil tertawa.
Pekerjaan sopir truk memang menantang bahaya. Salah perhitungan saat mengendalikan kendaraan, nyawa menjadi taruhan. Jika itu terjadi, penghasilan yang lumayan jumlahnya pun menjadi tak ada artinya. "Sehari mereka bisa berpenghasilan Rp 600 ribu," ungkap seorang pengusaha batu bara.
Benarkah? Para sopir yang ditemui membantah. Namun, mereka enggan menyebutkan pendapatkan yang mereka kantongi. Para sopir justru mengungkapkan banyak pungutan yang harus mereka bayar selama perjalanan menuju stockpile.
Berdasarkan pantauan BPost, pengeluaran itu antara lain biaya meratakan batu bara di bak truk sekaligus menutupnya dengan terpal sebesar Rp 15.000, biaya timbang tonase di stockpile Rp 5.000, biaya portal retribusi di Jalan Trikora Banjarbaru Rp 10.000, Portal LLAJ Rp 1.000 dan setoran yang dikoordinir warga yang katanya untuk polisi Rp 5.000.
Selain itu, ada pula ‘sumbangan’ untuk tempat ibadah yang jumlahnya tidak ditentukan, tapi biasa minimal Rp 1.000. Kemudian di Portal Empat Ribu Rp 4.000 dan Portal Retribusi Pemko Banjarmasin Rp 2.500. Di luar biaya-biaya itu ada lagi biaya membuka dan melipat terpal Rp 10.000 dan membongkar muatan Rp 50.000. Uang premi itu masih juga dipotong untuk biaya makan, minum dan rokok.
Besaran premi itu bervariasi. "Ada yang sudah dipotong untuk biaya solar oleh perusahaan tapi ada juga yang belum," ucap Arman.
Bagi sopir yang preminya belum dipotong untuk biaya solar inilah yang kerap membeli di penjual eceran atau pelangsir. Pasalnya, harganya jauh lebih murah dibanding di SPBU khusus industri.
Makanya, ketika ada rencana sistem kupon dengan cara memotong besaran premi untuk pembelian solar, banyak sopir yang tersengat. Maklum saja, dengan cara itu mereka tak lagi bisa ‘berbelanja’ yang di tempat yang lebih murah. (*)