Thursday, April 19, 2007

Batubara Lebih Gampang Jadi Uang, daripada Kelapa Sawit Oleh: Rini Hustiany dan Kaspul Anwar

Kamis, 22 Februari 2007
Radar Banjarmasin

HABAR Banua, acara TVRI pada senin 22 Januari 2007 menyebutkan, keengganan Pemerintah Daerah Tanah Bumbu untuk menggantungkan kehidupan masyarakatnya pada batubara, dan Pemda pun berikhtiar dengan mencoba membudidayakan tanaman kelapa sawit.

Juga di Koran Radar Banjarmasin, 8 Februari 2007. Dimana Kepala Disperindag Kalsel, Drs H Soebardjo, menginginkan ekspor nonmigas lebih meningkat lagi di masa yang akan datang.

Berita koran, investor dari Korea merasa kasihan melihat industri kayu lapis dan papan partikel bubar, bukan karena buruknya manajemen, tetapi lebih kepada kurangnya bahan baku.

Salah urus, lebih tepat dikatakan daripada kebodohan. Kayu yang seharusnya adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui, akan tetapi setelah 30 tahun dieksploitasi, dan diurus dengan tidak benar, dampaknya adalah kehabisan bahan baku.

Minyak bumi, juga kira-kira 10 tahun lagi akan menjadi komoditas impor bagi negara ini. Sementara dua tahun belakangan, pemerintah mengupayakan pergeseran pemakaian minyak untuk pembangkit listrik, menjadi PLTU yang menggunakan batubara. Provinsi Kalimantan Selatan, kembali mengarah kepada kesalahan orde baru, merasa bahagia dengan cara ambil gampangnya saja, yaitu cukup mengupas lapisan tanah, minta fee sedikit, maka dapatlah sumber dana gampang, yaitu batubara.

Berapa lama batubara? Mungkin sekitar 10-20 tahun lagi, akan hampir habis. Mungkin juga akan mencapai 30 tahun lagi, tergantung penemuan deposit baru.

Seperti kesalahan masa lalu, mayoritas penikmat uang dari batubara adalah orang-orang luar daerah, terutama dari Jakarta. Salah satunya menjadi terkenal karena terkait dengan seorang artis yang menjadi simpanannya. Sementara segelintir pemegang tandatangan di daerah ini cukup diberi fee kecil saja, ditambah usaha-usaha angkutan batubara, lumayanlah buat sangu pensiun.

Rakyat belum dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang signifikan dari batubara, apabila dibandingkan dengan dampak negatifnya, maka segi positif dari eksploitasi batubara hanyalah sebentar dan sedikit. Hasil kupasan lapisan tanah, menciptakan danau-danau buatan yang berisi air asam, dan topsoil yang subur, hanya menjadi masa lalu.

Seharusnya para pemegang kekuasaan titipan rakyat di daerah ini belajar dari tanda-tanda kehancuran alam (banjir dan kekeringan), dan hancurnya industri perkayuan di daerah Jelapat. Di mana kejadian tersebut terjadi bukan karena kebodohan, namun lebih karena salah urus.

Kembali ke masalah kebijaksanaan Pemda Tanah Bumbu, yang tidak mau terlalu bergantung pada batubara, namun juga memikirkan pengembangan industri pertanian, kiranya adalah kebijaksanaan yang harus didukung penuh, dan mempunyai visi jangka panjang yang sangat positif.

Industri pertanian adalah sebuah industri yang menggunakan hasil tanaman sebagai bahan bakunya, hasil budidaya, bukan dari hasil berkah masa lalu (hutan adalah warisan, kita cuman bisa tebang, tapi tidak bisa menanam), adalah salah satu ciri khas kemajuan sebuah bangsa.

Jarang ada di bumi ini, sebuah negara besar yang mampu hidup tanpa mempunyai dasar pertanian dan industri pertanian yang bagus, kecuali negara-negara broker dagang yang superkecil luas lahannya. Negara-negara kecil, tentu tidak mempunyai kebutuhan pangan yang besar. Beda dengan Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang. Deseran sedikit saja dari harga pangan, mempunyai dampak yang besar bagi kestabilan politik.

Sebuah industri pertanian yang kuat adalah suatu solusi yang harus diwajibkan. Apabila negara ini bergantung pada minyak, maka akan habis pada sekitar 10 tahun lagi, bergantung pada batubara, paling lama 40-50 tahun lagi. Setelah itu? Indonesia, akan menjadi negara yang cukup lucu, kalau tidak boleh dibilang negara miskin.

Beda apabila misalnya bergantung pada minyak biodiesel yang dikembangkan dari kelapa sawit atau jarak atau sumber tanaman lain, maka tidak akan habis digunakan selama 100 tahun lebih. Potensi luar biasa dari Provinsi Kalimantan Selatan adalah luasan lahan, seperti umumnya provinsi di Pulau Kalimantan dan Papua, serta Sumatra.

Yang paling dikhawatirkan oleh negara-negara lain adalah potensi di suatu saat nanti, di masa depan, Indonesia akan mempunyai sumber daya bio yang luarbiasa, baik etanol, biodiesel, maupun ketahanan pangan yang baik. Contoh terdekat adalah bagaimana Malaysia menjadi superpower dalam urusan minyak sawit, padahal luas lahannya jauh lebih sedikit dibanding dengan potensi Indonesia.

Hasil pertanian, bisa diolah hingga lebih awet, lebih enak, dan lebih bergizi, dengan adanya industri pertanian. Hasil panen mangga dan rambutan yang musiman akan dapat dinikmati sepanjang tahun, apabila ditunjang dengan pengolahan yang baik. Hasil perkebunan, bisa diolah menjadi tekstil, polimer alam (karet), obat, dan lainnya, dengan industri pertanian yang terintegrasi.

Segi positif jangka panjang dari industri pertanian yang bagus, pada umumnya sudah bisa dimengerti oleh kebanyakan para eksekutif di pemerintahan. Segi negatif dari eksploitasi yang berlebihan dari sumber daya alam semisal batubara, umumnya juga sudah dimengerti oleh para eksekutif itu.

Namun seperti juga para penikmat hedonis dunia, mereka akan dihadapkan pada kenyataan:

1. Apabila menitikberatkan kebijaksanaan yang terkait dengan industri pertanian, kapan mereka dapat hasilnya? Keburu turun jabatan, sementara kebutuhan untuk membeli mobil mewah baru tidak bisa menunggu lima tahun lagi.

2. Jadi lebih baik habiskan apa yang ada di depan mata saja, seperti para pendahulu mereka yang menghancurkan atau lebih tepatnya menghabiskan hasil kayu di provinsi-provinsi di pulau Kalimantan.

Nasihat, usul, proposal, demo, dan berbagai bentuk penguraian opini lainnya dari rakyat, tidak akan pernah menjadi prioritas para pengambil kebijaksanaan, bukan karena mereka tidak mengerti, namun karena memang tidak mau susah.

Mari kita bandingkan kondisi banua, pada sekitar sepuluh tahun yang lalu (tahun 1994-1997) dan apa kira-kira yang terjadi pada sepuluh tahun yang akan datang (tahun 2017). Contoh kecil di bawah dapat menjelaskan.

Tahun 1994, penulis melakukan praktik kerja lapang di sebuah perusahaan kayu lapis besar. Di sana, sebuah pabrik kayu lapis yang bagus, luas kurang lebih 200 hektar, terdapat pabrik, mess, kantor, dan perlengkapan standar lainnya, namun lebih dari itu, ternyata terdapat fasilitas lain, seperti bioskop, kantor pos, sekolah dasar untuk anak-anak karyawan, juga berbagai fasilitas olahraga.

Karyawan yang berjumlah ribuan orang, mempunyai dinamika kehidupan yang baik, ada gaji yang cukup dapat diharapkan, ada kepastian jaminan kesehatan, dan ada harapan kesejahteraan meningkat di masa depan. Pabrik kayu lapis terintegrasi seperti itu tidak hanya satu, namun puluhan. Mereka menyumbang pendapatan bagi provinsi yang cukup besar.

Namun tahun-tahun belakangan, gelombang kebusukan manajemen hutan mulai memakan korban, industri kehutanan itu mulai bertumbangan. Ratusan bahkan ribuan karyawan pabrik kayu seringkali menghiasi koran, mereka menanyakan pesangon. Ribuan karyawan menjadi penganggur. Sementara pemerintah daerah tidak bisa berbuat apa-apa. Berbanding terbalik dengan Provinsi Gorontalo. Dimana kurang dari 10 tahun, pemerintah daerahnya mampu menggunakan komoditi jagung sebagai alat penyejahtera rakyat.

Mungkin jarang yang mengerti, ketika seorang pendamping petani, yang umumnya adalah S-1 yang sudah dilatih, mempunyai pendapatan bagi hasil yang jauh melebihi gaji seorang Kepala Seksi (Kasie) yang sudah 12 tahun bekerja secara jujur tanpa korupsi. Gaji para pendamping tersebut cukup kecil, namun hasil dari persentase bagi hasil panen jagung yang mereka upayakan bersama-sama petani, jauh melebihi pendapatan seorang karyawan swasta di kota besar.

Bercermin dari uraian sederhana seperti di atas, maka dapat diramalkan (forecasting) secara kuantitatif, sepuluh tahun yang akan datang, apabila eksploitasi alam di Kalimantan Selatan masih berjalan seperti tahun-tahun belakangan ini, maka kira-kira dampaknya adalah iklim makin aneh, banjir, kekeringan, dan hilangnya lahan subur. Danau-danau buatan hasil galian batubara makin banyak, luasan lahan asam makin luas.

Bukan itu saja, bagian terpenting dari gambaran itu adalah, bahwa ternyata sifat-sifat Nabi Muhammad sebagai pemimpin generalis yang sempurna di dalam memikirkan rakyatnya, akan semakin jauh dari termakna dalam kenyataan di provinsi ini.

Mungkin hancurnya industri perkayuan akan terulang kembali pada saat batubara habis, dimana akan hengkang pula pemilik perusahaan batubara dengan membawa dana hasil kerukan mereka. Sementara rakyat lokal makin sengsara.

Kita sebagai rakyat kecil hanya bisa bengong, persis seperti iklan kacang madu di televisi, bengong dan membuat ayam tetangga mati.***

*)Dosen Fakultas Pertanian Unversitas Lambung Mangkurat

dan Konsultan Information Technology dan Agroindustry PT Dumas Multisolusi Jakarta