Wednesday, August 22, 2007

Satu Tahun Hanya Rp 100 M

Tuesday, 31 July 2007 02:42:07

  • Rudy Curhat ke Muladi Soal Royalti
  • Hanya Dapat Jalan dan Lingkungan Rusak

BANJARMASIN, BPOST - Kalimantan Selatan dikenal sebagai daerah penghasil batu bara. Namun kenyataan menyebutkan, Banua ini belum bisa menikmati kekayaan alam yang berlimpah itu.

Barang tambang diangkut ke luar negeri, sementara daerah seolah gigit jari. Lingkungan rusak, debu di mana-mana, dan warga jauh dari sejahtera.

Tak heran jika kemudian, kedatangan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Senin (30/7) di Graha Abdi Persada, menjadi tempat curahan hati (Curhat) Gubernur Rudy Ariffin.

"Produksi batu bara Kalsel iitu sepertiga dari produksi nasional, 50 juta ton per tahun. Tapi apa yang kami terima selain kerusakan lingkungan dan jalan? Dana yang kami terima dari pusat tidak memadai," bebernya.

Akibatnya, kata Rudy, banyak ruas jalan di Kalsel banyak yang rusak. Sementara untuk memperbaikinya, dana dari pemerintah pusat sangat minim. Menurut Rudy, hal itu merupakan salah satu masalah keadilan sosial.

Dijelaskan Rudy, royalti batu bara yang mereka terima hanya tiga persen, jauh dari pemerintah pusat sebesar sembilan persen lebih. Dari tiga persen itu harus dibagi lagi ke kabupaten dan kota, serta daerah penghasil barang tambang itu.

"Satu tahun royalti yang kita terima berkisar Rp 100 miliar. Setelah dibagi-bagi ke 13 kabupaten dan kota serta daerah penghasil, akhirnya menjadi sangat minim," keluhnya.

Muladi pun berjanji akan menyampaikan masalah tersebut ke pemerintah pusat, terutama soal kerusakan lingkungan dan reklamasi. Pembagian hasil, katanya, dapat diperjuangkan untuk lebih besar lagi melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

"Tergantung perwakilan Kalsel di DPD memperjuangkan hak agar mendapat lebih besar. Sedangkan untuk masalah lingkungan hidup dan reklamasi nanti akan saya sampaikan ke Menteri Lingkungan Hidup. Masalah lingkungan hidup merupakan masalah yang penting," tukasnya.

Pada bagian lain, Muladi menjelaskan, baru-baru ini mendapat komplain dari Polri dan Menteri Kehutanan. Hal itu dipicu benturan antara kedua belah pihak terkait illegal logging. Kedua belah pihak berseteru terkait penafsiran Undang Undang Kehutanan.

"Penegak hukum dengan menteri saja bisa berbeda pendapat apalagi rakyat yang ada di bawah. Kedua-duanya komplain pada saya di Lemhanas," ujarnya.

Menurutnya, tidak ada tawar-menawar untuk illegal logging. Jika menyalahi perundang-undangan harus ditindak tegas. Ia menegaskan, jangan karena ingin melindungi industri membuat berhenti memberantas pembalakan hutan.

"Ini tidak betul. Yang namanya industri menggunakan barang ilegal, saya kira merupakan sesuatu yang tidak benar. Itu yang namanya latah pada masa lalu. Tapi definisi-definisi tentang pembalakan hutan juga harus jelas," ujarnya.

Ditambahkannya, kerusakan lingkungan menjadi stigma yang jelek industri di Indonesia. Dengan stigma negara dianggap membiarkan pembabatan hutan yang bisa merusak paru-paru dunia, internasional bisa mengenakan cap buruk. "Kalau sudah demikian, produk Indonesia tidak akan diterima di dunia internasional," tandasnya.ais