Selasa, 15 Mei 2007 03:02
Dayak Pitap protesBANJARBARU, BPOST - Seribu masyarakat adat Pitap dari tiga desa di Kecamatan Awayan, Balangan, menolak kehadiran PT Sari Bumi Sinar Karya yang akan melakukan penambangan biji besi di kawasan Gunung Tanalang.
Rentan Konflik Horizontal
DIREKTUR Ekesekutif Walhi Kalsel Berry Nahdian Furqan, saat mendampingi masyarakat adat Dayak menyarankan pemerintah segera tanggap akan permintaan warga. Karena jika tidak, konflik horizontal rawan terjadi.
"Tidak hanya antarmasyarakat konfliknya, tapi juga dengan aparat di sana. Kalau ini tak dicermati serius sangat berbahaya," kata Berry.
Selama ini saja, segala aktivitas eksplorasi yang telah dilakukan menimbulkan banyak keresahan warga. Tidak jarang, akibat berselisih paham antarwarga karena masalah sepele di survei pertambangan, aparat turut bersitegang dengan warga.
Menurut Furqan, penyebabnya tak berat, namun dampaknya luar biasa bagi keamanan kampung. Sebagai contoh, saat seorang warga diminta mengawal kedatangan tim survei, sementara warga lain tak diajak ujung-ujungnya konflik fisik.
Belum lagi, dampak lingkungan yang bakal muncul. Lima belas aliran sungai di kawasan ini bisa akan tergadai jika pemerintah tak tanggap. niz
Mereka khawatir aktivitas perusahaan bijihhh besi pada lahan 3.500 hektare itu merusak hutan keramat di Gunung Tanalang yang menjadi hak ulayat warga.
Pemerintah setempat diminta menghentikan akivitas pertambangan di kaki gunung Meratus ini. Perpanjangan izin KP yang dianggap tidak menghormati hak adat Dayak Pitap karena datang tanpa mengindahkan norma di sana.
Masyarakat adat melalui puluhan perwakilannya secara khusus mendatangi markas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel di Jalan Garuda Banjarbaru, Senin (14/5). Mereka dipimpin Kepala Adat Dayat Pitap, Murdi dan mantan Wakil Kepala Adat Dayak Pitap, Syahruni.
"Demi leluhur dan tempat keramat Dayak Pitap, kami masyarakat adat secara tegas tidak menerima kehadiran PT Sari Bumi Sinar Karya," kata Murdi dengan suara lantang menyuarakan aspirasi yang merupakan hasil musyawarah adat, Rabu (9/5).
Warga, tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Apalagi, kawasan yang akan digarap oleh perusahaan pemegang KP tersebut adalah sumber mata air dan daerah resapan. Lokasi pertambangan di sebelah Timur Paringin ini kalau dikeruk, bakal menyisakan kesengsaraan berupa kerusakan lingkungan.
Menurutnya, kawasan tersebut masuk ke kawasan hutan lindung yang harus memiliki izin pinjam pakai. Termasuk izin dari masyarakat adat, mengingat ada puluhan kampung dan ribuan warga yang akan terkena imbas dari aktivitas pertambangan di sana.
Masyarakat adat, kata Murdi, hampir habis kesabarannya. Perjuangan penolakan telah berjalan enam tahun. Sejak 2001, ketika wilayah itu masuk dalam Kabupaten Hulu Sungai Utara, warga telah berupaya menyampaikan keberatan mereka ke pemda setempat.
Namun kata Murdi, tak pernah ada tanggapan. Pemerintah, terkesan melegalkan perbuatan pemilik KP. Padahal, jelas sekali kedatangan mereka menuai masalah.
"Kami khawatir, akan ada hukum rimba yang berlaku kalau sampai sikap kami ini tetap tak digubris," timpal seorang pemuda Dayak Pitap lainnya tak kalah bersemangat. niz