Selasa, 30 Januari 2007
Palangkaraya, Kompas - Diperkirakan, satu miliar ton dari 3,5 miliar ton deposit batu bara di Kalimantan Tengah merupakan batu bara bahan pembuat kokas (cooking coal). Di Indonesia, batu bara jenis itu hanya ada di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
"Karena jumlahnya terbatas, harga batu bara kokas lebih mahal dibandingkan dengan batu bara termal," kata Kepala Subdinas Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Kalimantan Tengah (Kalteng) Syahril Tarigan di Palangkaraya, Senin (29/1).
Saat harga batu bara tinggi, harga batu bara kokas mencapai 100 dollar AS per ton, sementara harga batu bara termal 60 dollar AS per ton. Namun, pasar batu bara kokas terbatas karena biasanya hanya merupakan konsumsi pabrik peleburan baja.
Di Kalteng ada lebih dari 100 kuasa pertambangan (KP) batu bara dan 15 pemegang perjanjian karya pengusahaan batu bara (PKP2B). Perusahaan-perusahaan tambang itu terutama tersebar di Kabupaten Murung Raya, Barito Utara, Barito Selatan, dan Barito Timur.
Meskipun demikian, menurut Syahril, perusahaan batu bara yang sudah beroperasi baru satu, yakni Marunda Graha Mineral yang produksinya sekitar 1,2 juta ton pada tahun 2006. Perusahaan lainnya, Lahai Coal, anak perusahaan BHP Billiton, berencana memulai produksi pada kuartal terakhir tahun 2007.
"Minimnya perusahaan batu bara yang beroperasi karena sulitnya memenuhi aturan pinjam pakai," kata Syahril. Dalam aturan pinjam pakai kawasan hutan, perusahaan yang menambang di kawasan hutan harus memberikan lahan kompensasi dua kali lipat di luar kawasan hutan.
Ketentuan tentang lahan pengganti itulah yang dinilai " menghambat" operasional perusahaan pertambangan. Sebab, lahan tersebut dirasakan sulit dicari, mengingat daerah tempat menambang didominasi hutan.
Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kalteng Halind Ardi mengakui hal itu. Menurut dia, memang ada daerah pertambangan yang didominasi hutan.
Potensi Kaltim
Kalimantan Timur juga disebutkan memiliki sekitar 600.000 ton batu bara berkalori rendah yang belum termanfaatkan. Padahal hasil sampingan produksi tahunan perusahaan tambang itu bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
"Batu bara berkalori rendah bisa digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik. Di Thailand saja batu bara untuk pembangkit listrik kandungannya 2.500 kilokalori per kilogram," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Bukin Daulay di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), kemarin. (CAS/BRO)