Friday, September 12, 2008

BPK Selidiki Tambang Batu Bara

Jumat, 12-09-2008 | 01:20:19

Penunggak Royalti Tergolong Korupsi
JAKARTA, BPOST
- Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan umum pada 2007 menurun dibandingkan dengan 2006. Padahal pada 2007 harga komoditas tersebut mulai booming.

Hal itulah yang menimbulkan kecurigaan bagi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sehingga mereka pun berniat melakukan pemeriksaan tematik pertambangan batu bara pada 2008 ini.

Auditor Utama Keuangan Negara IV BPK, Hadi Priyanto dalam seminar kisruh royalti batu bara di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9), menyebutkan pada 2006 penerimaan sebesar Rp 6,78 triliun, namun setahun kemudian justru turun menjadi Rp 5,877 triliun.

"Lalu anggaran PNBP SDA atas pendapatan royalti ternyata hanya menyajikan pendapatan royalti batu bara saja. Padahal pendapatan royalti tidak hanya dari sektor pertambangan batu bara, tapi juga dari tembaga, nikel, emas, perak dan lainnya," tuturnya.

Dia juga mengaku telah menerima permintaan pengusutan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) wakil Kalsel, terkait bagi hasil royalti batu bara yang tidak adil.

Melawan Hukum

Terkait adanya tunggakan pembayaran pajak dari enam perusahaan tambang, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Pajajaran (Unpad) Romli Atmasasmita mengatakan perbuatan perusahaan tambang yang menunggak royalti dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Kerugiannya jelas, yakni Rp 7 triliun. Selain itu, tindakan itu bukanlah kelalaian, tetapi termasuk melawan hukum.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Imigrasi beberapa waktu lalu mencekal para pimpinan perusahaan batu bara yang dinilai lalai dalam membayar utang royalti ke negara. Mereka yang dicekal adalah jajaran direksi PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Adaro, PT Berau Coal, PT Libra Utama Intiwood, dan PT Citra Dwipa Finance.

"Karena itu kepolisian dan KPK harus turun tangan karena ini terkait dengan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang yang terjadi sebagai akibat penunggakan royalti batu bara," kata Romli.

Romli mengatakan langkah proaktif itu tak cukup dengan pencekalan. Jika perlu dilakukan pembekuan aset untuk mencegah asetnya dilarikan ke luar negeri.

Menanggapi desakan tersebut, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin berjanji mendalami masalah tunggakan royalti tersebut. "Kami juga menunggu hasil audit dan laporan dari BPK/BPKP, jika memang ada tindakan korupsi," ujarnya.

Namun, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Supriatna Suhala, menyatakan, para pengusaha penunggak royalti beberapa hari yang lalu telah dipanggil satu per satu ke Departemen Keuangan untuk ditanyai kesanggupannya melunasi royalti.

Dia membantah mengemplang royalti. Yang benar, katanya, perusahaan menahan sebagian DHPB atau royalti 6,5 persen dan dana pengembangan tujuh persen. "Royalti tetap dibayarkan karena perusahaan menyadari adanya hak daerah di dalamnya," kata dia. (Persda Network/aco/dtk/mic)