Sabtu, 07 Juli 2007
Jakarta, Kompas - Kredit perbankan dalam setahun terakhir banyak mengalir ke sektor pertambangan, konstruksi, dan komunikasi. Prospek yang cerah dan risiko yang minim menjadi faktor pendorong.
Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi kredit pertambangan mencapai Rp 14,9 triliun, tumbuh 83 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 8,15 triliun.
Kredit konstruksi tumbuh 24,59 persen dari Rp 28,33 triliun menjadi Rp 35,29 triliun. Adapun kredit sektor komunikasi meningkat 31,5 persen menjadi Rp 26,08 triliun.
Pertumbuhan kredit di ketiga sektor tersebut jauh melampaui pertumbuhan kredit keseluruhan yang sebesar 17,42 persen.
Sebaliknya, sektor yang mengalami stagnasi kredit ialah listrik, gas, dan air. Selama periode April 2006-April 2007, kredit ke sektor itu hanya tumbuh 4,65 persen menjadi Rp 5,74 triliun.
Risiko minim
Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional Sigit Pramono, Jumat (6/7) di Jakarta, mengatakan, pertumbuhan kredit di sektor pertambangan dan konstruksi memang lebih cepat daripada sektor lain.
Ekonom Indef Iman Sugema menilai prospek usaha konstruksi, komunikasi, dan pertambangan memang cukup bagus. Kredit konstruksi marak karena proyek infrastruktur dan properti mulai menggeliat.
"Sektor pertambangan sedang booming, terutama di bidang energi seperti batu bara. Perusahaan telematika juga sedang menggenjot belanja modalnya," kata Iman.
Pengamat perbankan Ryan Kiryanto mengatakan, selain berprospek, melonjaknya kredit di pertambangan, konstruksi, dan komunikasi juga terjadi karena sektor ini memiliki risiko rendah karena didukung kuat oleh pemerintah dari segi regulasi.
Rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) di sektor pertambangan turun dari 10,51 persen pada April 2006 menjadi 7,09 persen pada April 2007. Ini menunjukkan risiko kredit makin kecil.
Laporan Indikator Aktivitas Ekonomi yang dirilis BI menyebutkan, produksi batu bara Indonesia meningkat cukup tajam. Produksi batu bara pada tahun 2007 mencapai 170 juta ton, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1996 yang hanya 12,1 juta ton.
Peningkatan produksi batu bara Indonesia antara lain dipicu oleh menurunnya ekspor batu bara China dan meningkatnya harga minyak mentah.
Berdasarkan data dari World Coal Institute, kontribusi batu bara asal Indonesia pada tahun 2006 mencapai 21 persen dari total volume pengapalan batu bara dalam perdagangan internasional yang mencapai 508 juta ton. Produksi batu bara diperkirakan terus meningkat seiring dengan adanya program pembangunan listrik 10.000 megawatt.
Target pertumbuhan kredit
Gubernur BI Burhanuddin Abdullah mengatakan, untuk mencapai target pertumbuhan kredit 20-23 persen tahun ini, pada semester II-2007 secara nominal kredit harus tumbuh rata-rata Rp 20 triliun per bulan. Menurut dia, kalaupun tidak mencapai pertumbuhan 23 persen, kredit bisa tumbuh 18 persen pun sudah cukup bagus.
Pada semester I-2007, pertumbuhan kredit hanya Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun per bulan, kecuali bulan Juni yang mencapai Rp 36 triliun.
Sigit mengatakan, kredit baru yang disalurkan selama semester I-2007 sebenarnya cukup besar. Namun, secara outstanding, kredit terlihat kecil karena dalam periode yang sama terjadi beberapa pelunasan kredit dalam jumlah yang cukup besar.
"Debitor yang melunasi kredit menggunakan sumber dana yang lain seperti penerbitan obligasi, rights issue, dan pinjaman bank di luar negeri," ungkap Sigit.
Menurut Sigit, kredit Juni 2007 meningkat tajam karena kredit yang sudah diproses jauh-jauh hari sebelumnya banyak yang dicairkan pada bulan itu.
Di Bank BNI, kredit bulan Juni 2007 naik Rp 8,7 triliun. Rinciannya kredit korporasi Rp 5,3 triliun dan kredit usaha kecil menengah, syariah, konsumen Rp 3,4 triliun.
Sementara itu, Direktur Manajemen Risiko BNI I Supomo mengatakan, BNI bersama bank-bank lainnya telah menyiapkan perangkat skema standar penerapan Basel II untuk risiko pasar, kredit, dan operasional.
Basel II merupakan aturan standar internasional untuk perbankan. Basel II mengatur permodalan yang dikaitkan dengan manajemen risiko. (FAJ)