Kamis, 8 November 2007
Radar Banjarmasin
BANJARMASIN ,- Perluasan usaha pertambangan yang dilakukan PT Galuh Cempaka, dinilai melanggar hukum. Pasalnya, tindakan itu sama sekali tidak disertai rencana pembuatan dokumen Amdal (analisis dampak lingkungan).
Adalah Ir H Asfihani, anggota Komisi VII DPR RI yang sangat prihatin atas tindakan PT Galuh. “Hal itu cukup mengejutkan, karena tindakan yang dilakukan PT Galuh Cempaka tersebut dapat dinilai melanggar hukum,” katanya.
Dijelaskan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI ini, ada beberapa hal yang membuat persoalan tersebut melanggar hukum. Pertama, perluasan usaha pertambangan tanpa Amdal baru yang jelas-jelas bertentangan dengan peraturan perundang-udangan tentang Amdal.
PT Galuh Cempaka dapat disangka melanggar Pasal 5 PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal, dimana setiap kegiatan perusahaan, termasuk perluasan usaha harus memperhatikan dampak besar dan penting sebagai suatu usaha perhatian terhadap lingkungan.
“Kemudian semangat Pasal 3 ayat 3 dan pasal 4 PP No 27 tahun 1999 tentang Amdal menyatakan, bahwa usaha atau kegiatan yang tidak memerlukan Amdal baru selama 5 tahun adalah usaha atau kegiatan yang berada di suatu kawasan tertentu yang tidak pindah atau diperluas selama lima tahun. Jadi, kalau PT Galuh Cempaka melakukan perluasan usaha, harus ada Amdal baru. Jangan sampai pertambangan hanya mengambil keuntungan saja, sementara rakyat hanya mendapat dampaknya,” jelas Asfihani kepada wartawan Radar Banjarmasin, kemarin.
Selain itu, sesuai Pasal 19 UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan, setiap kegiatan usaha termasuk perluasan usaha wajib memperhatian pendapat masyarakat setempat. Sementara PT Galuh Cempaka sudah melakukan kegiatan perluasan usaha tanpa meminta pendapat masyarakat setempat.
“Perluasan usaha pertambangan tanpa Amdal baru yang dipraktekkan PT Galuh layak dituntut secara hukum, dengan tuduhan pelanggaran terhadap UU No 23 tahun 1997. Karena tindakan itu sudah berpotensi merusak lingkungan dan dapat menimbulkan pencemaran yang membahayakan kesehatan umum. PT Galuh bisa saja didenda maksimal Rp 300 juta dengan penjara maksimal 6 tahun,” tambahnya.
Ia berharap dasar-dasar yang diungkapkannya bisa menjadi bukti untuk melakukan tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak peduli terhadap lingkungan.
“Jangan sampai masyarakat Kalsel terus menerus menjadi korban kerusakan lingkungan akibat ulah perusahaan pertambangan yang hanya mengeruk keuntungan saja. Aparat penegak hukum pun harus segera memprosesnya secara transparan sesuai peraturan yang ada,” tegasnya. (sya)