Sabtu, 12-07-2008 | 00:45:40
JAKARTA, BPOST - Pemerintah terus menyiapkan sejumlah langkah mengatasi krisis energi dalam negeri. Di antaranya, menyiapkan opsi mengubah penerimaan royalti bagi industri batu bara serta pembatasan ekspor bahan tambang itu.
Perubahan royalti batu bara, dari saat ini berbentuk uang menjadi bentuk batu bara. Opsi ini merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan batu bara di dalam negeri.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, mengatakan selama ini perusahaan batu bara dikenai royalti 13,5 persen dari hasil produksinya. Kewajiban ini berlaku bagi pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan dan pengelolaan batu bara.
“Saya sudah mengusulkan perubahan itu. Saat ini lagi dibahas di Departemen Keuangan,” kata Purnomo di Jakarta, kemarin. Pemerintah juga, kata dia, tetap menyiapkan alternatif pembatasan ekspor dengan mewajibkan industri batu bara memasok pasar domestik atau domestic market obligation (DMO).
Bila nanti perubahan royalti itu disepakati, kata Purnomo, maka pasokan batu bara di dalam negeri akan terpenuhi. Sebab saat ini total produksi batu bara sekitar 230 juta ton, sehingga 13,5 persen dari jumlah tersebut sekitar 31,05 juta ton. Sementara kebutuhan batu bara dalam negeri sekitar 28 juta ton.
Sementara, terkait seretnya pembangkit listrik swasta, Purnomo mengakui,saat ini sebagian besar perusahaan listrik swasta di Indonesia tidak beroperasi.
“Saat ini dari 150 IPP (independent power producer) atau perusahaan listrik swasta yang ada di Indonesia, hanya ada 15 yang jalan,” katanya. Dia melanjutkan, perusahaan listrik swasta itu macet karena faktor keuangan. “Karena permasalahan financial closing. Mereka sudah teken kontrak, tapi tidak jalan pembangunannya,” ujarnya.
Akibat tersendatnya pembangunan perusahaan listrik swasta itu, menurut Purnomo, menjadi salah satu faktor terhambatnya pasokan tambahan listrik di dalam negeri.
Purnomo menambahkan, pihaknya telah menjelaskan kendala kelistrikan itu kepada perwakilan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sehubungan protes kalangan investor Jepang. (ti/dt)
Subsidi Energi Membengkak
REALISASI subsidi energi hingga akhir 2008 diperkirakan akan mencapai Rp 290 triliun - Rp 300 triliun. Angka tersebut meningkat 50,7 persen atau setara Rp 80 triliun - Rp 90 triliun dari subsidi energi yang dianggarkan pada APBN-P 2008 sebesar Rp 199,1 triliun.
Berdasarkan perhitungan Indef, realisasi subsidi ini dengan asumsi harga minyak dunia rata-rata 140 dolar AS per barel, harga premium Rp 6.000 per liter, harga solar Rp 5.500, dan harga minyak tanah Rp 2.500, dan dengan konsumsi BBM bersubsidi 43 juta kilo liter.
“Kenaikan harga BBM bersubsidi pada Mei 2008 lalu yang diharapkan dapat menekan defisit anggaran agaknya jauh pasak daripada tiang. Realisasi subsidi energi hingga akhir 2008 akan melebihi pengeluaran yang dianggarkan pemerintah di APBNP 2008,” ujar Direktur Indef Ikhsan Modjo, kemarin.
Ikhsan mengatakan, penyebab terlampauinya subsidi energi tersebut yakni karena adanya tren peningkatan harga minyak dunia. Saat ini harga minyak terus meningkat dan sudah dalam posisi yang tinggi, padahal belum mencapai akhir tahun.
Di samping itu, penyebab lainnya karena adanya peningkatan konsumsi BBM dalam negeri. Setelah kenaikan harga BBM bersubsidi terdapat kenaikan konsumsi sebesar 10,3 persen, yaitu dari 39 juta kilo liter ke 43 juta kilo liter.
Selain itu, perbedaan harga minyak dalam negeri dengan negara tetangga akan semakin meningkatkan penyelundupan minyak. (ok)