Minggu, 15 Juli 2007
Sejak tahun 1990-an Kabupaten Banjar menjadi salah satu daerah booming pertambangan batubara. Puluhan tahun aktifitas pengerukan kekayaan alam itu berlangsung. Sudah banyak pula dollar terkeruk dari perut bumi Kabupaten Banjar. Begitu juga kerusakan lingkungan yang terjadi, sudah tidak bisa dihitung kerugiannya. Belakangan kesadaran sebagian penambang mulai tumbuh. Untuk mengetahui sejauhmana kesadaran itu, berikut rangkuman bincang-bincang dengan Ketua Forum Komunikasi Perusahaan Tambang Batubara (FKPTB) Badrul Ain Sanusi Al Afif
Banyaknya persoalan lingkungan yang dituduhkan akibat aktifitas pertambangan batubara menjadi momok tersendiri bagi para pengusaha pertambangan. Terutama pengusaha yang mengantongi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
PD Baramarta sebagai perusahaan milik Pemkab Banjar yang juga mengantongi PKP2B tentu saja tidak ingin persoalan itu terus berlanjut. Bersama-sama dengan Bina Lingkungan Hidup Indonesia (BLHI) mereka menggagas dibentuknya sebuah wadah untuk mengkomunikasikan setiap masalah tersebut.
”Peran Dirum PD Baramarta Pak Zaky waktu itu sangat besar. Pada akhirnya kami bersepakat, bahwa forum komunikasi itu jelas sangat penting. Akhirnya digagaslah pembentkannya dan belakangan forum itu diberi nama Forum Komunikasi Perusahaan Tambang Batubara,” ungkap Badrul.
Pada walnya, forum tersebut hanya beranggotakan perusahaan-perusahaan rekanan PD Baramarta. Antara lain PT Madani, PT PAMA, PT TAJ dan PD Baramarta sendiri. Namun belakangan, perusahaan pertambangan yang bergabung semakin banyak. Bahkan saat ini ada 20-an perusahaan tambang yang masuk menjadi anggota forum.
”Tentu saja ini semua menjadi awal baik untuk membangun sebuah komitmen pentingnya pengelolaan lingkungan pasca pertambangan. Ini ’kan yang saat ini terus berlangsung. Program-program reklamasi sudah berjalan dengan baik,” jelasnya.
Badrul memang benar. Betapa susahnya bisa menyakinkan para pengusaha pertambangan untuk melakukan program-program peduli lingkungan. Baik lingkungan bekas pertambangan maupun lingkungan sekitar dalam hal ini masyarakat dan segala kesibukannya.
”Alhamdulillah, para pengusaha pertambangan sebagian besar bisa menerima kewajibannya. Yakni, antara lain, melaksanakan program Community Development (CD) untuk masyarakat sekitar tambang, dan reklamasi untuk lokasi bekas tambang,” ujarnya.
Sejauh ini, menurut Badrul, ketidaktahuan para pengusaha terhadap kewajibannya menjadi salah satu kendala. Namun setelah ada forum, kendala-kendala tersebut bisa teratasi.
”Niat untuk melakukan program-program itu sebenarnya ada. Tetapi karena keterbatasan pengetahuan, akhirnya program-program tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan optimal. Yang muncul kemudian hanyalah masalah-masalah negatif dari aktifitas pertambangan. Katakanlah istilah pengusaha ingin kaya sendiri. Tetapi itu dulu, kini kondisinya jauh berbeda,” ujarnya.
Kini ungkapnya, keluhan dari masyarakat sekitar pertambangan tidaklah semarak sebelum ada forum. Karena apa? Karena persoalan-persoalan yang dikeluhkan masyarakat sekitar bisa dikomunikasikan dengan baik antara perusahaan dengan masyarakat.
Bukan hanya masalah masyarakat sekitar tambang saja yang menjadi fokus yang dikomunikasikan forum. Kepentingan-kepentingan para pengusaha anggota forum juga menjadi foukus kerja forum.
”Baru-baru tadi misalnya. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan soal tonase, nah forum berkewajiban melakukan lobi-lobi agar kebijakan pemerintah tidak merugikan pengusaha. Bagaimana pun juga pengusahaan pertambangan dilakukan oleh masyarakat Kalsel yang sudah semestinya mendapatkan hak yang sama,” katanya.(sapariyansyah)