Minggu, 26 Agustus 2007
BANJARMASIN, Radar Banjarmasin – Tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan pertambangan batubara, diakui masih jauh dari sejahtera. Mestinya, mereka bisa hidup lebih baik karena merasakan langsung dampak dari eksploitasi emas hitam tersebut.
Karena itu, perusahaan tambang baik pemegang PKP2B maupun KP yang beroperasi di Kalsel, diminta memperhatikan penyaluran dana community development (CD) agar sesuai porsinya dan tepat sasaran. “Inilah fenomena yang terjadi saat ini, padahal tujuan penyaluran dana CD untuk pengembangan masyarakat sekitar tambang,” ujar Staf Ahli Bidang Informasi dan Komunikasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Dr R Sukhyar, kepada koran ini, saat berada di Banjarmasin, belum lama tadi.
Di sisi lain, Sukhyar mengakui pembagian royalti antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil masih menjadi berdebatan hangat di Jakarta. Menurutnya, sebenarnya ada celah bagi daerah penghasil untuk menambah persentase pembagian royalti, yaitu memperjuangan agar segera merevisi UU Pertambangan. “Daerah harus memperjuangkannya, baik DPD RI, DPR RI asal Kalsel, maupun eksekutif,” sarannya.
Menyinggung soal dana pembinaan yang satu paket dengan royalti tersebut, Sukhyar menjelaskan, dana pembinaan dipergunakan bagi kegiatan seperti mencari sumber daya alam dan riset. “Jadi, tidak benar kalau ada tudingan yang menyebutkan dana pembinaan tidak jelas penggunaannya,” ujarnya.
Sayangnya, Sukhyar mengaku tidak tahu persis total jumlah dana pembinaan yang terdapat di Departemen ESDM RI.
Sementara itu, dalam sebuah kesempatan, anggota DPD RI asal Kalsel, Ir HM Said, mempertanyakan penggunaan dana pembinaan tersebut. Bahkan, mantan Gubernur Kalsel ini menilai Departemen ESDM tidak transparan soal penggunaan dana tersebut. “Daerah sudah sangat dirugikan dengan persentase pembagian royalti yang tidak adil. Nah, saya mengharapkan dana pembinaan penggunaannya supaya transparan dan jelas. Buktinya, mana pembinaan apa saja yang sudah dilakukan pemerintah pusat untuk pertambangan di Kalsel,” tandas Said.
Seperti diketahui, Pemprov Kalsel tiada henti menuntut keadilan pembagian royalti batubara, dengan memberikan porsi yang lebih besar kepada daerah penghasil dibandingkan persentase yang diterima saat ini.
Pasalnya, dari hak daerah penghasil sebesar 13,5 persen yang disetorkan perusahaan pertambangan ke pemerintah pusat, tetap dipotong 1,2 persen untuk pajak, kemudian 6 persen untuk pembinaan pertambangan yang tetap dipegang pemerintah pusat. Sisanya sekitar 7,5 persen baru dikembalikan ke provinsi penghasil untuk dibagi-bagi lagi.
“Artinya cuma 6 hingga 7 persen saja yang kembali ke daerah. Padahal sebenarnya pada royalti itu ada pula dana untuk pembinaan pertambangan. Pak Gubernur H Rudy Ariffin berharap, agar dana pembinaan pertambangan tersebut pun diserahkan ke daerah juga,” ujar Kepala Dinas Pendapatan Kalsel Napsiani Samandi.
Porsi tersebut dinilai sama sekali tidak sebanding dengan dampak pertambangan yang harus diterima daerah. Mulai dampak ancaman kerusakan lingkungan, kerusakan jalan, hingga dampak sosial.
Hingga triwulan kedua tahun 2007 ini, ungkap Napsiani, royalti batubara yang masuk ke kas daerah hanya sebesar Rp 23 miliar. Dana itu merupakan hak provinsi dan sudah dikurangi dengan hak daerah penghasil dan hak daerah pemerataan. Meski belum masuk ke kas daerah, namun dipastikan royalti batubara akan bertambah lagi sehingga totalnya mencapai Rp 48 miliar.
Tuntutan penambahan royalti tersebut, disadari Napsiani, harus didahului dengan perubahan UU tentang pertambangan yang mengatur tentang pembangian royalti tersebut. Tuntutan itu tidak hanya disuarakan oleh Pemprov Kalsel saja, namun harus diperjuangkan oleh anggota DPR-RI dan anggota DPD-RI asal dapil Kalsel.(sga)