Jumat, 22 Mei 2009 | 06:14 WITA
BANJARMASIN, JUMAT - Keputusan Gubernur Kalsel Rudy Ariffin melarang angkutan batu bara menggunakan jalan negara per 23 Juli 2009 sudah bulat. Siapapun yang mengemudikan angkutan bermuatan batu bara di jalan raya akan ditangkap dan diproses hukum.
Bahkan, pemprov rela mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk sosialisasi kepada para pengusaha pertambangan. Sosialisasi digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (22/5).
Selain ratusan pengusaha, turut diundang mendampingi gubernur yakni Pangdam VI Tanjungpura Mayjen Tono Suratman, Kapolda Kalsel Brigjen Untung Rajab, Danrem 101 Antasari Kolonel Heros Paduppai, para kapolres dan tentu saja bupati serta wali kota di seluruh Kalsel.
"Ya kita akan sosialisasikan kepada mereka bahwa kebijakan ini sudah tidak bisa ditawar lagi. Selama ini kalau kita undang para pengusahanya tidak pernah datang dengan alasan direksinya di Jakarta. Karena itu lokasi acara kita pilih di Jakarta untuk mendekatkan dengan para direksi perusahaan pertambangan itu," jelas Rudy usai peringatan Harkitnas, Rabu lalu.
Rudy menegaskan pertemuan dengan para pengusaha itu sekadar sosialisasi dan pemberitahuan. Sebab mereka tetap harus melaksanakan peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah Kalsel tersebut.
"Pokoknya per 23 Juli nanti tidak ada lagi angkutan batu bara yang lewat jalan umum. Sudah lama kita menderita. Sekarang kita pilih selamatkan masyarakat atau orang per orang. Sementara tidak sebanding dengan royalti per tahun yang cuma Rp 8 miliar," tandas Rudy.
Keputusan tersebut, menurut Rudy, sesuai dengan Perda Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penggunaan Jalan Khusus untuk Angkutan Barang Tambang dan Perkebunan Besar. Pelaksanaannya akan dikawal aparat tim terpadu yang beranggotakan personel TNI, Polri dan unsur muspida lainnya.
Saat ditanya dampaknya terhadap suplai ke PLTU Asam Asam, Rudy menyatakan permasalah justru makin kompleks karena PT PLN yang sudah punya kontrak dengan PT Jorong Barutama Greston (JBG) tapi masih membeli dari truk-truk kecil yang meminta dispensasi lewat jalan umum. Padahal kualitas batu bara dari truk-truk kecil itu tidak terjamin sehingga dapat menyebabkan PLTU harus sering menjalani perawatan.
"Tidak ada alasan minta dispensasi. PLN sudah ada JBG, kalau tidak cukup mau beli dari Adaro juga tidak apa karena bisa diangkut pakai tongkang. Kalau minta dispensasi nanti semua minta," kata Rudy.
Selama ini angkutan batu bara menimbulkan polusi, kemacetan hingga kecelakaan. Selain itu membuat jalan cepat rusak. Rudy menjelaskan klasifikasi jalan di Kalsel cuma 3B yakni hanya mampu menahan beban sekitar delapan ton. Sedangkan angkutan batu bara yang kerap melintasi lebih dari 20 ton.
Dikaitkan dengan UU Minerba yang tidak melarang angkutan batu bara melintas di jalan umum, Rudy mengatakan pemerintah daerah berhak membuat aturan sesuai kondisi daerah.
Dia pun menyatakan tidak keberatan bila Perda Nomor 3 Tahun 2008 diuji materil. Alasannya, peraturan seharusnya dibuat untuk kepentingan rakyat.
Pengamat Ekonomi Unlam, Syahrituah Siregar, mendukung langkah tegas Pemprov Kalsel memberlakukan Perda Nomor 3 Tahun 2008. Namun, dia mengingatkan pemerintah daerah agar jangan sampai disetir pengusaha. Soalnya selama pemerintah daerah tidak punya posisi tawar yang baik. Sosialisasi di Jakarta sebagai salah satu buktinya.
"Masa mereka yang keruk kekayaan alam di sini tapi tidak peduli. Sampai-sampai pemprov yang harus datang ke Jakarta," ujar Syahrituah. Dia juga mengingatkan agar pertemuan itu menjadi ajang tawar-menawar ulang.
Dari sisi ekonomi, Syahrituah mengatakan larangan angkutan batu bara melalui jalan umum justru membuat usaha rakyat lebih lancar. Soalnya tidak ada lagi kemacetan dan kerusakan jalan.