Selasa, 08 Mei 2007 01:06
HARIAN Metro Banjar edisi Minggu (6/5), menurunkan headline dengan judul cukup menarik: Poltabes ‘Perang’ Di Pelambuan. Berita tersebut menyoroti langkah tegas aparat dalam menyikapi kompleksnya permasalahan angkutan batu bara di Kalsel, khususnya di Kota Banjarmasin.
Sabtu dinihari itu, Poltabes Banjarmasin menurunkan 200 personelnya guna membersihkan pos pungutan liar terhadap truk batu bara yang menuju penumpukan akhir (stockpile) di Pelambuan. Dengan dibumbui rentetan tembakan peringatan ke udara, polisi akhirnya menggiring ratusan warga yang tiap malam mengais pungutan dari sopir truk tersebut.
Memang, berbagai peristiwa termasuk yang berbau anarki kerap muncul, sehingga tak ada jalan lain kecuali aparat keamanan mengambil langkah tegas.
Penertiban kali ini dilakukan hanya selang dua hari setelah munculnya anarkisme warga Jalan Jafri Zamzam, Banjarmasin Barat. Puluhan warga yang emosi menggulingkan dua buah truk di jalan kampung setempat, karena kesal pada ulah sopir yang tak mematuhi aturan jalur lintasan. Dengan beruntunnya peristiwa itu, lantas kita pun menduga-duga bahwa penertiban portal liar tersebut merupakan respons atas peristiwa di Jafri Zamzam.
Dua peristiwa tersebut memang seakan tak ada kaitannya. Tetapi jika dirunut lebih jauh, bukan mustahil kenekatan sang sopir mencari jalur alternatif itu justru hanyalah reaksi atas banyaknya pungutan yang jelas kian memberatkan. Padahal sesuai kesepakatan sebelumnya, berbagai kompensasi kepada warga telah dikoordinasi oleh petugas khusus sehingga tidak dibenarkan warga secara individu maupun kelompok menarik pungutan lain.
Pertanyaannya kemudian, mengapa baru sekarang langkah tegas dilakukan? Bukankah aneka macam pungutan di jalan sudah marak sejak dulu? Terlepas dari semua pertanyaan itu, yang pasti lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Sorotan terhadap maraknya pungutan di jalan sudah sering muncul. Bukan saja dari sopir atau pengusaha --yang tentu saja memiliki tendensi pada usahanya-- tetapi juga dari warga yang ikut terusik kenyamanannya saat berlalu lintas. Namun, aparat terkesan tutup mata. Keluhan baik secara lisan maupun lewat media massa itu belum ditanggapi sebagaimana mestinya.
Padahal kita sangat percaya, sebagai aparat hukum polisi lebih peka menangkap fenomena di masyarakat. Apalagi jika itu berpotensi memunculkan tindak pelanggaran. Tentu saja kurang tepat jika semua harus menunggu pengaduan, lengkap dengan bukti maupun saksi. Aparat sudah sewajarnya melakukan antisipasi ketika ada sesuatu yang kurang pas.
Kita semua tidak akan pernah setuju, jalur batu bara seakan menjadi aliran madu yang sarat praktik premanisme --meski itu kecil-kecilan. Kita juga tak setuju, jalur komoditas primadona daerah itu menjadi ladang kasus suap aparat hingga korupsi pejabat.
Kini nyatanya, dengan langkah tegas portal liar di sepanjang jalan menuju stockpile nyaris tak terlihat lagi. Warga yang berlalu lalang pun bisa merasakan kenyamanan tanpa ada kekhawatiran terhadap aksi pemalakan, pemerasan, atau iseng sekalipun.
Dari efektivitas penetiban itu, kiranya cukup memberi pelajaran kepada kita bahwa semua itu tergantung kemauan aparat sendiri. Kita pun berharap sebuah konsistensi sehingga ketertiban tercipta untuk seterusnya.
Penegakan hukum di Kota Banjarmasin itu tentu hanyalah bagian kecil dari problematika yang masih kita hadapi saat ini. Penertiban penambangan di hulu, penertiban tonase angkutan di jalan umum, hingga permasalahan administrasi adalah pekerjaan rumah yang tak bisa diabaikan.
Betapa tidak, akibat aktivitas penambangan yang sembarangan dan tak terkontrol dampaknya telah dirasakan oleh masyarakat kita. Banjir hampir tiap tahun melanda akibat rusaknya hutan.
Sekali lagi, kita hanya bisa berharap bahwa dari hal yang kecil itulah akhirnya persoalan yang kompleks bisa diurai.