Monday, April 16, 2007

Untung Rugi Bara

Radar Banjarmasin
Senin, 16 April 2007

Oleh Mukhtar Sarman

TULISAN saya minggu lalu perihal adanya “ketakutan” penguasa daerah untuk melarang truk batubara menggunakan jalan negara ternyata langsung mendapat respon dari sejumlah kawan, antara yang mendukung dan sekaligus memuji tetapi juga ada yang mencemooh dan menuduh saya asal kritik. Bagi mereka yang setuju dengan saya umumnya bersepakat bahwa kata kuncinya adalah keberanian penguasa daerah untuk menyelesaikan masalah yang satu itu secara komprehensif dengan segala risikonya. Tetapi bagi mereka yang tidak setuju, seratus alibi lantas disodorkan kepada saya bahwa masuknya truk batubara ke jalan negara itu tak terhindarkan dan nyaris merupakan sebuah keniscayaan.

Beberapa alibi dari kelompok kontra itu saya kutipkan di sini. Pertama, menurut mereka, masuknya truk batubara itu ke jalan negara karena memang itulah cara termudah (baca: murah dan cepat) untuk mengangkut hasil tambang itu dari stockpile menuju pelabuhan Trisakti. Itulah pilihan rasional bagi pengusaha batubara lokal yang aset modalnya tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan besar batubara macam PT. Adaro.

Kedua, menurut mereka, truk batubara itu adalah truk, dan tidak bedanya dengan truk barang atau dumb-truk angkutan tanah dan pasir yang digunakan untuk menguruk lahan bangunan. Mengapa harus diperlakukan berbeda?

Ketiga, menurut mereka, kalau truk batubara dari HSS, Tapin dan Kabupaten Banjar dilarang melewati jalan negara, mereka harus lewat jalan mana untuk mengangkut hasil tambang agar bisa diekspor? Bikin kanal mungkin sebuah solusi, tetapi siapa yang membiayai? Bikin jalan alternatif sendiri barangkali pilihan paling bertanggung jawab, tetapi kapan selesainya (dan sementara itu apakah kegiatan ekspor batubara dari Kalsel harus dihentikan dulu)?

Keempat, menurut mereka, jikalau kegiatan eksploitasi tambang batubara di HSS, Tapin dan Kabupaten Banjar itu dihentikan sambil menunggu pembangunan kanal atau jalan alternatif selesai, berapa besar kerugian yang akan ditanggung oleh pengusaha batubara? Berapa banyak pula sopir truk batubara yang menganggur? Siapa yang berani tanggung risiko sosialnya?

Dan selusin alibi lainnya yang tak sanggup memori otak saya menyimpannya karena file-nya rupanya ada virus kepentingan yang agak vulgar. Intinya, menurut kelompok kontra itu, kebijakan Gubernur memperbolehkan truk batubara melewati jalan negara di Kalsel selama 24 jam sehari adalah masuk akal dan layak didukung sepenuh hati.

Saya harus bilang apa? Saya bukan musuh gubernur. Tetapi saya juga bukan staf ahli gubernur.

Saya cuma heran, mengapa hanya di Kalsel moda transportasi angkutan batubara boleh menggunakan jalan negara; sedangkan di daerah lain di Indonesia tidak ada kebijakan semacam itu.

Jikalau persoalannya adalah hitungan untung rugi, memang para pengusaha batubara akan “rugi” apabila truk batubara tidak boleh melewati jalan negara karena berarti bisnis mereka macet. Namun demikian, pertanyaannya: apakah para pengusaha batubara lokal itu membayar pajak dan royalti? Apakah mereka itu membayar fee khusus dalam rangka perawatan jalan negara yang nota bene milik publik? Apakah mereka itu melakukan kewajiban reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang yang rusak akibat dari materialnya digali dan diambil begitu saja? Apakah mereka itu membayar kerugian yang diderita oleh penduduk sekitar tambang yang menerima dampak buruk kegiatan eksploitasi tambang batubara? Apakah mereka itu ada menunjukkan rasa bertanggung jawab atas ketidaknyamanan para pengguna jalan yang terpaksa diganggu macet oleh iring-iringan truk batubara yang jumlahnya ribuan dan faktanya berperilaku bagai raja jalanan? Dan lain-lain dan seterusnya.

Siapa yang sebenarnya untung, dan siapa yang sesungguhnya rugi?

Memang hanya orang bodoh yang tidak pandai berhitung untung rugi. Tetapi hanya orang bijak yang paham bagaimana membaca rasa keadilan yang bersemayam di hati rakyat yang posisinya terpinggirkan. Itulah sebabnya kepada pemimpin daerah pun dipersyaratkan untuk memiliki kemampuan bersikap arif bijaksana. Dan hingga saat ini saya masih percaya bahwa Gubernur Rudy Ariffin pun (kebetulan sesuai namanya) sebenarnya masih memiliki talenta yang melekat pada setiap pemimpin itu. Insyaallah.***