Jumat, 4 Mei 2007
Radar Banjarmasin
Saat kabupaten lain ribut mempersoalkan ruas jalan umum
yang dikuasai barisan truk angkutan batubara, perusahaan tambang besar batubara di Tabalong justru sudah sejak lama punya jalan tambang sendiri dan dimanfaatkan warga.
WARGA Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, Rantau, dan sekitar, seakan serentak menentang digunakannya ruas jalan negara sebagai jalur lintasan truk batubara.
Dipicu kritisnya dua buah jembatan di Martapura, sedangkan masyarakat meragukan ketegasan aparat pemerintah, reaksi keras pun bermunculan dari sejumlah elemen masyarakat seiring dengan tetap diperbolehkan melintasnya armada pengangkut “emas hitam” di jalan negara.
Sejumlah media menjadikan polemik itu sebagai headline news di halaman depan. Selama sebulan lebih bergaung, akhirnya Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin menyetujui desakan masyarakat untuk membangun jalan alternatif khusus angkutan batubara.
Selesaikah permasalahan? Tidak, orang nomor satu di Pemprov Kalsel itu belum menjelaskan secara rinci perihal pilihan jalan alternatif karena masih memerlukan kajian dan perhitungan matang.
Terlepas dari kondisi geografis dan keadaan masyarakat sekitarnya, sejak memulai eksploitasi untuk produksi komersial pada tahun 1992, PT Adaro Indonesia sudah membangun dan memiliki jalur lintasan tersendiri sepanjang sekira 84 Km. Jalan khusus tambang batubara itu diawali di lokasi blasting (peledakan) di Tutupan, Murung Pudak, Tabalong, menuju pelabuhan khusus batubara di Kelanis, Buntok, Barsel (Kalteng).
Hauling (lintasan) hanya terdiri lapisan tanah keras, setiap hari dan setiap saat maka sepanjang lintasan disiram air untuk mengurangi debu. Tetapi, sejak beberapa tahun belakangan ini, lintasan telah diaspal mulus dan batubara yang tercecer maupun debu selalu dibersihkan.
Mungkin, di benak kita terlintas kewajaran bahwa PT Adaro adalah perusahaan tambang terkemuka di dunia yang mempunyai modal besar, sehingga membangun jalan khusus tambang bukan persoalan rumit. Belum lagi, jalur darat yang dilalui Adaro dan partner bukan kawasan padat penduduk.
Namun, apa jadinya kalau jalan khusus tambang batubara milik Adaro justru banyak dimanfaatkan menjadi “jalan umum” oleh warga setempat maupun warga lainnya?
Bukan maksud penulis berpihak ke Adaro atau memvonis dengan mempersalahkan warga untuk tidak melintas di jalan khusus tambang. Tetapi, bagaimanakah konsekuensi masyarakat bilamana jalan alternatif menuju ke stockpile telah selesai dibangun?
“Kami sudah menempatkan pos jaga beserta sekuriti pada setiap jalan tambang yang bersinggungan simpang dengan jalan umum. Hanya saja, banyak “jalan tikus” membuat kami terkadang kewalahan mengatasi warga yang melintas. Satu hal juga, bagaimana dengan warga yang mempunyai tanah atau kebun di sisi kiri dan kanan jalan tambang batubara,” kata staf Humas PT Adaro, M Ismail, waktu lalu.
Padahal, karyawan dan angkutan produksi atau angkutan sarana memiliki peraturan khusus memasuki dan menggunakan jalan batubara. Selama berada di areal tambang, karyawan memakai seragam kerja dan safety, angkutan dilengkapi lampu rotary dan safety lainnya. Tidak ada satu pun kendaraan milik karyawan berada di jalur lintasan.
Apa lacur, perusahaan terkesan tak berkutik dan tak punya nyali. Karyawan melanggar aturan ditindak tegas, warga seakan “bebas” menjadi “raja jalanan” di jalan khusus tambang batubara. Malah, pedagang sayur dan pedagang ikan keliling, tak ketinggalan untuk memanfaatkan fasilitas jalan tol tanpa hambatan. (Hariyadi)***