Radar Banjamasin
Minggu, 25 Maret 2007Tidak banyak orang tahu, bahwa di Kabupaten Banjar terdapat sebuah wadah tempat berkumpulnya para penambang yang wilayah kerjanya di Kabupaten Banjar. Wadah tersebut bernama Forum Komunikasi Perusahaan Tambang Batubara (FKPTB).
Kini selain para penambang tentunya, bisa jadi masyarakat awam pun sudah mulai mengetahui keberadaannya. Terutama berkaitan dengan terjadinya benturan kepentingan antara pengusaha batubara melalui armada angkutannya dengan pemerintah melalui sarana jalan transportasinya.
Seperti sudah tersurat, kritisnya kondisi Jembatan Martapura I dan II secara tidak langsung memunculkan identitas forum tersebut ke khalayak ramai. Paling tidak kini para pengusaha batubara tidak perlu repot-repot lagi harus menangkis sana-sini jika ada persoalan yang berkaitan dengan aktivitas perusahaannya.
“Melalui forum, apa pun masalah yang kami hadapi bisa dikomunikasikan. Termasuk kebijakan gubernur yang baru-baru ini, dimana angkutan kami muatannya harus dibatasi hanya 6 ton saja per armada. Kalau dulu, mungkin kami sampaikan keluhan melalui aksi demo. Kini kami cukup membahasnya melalui forum, dan forumlah yang kemudian melakukan loby ke pemerintah,’ ujar Arby, salah seorang petinggi di Perusahaan Batubara PT GS.
Kendati demikian, tidak sedikit pula khalayak masayarakat yang menghujat FKPTB, karena suaranya lebih condong ke kepentingan para penambang daripada masyarakat lainnya. Apalagi belakangan diketahui pucuk pimpinan forum tersebut adalah seorang yang selama ini dikenal sebagai aktifis yang sangat kritis. Bahkan seringkali mengkritisi aktivitas pertambangan yang dikenal tidak adil terhadap tanggung jawab lingkungan dan masyarakat sekitar tambang. Dia adalah badrul Ain Sanusi al Afif
“Kami sangat menyayangkan, kenapa Badrul saat ini menjadi bagian dari aktivitas pertambangan. Padahal dia sejak awal sangat kritis terhadap aktifitas tersebut,” ujar salah seorang aktivis lingkungan di Kota Banjarbaru.
Apa pun yang terjadi, saat ini badrul sudah menyatu dalam FKPTB. Jadi sangat wajar jika aktivis yang satu ini menyuarakan kepentingan kelompoknya. Tetapi, bagaimana dengan masyarakat lain yang dulu menjadi bahan “dagangannya”?
“Saya terlibat karena saya masih memiliki komitmen masalah lingkungan dan sosial masyarakat. Satu sisi para pengusaha sadar betul bahwa aktivitas mereka sangat berdampak terhadap lingkungan. Tetapi apa yang harus dilakukan, itu persoalan yang kala itu menurut mereka sangat sulit dikerjakan. Nah disini saya bisa berperan,” ujarnya enteng.
Memang harus diakui, sejauh ini manfaat yang bisa diterima langsung oleh masyarakat umum (bukan masyarakat sekitar tambang) secara konkrit belum terbukti. Masyarakat sejauh ini masih berperan sebagai penonton dan penikmat debu batubara di jalanan. Sampai kapan kondisi seperti ini terjadi, mungkinkah FKPTB bisa menjadi jembatannya. (safar@mail.radarbanjarmasin.com)