Friday, April 20, 2007

Saatnya Mengembangkan Tambang Bawah Tanah

Jumat, 20 April 2007

batu bara

Jakarta, Kompas - Sudah saatnya perusahaan tambang batu bara mengembangkan tambang bawah tanah. Antisipasi itu diperlukan sebab tekanan terhadap tambang permukaan semakin besar dengan adanya konflik hutan lindung, masalah lingkungan, dan pertambahan penduduk.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengemukakan hal itu saat membuka Workshop Data Base Cadangan Batu Bara Indonesia, Kamis (19/4) di Jakarta.

"Perluasan tambang batu bara secara ekstensifikasi akan semakin sulit meskipun sebenarnya dari 2 juta hektar lahan pertambangan hanya 50.000 hektar yang terkelupas," ujar Purnomo.

Produksi batu bara Indonesia tahun 2006 mencapai 162 juta ton. Sebanyak 120 juta ton diekspor dengan tujuan utama ke Jepang, Taiwan, dan Hongkong. Di dalam negeri, konsumsi batu bara terbesar adalah untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Kebutuhan batu bara di dalam negeri akan naik signifikan dengan beroperasinya pembangkit- pembangkit berbahan bakar batu bara milik PLN maupun swasta. Saat ini kebutuhan batu bara PLN sekitar 31 juta ton dan diperkirakan meningkat menjadi 100 juta ton pada tahun 2010.

Bentuk insentif

Purnomo mengatakan, pemerintah sedang membahas insentif untuk perusahaan yang memasok batu bara ke dalam negeri. "Kemungkinan domestic market obligation tidak dibayar tunai dalam bentuk uang sebagai PNBP (penerimaan negara bukan pajak), namun diberi dalam bentuk minyak mentah atau batu bara," kata Purnomo.

New Energy and Industrial Technology Development Organization, Badan Geologi, dan Ditjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi mengembangkan sistem evaluasi cadangan batu bara. Penerapan sistem itu di Sumatera Selatan menghasilkan kenaikan status jumlah cadangan batu bara dari 2,6 miliar ton menjadi 12 miliar ton. Cadangan itu berada pada berbagai level kedalaman, sampai 400 meter di bawah permukaan laut.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Pertambangan Batu Bara Indonesia Sudjoko mengatakan banyak industri tekstil yang mencari batu bara dengan kualitas bagus, tetapi kesulitan mendapat pasokan. "Cuma, sayangnya, karena mereka ingin dapat harga murah, jadinya pakai batu bara dari penambangan tanpa izin seperti di Cirebon," ujarnya.

Padahal, mereka bisa mendapat jaminan pasokan batu bara jika mengikat kontrak dengan produsen batu bara yang jelas. Sudjoko menilai, saat ini terjadi bias kebijakan batu bara karena pengelolaannya diserahkan ke daerah. Padahal seharusnya batu bara ditetapkan sebagai komoditas strategis. (DOT)