Wednesday, May 30, 2007

Pertambangan, Kerusakan Lingkungan dan Tanggungjawab Pemda

Monday, 28 May 2007 01:32

Ir H Asfihani
Anggota DPR RI Komisi VII Fraksi Partai Demokrat Dapil Kalsel

Dalam 20 tahun ke depan, penambangan batu bara di Kalsel akan menjadi primadona yang menggiurkan. Batu bara merupakan bahan bakar alternatif yang jauh lebih ekonomis dibandingkan minyak dan gas, sehingga ada kecenderungan global untuk kembali menggunakan batu bara baik untuk pembangkit listrik, industri besar, menengah dan kecil.

Seiring penaikan harga minyak dan gas, harga batu bara juga merangkak naik. Kini, harga emas hitam ini mencapai 23 - 25 dolar AS per ton untuk batu bara kalori rendah dan 42 - 43 dolar AS per ton untuk kalori tinggi.

Kalsel adalah salah satu provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Pada 2006, provinsi ini menghasilkan 55 juta metrik ton atau 30 persen dari produk nasional yang mencapai 155 juta metrik ton. Tambang batu bara di provinsi ini diusahakan oleh tidak kurang 260 pemegang Kuasa Pertambangan (KP) yang semua izinnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah, dan 13 pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang dikeluarkan pemerintah pusat.

Namun di balik semua itu, ada satu hal yang wajib diperhatikan serius oleh masyarakat Kalsel yaitu terjadinya kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel mencatat, penambangan batu bara telah berdampak serius pada kerusakan infrastruktur jalan yang dilalui truk pengangkut batu bara; berkurangnya mata pencaharian rakyat dari hasil pertanian, rotan dan karet; terjadi pencemaran air akibat limbah dan lubang galian yang dibiarkan memicu berkembangbiaknya nyamuk anopheles balabacensis dan maculator atau nyamuk malaria, yang terkena dampaknya adalah masyarakat di sekitar tambang rentan terserang penyakit yang mematikan tersebut (pada 2007, dari yang terdata 1.183 kasus klinis malaria di Kalsel, 17 orang meninggal dunia); menyebarnya penyakit pernafasan karena pencemaran udara; terjadinya banjir akibat penggundulan hutan; rusaknya tatanan sosial masyarakat akibat maraknya prostitusi dan penyebaran miras di areal tambang.

Semua hal itu merupakan harga yang sangat mahal dari balik proses penambangan batu bara. Apakah harga ini sudah setimpal dengan tingkat kesejahteraan masyarakat? Saya melihat, lebih banyak masyarakat yang memperoleh kerugian: karena wabah penyakit, banjir, kerusakan tatanan sosial, dan lain sebagainya.

Hal ini terjadi karena proses penambangan batu bara tidak dibarengi dengan kemauan semua pihak untuk mematuhi peraturan yang ada. Pemda tingkat kabupaten/kota yang mengeluarkan banyak izin KP terkesan tidak serius untuk menegakkan aturan, seperti aturan tentang reklamasi di samping memonitor (mengawasi) kewajiban pengusaha yang memiliki izin KP.

Sebaliknya, pelaku usaha pertambangan terkesan bermain-main dengan aturan yang ada untuk kepentingan bisnis semata tanpa memikirkan dampak dari kegiatan terhadap lingkungan baik ekonomi, sosial termasuk melaksanakan Community Development (CD) untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang.

Kata kunci untuk menyelesaikan persoalan tambang batu bara, sebenarnya ada di tangan pemda yang berada di garda terdepan untuk melindungi masyarakat sekaligus mengatur proses penambangan emas hitam ini. Dalam PP No 75 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan UU No 2 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dikatakan, pemda provinsi, kabupaten/kota bisa membatalkan izin KP jika pengusaha pertambangan tidak melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan serta tidak menyetorkan jaminan reklamasi (Pasal 41 huruf e). Pemegang KP juga wajib melakukan usaha pengamanan terhadap benda, bangunan dan keadaan tanah sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum (Pasal 46 ayat 4).

Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ataupun dari UU lain yang terkait, seperti UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan pengusaha pertambangan untuk memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat di sekitar areal pertambangan yang dikelolanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sangat kuat.

Langkah ke Depan

Agar masyarakat tidak hanya memakan getahnya sementara yang menikmati nangkanya adalah pihak lain, ada beberapa hal yang harus dilakukan berkaitan dengan penambangan batu bara di Kalsel. Pertama, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam dan Menteri Lingkungan Hidup bersama pihak lain harus segera melakukan audit investigatif terhadap pelaku usaha pertambangan dan pemda, apakah mereka sudah melakukan kewenangannya dengan baik atau tidak.

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan itu pula, Menteri ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 12211. K/008/m.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum.

Kedua, masyarakat bisa melakukan class action terhadap pemda karena dianggap lalai untuk menegakkan dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Melihat banyaknya aturan perundang-undangan yang dilanggar pemda, maka dampak dari kelalaian ini tidak hanya bersifat politis seperti kehilangan jabatan, melainkan juga bersifat pidana yang bisa menyeret aparat pemda ke bui.