Sabtu, 24 Februari 2007 00:19
Meluasnya banjir di sejumlah Kabupaten di Kalsel sebagai bukti kerusakan alam sangat parah. Karenanya, pemerintah diharapkan segera tanggap mengeluarkan kebijakan ekstra. Termasuk menghentikan sementara (moratorium) aktivitas pertambangan yang diduga memiliki andil besar dalam kerusakan lingkungan.
Rekomendasi itu dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel. Lembaga yang konsen dengan lingkungan tersebut memandang, selama ini belum ada tindakan riil dari pemerintah menyikapi banjir.
"Sudah saatnya pemerintah melakukan kebijakan ekstra yang lebih tegas. Perlu adanya moratorium pada sektor pertambangan," tegas Rahmat Mulyadi, manajer Kampanye Walhi Kalsel.
Udiansyah akademisi dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru menilai, kerusakan lingkungan di Kalsel sudah terakumulasi.
"Frekuensi banjir di Kalsel semakin sering. Itu satu gejala kalau tutupan lahan kita sudah habis. Hutan dibabat tanpa ampun," tandas Udiansyah.
Menurutnya, pertambangan, penebangan hutan secara sporadis jauh lebih beringas. Sementara, upaya untuk mengembalikan alam menjadi asri lajunya tak sebanding.
Hal itu dibenarkan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Barito di Banjarbaru Suhardi. Menurutnya, sekitar 5.500 lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan tak banyak tertolong dengan gerakan rehabilitasi.
Kawasan pegunungan Meratus yang sudah gundul, diakuinya hanya mampu memberikan penutup sebanyak 30 persennya.
Kalsel saat ini, kata dia, terdapat 3.147.464,578 hektare lahan kritis. Meliputi potensial kritis seluas 1.051.423,03 hektare, agak kritis seluas 1.540.112,215 hektare dan sangat kritis seluas 55.904,99 hektare.
Tiga kabupaten lahan kritisnya masuk kategori mengkhawatirkan, yakni di Hulu Sungai Selatan (HSS), Tapin dan Banjar. niz