Thursday, April 19, 2007

PT AI Wajib Cari Lahan Pengganti

Rabu, 17 Januari 2007
Radara Banjarmasin

BANJARMASIN - Meski belum mengantongi izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan, PT Arutmin Indonesia (AI) tetap melakukan pertambangan batubara pada kawasan hutan lindung di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu. PT AI beralasan telah mengajukan izin tersebut ke Menteri Kehutanan (Menhut) sejak setahun silam, namun hingga kini belum juga terbit izin tersebut. Yang terbaru, PT AI mengaku mengantongi surat dispensasi dari Dephut tentang proses pertambangan emas hitam tersebut.

Hal itu terungkap saat Komisi I DPRD Kalsel melakukan kunjungan kerja (kunker) ke PT AI, akhir pekan lalu. "Pada surat dispensasi tersebut, terhitung sejak bulan Desember 2006 tadi PT AI diberi waktu 100 hari untuk melengkapi berbagai persyaratan di hadapan notaris. Salah satu persyaratan itu adalah wajib mencari lahan pengganti seluas 2 kali kawasan hutan lindung yang ditambang," kata Ketua Komisi I Ibnu Sina SPi, kemarin sore. Namun sayang, politisi muda asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini mengaku tak ingat berapa luasan lahan tersebut.

Meski mencari lahan pengganti ini diberi waktu 2 tahun, agaknya PT AI tetap merasa berat. Karena saking luasnya, PT AI kepada Komisi I mengaku kesulitan mencari lahan pengganti tersebut. Jika tak sanggup juga, maka PT AI wajib membayar 1 persen dari penghasilan berupa PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) ke negara. Namun permintaan tersebut tak juga dapat dipenuhi begitu saja.

Menurut Ibnu Sina, PT Arutmin mengklaim sebagai salah satu perusahaan batubara yang mengantongi PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), telah menyetor 13 persen penghasilannya ke negara, yang lebih dikenal sebagai royalti batubara. Karena itu, di hadapan komisi yang membidangi hukum-pemerintahan-pertambangan itu, PT Arutmin mengungkapkan masih menegosiasikan persoalan tersebut ke Pemerintah Pusat.

Karena itu, Ibnu menegaskan sangat sepakat dan mendukung upaya Departemen Kehutanan (Dephut) melakukan penataan pertambangan, apalagi berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Hanya saja, dia meminta agar Dephut mempercepat proses perizinan pertambangan, apakah memberikan persetujuan atau menolak. Tujuannya, agar proses tersebut tak terkesan digantung yang dikhawatirkan menjadi alasan pembenar bagi praktik-praktik pertambangan liar. Selain itu, dikhawatirkan Ibnu berdampak pada iklim investasi di Kalsel. "Dari data kami, telah 27 perusahaan batubara mengajukan izin pertambangan tersebut, namun tak juga ada jawaban," keluhnya.

Di sisi lain, Ibnu pun meminta agar faktor keselamatan pada proses pertambangan batubara tetap diutamakan, sehingga peristiwa peledakan (blasting) yang merenggut nyawa 2 orang, tak akan terjadi kembali di Kalsel.

Memang pertambangan di kawasan hutan lindung, sebagaimana UU No 41 tahun 1999, UU No 19 tahun 2004 dan Peraturan Menhut No 14 tahun 2006 yang mengatur bahwa eksploitasi di kawasan hutan harus ada izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Awalnya diketahui nekatnya PT AI ini ternyata karena mengantongi surat dari Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 2039/40/DJB/2006 tanggal 1 November 2006. (pur)